Jumat, 24 Agustus 2012

Nubuatan Palsu Muhammad Dalam Qur’an dan Hadis


Nubuatan Palsu Muhammad Dalam Qur’an dan Hadis
Alkitab memberikan kita sarana untuk dapat membedakan mana nabi yang benar dan mana nabi yang palsu:
“Tetapi nabi yang lancang berkata-kata di dalam nama-Ku, yang tidak aku perintahkan untuk mengatakannya dan yang berkata dalam nama ilah yang lain, maka nabi itu harus mati. Dan apabila kamu berkata di dalam hatimu: Bagaimanakah kami mengetahui perkataan yang tidak YAHWEH katakan? Yaitu, Apabila seorang nabi berkata demi nama YAHWEH dan perkataannya itu tidak terjadi dan tidak menjadi kenyataan, itulah perkataan yang tidak YAHWEH katakan – nabi itu telah berbicara dengan lancang, maka janganlah takut kepadanya” Ulangan 18:20-22.
Berdasarkan apa yang dikatakan Tuhan dalam ayat-ayat sebelumnya, kita akan menguji beberapa prediksi yang dibuat Muhammad dalam Qur’an dan tradisi-tradisi Islam untuk melihat apakah ia lulus dari pengujian Tuhan.
Berkenaan dengan Penaklukkan Roma Terhadap Persia
Sura 30:2-4: “Telah dikalahkan bangsa Rumawi di negeri yang terdekat dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang, dalam beberapa tahun (lagi).”
Sebagaimana dinyatakan dalam nubuatan tersebut, Kerajaan Byzantium memang mengalami kemenangan terhadap bangsa Persia yang pada awalnya telah mengalahkan mereka. Namun ada beberapa permasalahan mendasar sehubungan dengan nubuatan ini:
  • Menurut Yusuf Ali, bahasa Arab untuk “dalam beberapa tahun lagi”, yaitu Bidh’un, mengandung pengertian suatu periode antara 3 sampai 9 tahun (bukan sepuluh atau belasan keatas); namun menurut catatan sejarah kemenangan itu tidak mereka alami hingga hampir 14 tahun kemudian. Orang Persia mengalahkan Byzantium dan menawan Yerusalem pada sekitar tahun 614 atau 615 M. Serangan balasan Byzantium tidak dimulai hingga 622 M dan kemenangan itu tidak dicapai sepenuhnya hingga 628 M, sehingga seluruhnya menjadi suatu periode antara 13 hingga 14 tahun, bukan hanya “beberapa tahun” seperti yang dikemukakan Qur’an.
  • Sejarawan dan komentator Muslim yang terkemuka, al-Tabari, berpendapat kemenangan Roma terjadi pada 628 M (6 Hijriah), tepat setelah penandatanganan perjanjian Hudaiybiya:
Menurut Ibn Humayd – Salamah – Muhammad b. Ishaq – Ibn Shihab al-Zuhri -’Ubaydallah b. ‘Abdullah b. ‘Utbah b. Mas’ud – ‘Abdullah b. ‘Abbas – Abu Sufyan b. Harb, yang mengatakan:
“Saudara-saudara, kami hanyalah pedagang. Perang antara kami dengan Rasul Allah telah menghalangi perjalanan kami, sehingga kesehatan kami merosot. Setelah perjanjian damai antara kami dengan Rasul Allah, kami takut kami tidak akan mendapatkan keamanan. Saya pergi ke Syria dengan sekelompok pedagang Quraysh. Tujuan utama kami adalah Gaza, dan kami tiba pada saat Heraclius menang atas orang Persia yang ada di negerinya – ia mengusir mereka dan mengambil kembali Salib Besarnya dari mereka, yang telah mereka rampas. Setelah menyelesaikan semuanya ini dan setelah menerima berita bahwa salibnya telah diselamatkan dari mereka (saat itu ia tinggal di Hims), ia pergi kesana berjalan kaki sambil bersyukur kepada Tuhan yang telah mengembalikan salib itu kepadanya, dan dapat berdoa di Yerusalem. Karpet-karpet digelarkan baginya, dan dedaunan wangi ditebarkan di atasnya. Ketika ia tiba di Yerusalem dan melaksanakan ibadah – ia disertai para komamndan militernya dan kaum bangsawan Roma – ia bangun dengan bersusah hati di suatu pagi sambil memandangi langit…” (The History of Al-Tabari: The Victory of Islam, diterjemahkan oleh Michael Fishbein [State University of New York Press, Albany 1997], Volume VIII, h. 100-101; penekanan dengan huruf tebal oleh redaksi)
Catatan kaki penerjemah berbunyi:
436. “Pada 627 Heraclius menginvasi kekaisaran Persia, dan pada bulan Desember tahun itu memperoleh kemenangan yang besar dekat Niniweh kuno, tetapi harus mundur tidak lama setelah itu. Namun demikian, pada Februari 628, Kaisar Persia dibunuh, dan putranya yang menggantikannya menginginkan damai. Tetapi sekitar 628 Heraclius menganggap dirinya sendiri telah menang, namun negosiasi mengenai evakuasi kekaisaran Byzantium oleh bangsa Persia tidak selesai hingga Juni 629. Pada September 629 Heraclius memasuki Konstantinopel sebagai pemenang, dan pada Maret 630 mengembalikan Jalan Suci ke Yerusalem” (Watt, Muhammad at Medina, 113-114). Lihat juga Ostrgorsky, History of the Byzantine State, 103-4. (Ibid., penekanan oleh penulis).
Kumpulan Hadis al-Bukhari memberikan keterangan lebih lanjut bahwa kunjungan Abu Sufyan dengan Heraclius terjadi setelah penandatanganan perjanjian Hudaiybiya:
Dikisahkan oleh Abdullah bin ‘Abbas:
Bahwa Abu Sufyan bin Harb memberitahukannya bahwa Heraclius memanggilnya dan para anggota karavan dari Quraysh yang telah berangkat ke Sham sebagai pedagang, selama kesepakatan damai yang dibuat Rasul Allah dengan Abu Sufyan dan orang-orang kafir Quraisy. (Sahih al-Bukhari, Volume 4, Buku 53, Nomor 399)
Watt mengemukakan kemenangan utuh Roma pada 630 M, limabelas hingga enambelas tahun setelah nubuatan Muhammad!
  • Teks asli Qur’an tidak mempunyai huruf hidup. Jadi, kata Arab Sayaghlibuna, “mereka akan mengalahkan,” dapat dengan mudah tertukar artinya, dengan mengubah dua huruf hidup, menjadi Sayughlabuna, “mereka (yaitu bangsa Roma) akan dikalahkan.” Oleh karena huruf hidup tidak ditambahkan beberapa waktu setelah peristiwa ini, sangatlah mungkin si penulis dengan sengaja bermain-main dengan teks tersebut, memaksakan teks tersebut seolah menjadi sebuah pernyataan profetis (nubuatan ilahiah).
Kenyataan ini diperkuat oleh komentator Muslim al-Baidawi. C.G. Pfander menyebutkan komentar Baidawi dalam berbagai bacaan di seputar teks ini:
“Tetapi Al Baizawi mengaburkan keseluruhan argumen orang Muslim dengan memberi informasi pada kita mengenai beberapa varian pembacaan ayat-ayat dari Suratu’r Rum. Ia mengatakan pada kita bahwa ada yang membaca غَلَبَتِ dan bukannya seperti biasanya, غُلِبَتِ, danسَيُغْلَبُونَ alih-alih سَيَغْلُبُونَ. Maknanya kemudian akan menjadi: ‘Orang-orang Byzantium telah menaklukkan bagian terdekat negeri itu, dan mereka akan dikalahkan dalam beberapa tahun’. Jika ini adalah pembacaan yang tepat, maka kisah pertemuan Abu Bakr dengan Ubai pasti hanya sebuah dongeng, oleh karena Ubai sudah wafat jauh sebelum orang Muslim mulai mengalahkan Byzantium, dan bahkan jauh sebelum kemenangan-kemenangan Heraclius atas Persia. Ini menunjukkan betapa tradisi-tradisi semacam itu tidak dapat dipercayai. Penjelasan yang diberikan Al Baizawi adalah, orang-orang Byzantium menjadi para penakluk ‘negeri Syria yang terairi dengan baik’ (على ريف آلْشام), dan teks tersebut menubuatkan orang Muslim segera akan mengalahkan mereka. Jika artinya seperti ini, maka tradisi yang mencatat ‘turunnya’ ayat-ayat itu sekitar 6 tahun sebelum Hijrah pastilah salah, dan teks itu paling awal bertanggal 6 Hijriah. Sudah jelas bahwa, oleh karena huruf hidup tidak digunakan ketika Qur’an pertama kalinya ditulis dalam huruf Kufik, tidak seorangpun dapat memastikan yang manakah dari dua pembacaan tersebut yang benar.
Kita telah melihat ada banyak ketidakpatian mengenai: (1) Tanggal ayat-ayat tersebut ‘diturunkan’, (2) Pembacaan yang benar, dan (3) Maknanya, sehingga sangat mustahil untuk menunjukkan bahwa teks tersebut memuat nubuatan yang telah digenapi. Oleh karena itu, teks tersebut tidak dapat dijadikan bukti nubuat kenabian Muhammad”. (C. G. Pfander, Mizan-ul-Haqq – The Balance of Truth, revised and enlarged by W. St. Clair Tisdall [Light of Life P.O. Box 18, A-9503, Villach Austria], h. 279-280; penekanan oleh penulis)
Dengan keadaan ini, seorang Muslim tidak dapat dengan yakin mengatakan pada kita pembacaan teks mana yang benar dan dengan demikian tidak dapat meyakinkan kita bahwa ayat ini aslinya menubuatkan kemenangan Byzantium atas Persia. Bahkan ini memberikan kita nubuat yang (ternyata) palsu dalam Qur’an.
  • Kita menjadi heran melihat nubuat dari Tuhan tidak dapat memerinci waktu kemenangan yang dialami, mengingat Tuhan itu Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana, yang telah menetapkan akhir dari sebuah permulaan. Ketika Tuhan memerinci suatu kerangka waktu sebagai sebuah bagian yang penting dari nubuatan maka kita mengharapkan ketepatan waktu, bukan menerka-nerka tanpa juntrung. Apabila Tuhan menebak orang Byzantium pada suatu ketika akan menang, yaitu dalam “beberapa tahun” (yang ternyata nyasar kebelasan tahun) dan bukannya menetapkan tahun yang pasti, itu tidaklah konsisten dengan keyakinan akan Dia yang Maha Kuasa dan Maha Hadir. Dengan demikian, tidak mungkin Tuhan yang sejati membuat nubuatan semacam itu.
Menariknya, frase “beberapa tahun” malahan semakin mendiskreditkan nubuatan ini. Abu Bakr meyakini istilah “beberapa tahun” berarti orang-orang Byzantium akan memperoleh kemenangan dalam waktu 3 tahun:

“Teks ini berkenaan dengan kekalahan orang-orang Byzantium di Syria oleh orang Persia di bawah Khusran Parvis (615 M, enam tahun sebelum Hijrah). Namun demikian, kekalahan orang Persia segera akan terjadi ‘dalam satu atau dua tahun’. Berdasarkan prediksi ini, Abu Bakr membuat taruhan dengan Ubai-ibn-Khalaf bahwa prediksi ini akan digenapi dalam tiga tahun, tetapi ia dikoreksi oleh Muhammad yang menyatakan bahwa ‘satu dua tahun’ artinya antara 3 dan 9 tahun (Al-Baizawi)”. Orang Muslim mengatakan pada kita bahwa orang Byzantium mengalahkan musuh-musuh mereka dalam tempo 7 tahun. Namun demikian, kenyataannya orang Byzantium mengalahkan Persia pada 628 M (komentari Al-Baizawi). Ini 12 tahun tahun setelah nubuat Muhammad. Akibatnya teks ini tidak memenuhi kualifikasi sebuah nubuat, terutama lagi peristiwanya sangat mudah ditebak”. (Gerhard Nehls, Christians Ask Muslims [Life Challenge, SIM International; Africa, 1992], h. 70-71)
Saat memasuki Mekkah Sura 48:27 memberikan janji berikut ini:
“Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya (yaitu) bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidilharam, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang tiada kamu ketahui dan Dia memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat.”
Ayat ini diwahyukan sehubungan dengan kegagalan usaha orang Muslim masuk ke Mekkah untuk melaksanakan Tawaf (ritual dalam ibadah Haji yaitu berlari di antara 2 gunung yang dianggap sebagai peringatan peristiwa Hagar menimba air untuk Ismail).
Dalam perjalanan mereka ke Ka’bah, mereka bertemu dengan utusan Mekkah yang dipimpin Suhail b. Amr yang melarang orang Muslim menyelesaikan perjalanan mereka. Pertemuan ini kemudian berujung pada penandatanganan perjanjian Hudaibiya.
Beberapa permasalahan timbul dari keseluruhan insiden ini. Pertama, pada penandatanganan perjanjian Hudaibiya, Muhammad sepakat dengan kaum pagan Mekkah untuk mengembalikan pada mereka orang-orang yang telah memeluk Islam. Pada saat yang sama Muhammad juga tunduk kepada tuntutan mereka untuk menggantikan tanda tangannya ‘Muhammad, Rasul Allah’ dengan ‘Muhammad, putra Abdullah’ sehingga ia diijinkan untuk berziarah ke Mekkah pada tahun berikutnya. Berikut ini diambil dari Sahih al-Bukhari, Volume 3, Buku 50, Nomor 891:
“Ketika Suhail bin Amr datang, Nabi berkata, ‘Kini masalahnya sudah menjadi mudah’. Suhail berkata kepada Nabi, ‘Buatlah perjanjian damai dengan kami’. Jadi, Nabi memanggil juru tulis dan berkata kepadanya, ‘Tulislah: Demi nama Allah, Yang Maha Pengasih dan Maha Pemurah’. Suhail berkata, ‘Mengenai kata Maha Pemurah, demi Allah, aku tidak tahu apa artinya. Jadi tulislah: Demi nama-Mu ya Allah, seperti yang biasa kau tulis sebelumnya’. Orang Muslim berkata, ‘Demi Allah, kami tidak akan menulisnya kecuali: Demi nama Allah, Yang Maha Pengasih dan Maha Pemurah’. Nabi berkata, ‘Tulislah: Demi nama-Mu ya Allah’. Kemudian ia mendikte, ‘Inilah perjanjian damai yang telah dibuat Muhammad, Rasul Allah’. Suhail berkata, “Demi Allah, jika kami tahu engkau adalah Rasul Allah kami tidak akan mencegahmu mengunjungi Kabah, dan tidak akan memerangimu. Jadi, tulislah: ‘Muhammad bin Abdullah’. Nabi berkata, ‘Demi Allah! Aku adalah Rasul Allah sekalipun kalian tidak mempercayaiku. Tulislah: ’Muhammad bin Abdullah.’ (Az-Zuhri berkata, ‘Nabi menerima semuanya, karena sebelumnya ia telah mengatakan bahwa ia akan menerima semua tuntutan mereka jika itu sejalan dengan ketetapan Allah’, (yaitu dengan mengijinkannya dan para sahabatnya untuk melaksanakan Umroh). Nabi berkata kepada Suhail, ‘Dengan syarat engkau mengijinkan kami mengunjungi Rumah (yaitu Kabah) supaya kami dapat melakukan Tawaf di sekelilingnya’. Suhail berkata, ‘Demi Allah, kami tidak akan (mengijinkanmu tahun ini) agar tidak memberi kesempatan kepada orang-orang Arab untuk mengatakan bahwa kami telah menyerah kepada kalian, tetapi kami akan mengijinkan kalian tahun depan’. MAKA, NABI MENYURUH UNTUK MENULISKAN HAL ITU.
“Kemudian Suhail berkata, ‘Kami juga mendesak agar kalian mengembalikan pada kami siapapun yang datang pada kalian dari kami, sekalipun ia telah memeluk agama kalian’. Orang Muslim berkata, ‘Dimuliakanlah Allah! Bagaimanakah orang seperti itu dikembalikan kepada pagan setelah ia menjadi Muslim?’” (penekanan dengan cetak tebal oleh penulis).
Salah seorang yang dari mereka yang dipaksa kembali ke Mekkah dengan kaum pagan adalah Abu Jandal. Dalam Sirat Rasulullah (The Life of Muhammad, terj. Alfred Guillaume, Oxford University Press), h. 505, karangan Ibn Ishaq, dikatakan:
‘Ketika Suhayl (perwakilan orang Mekkah dan tokoh dalam perjanjian tersebut) melihat Abu Jandal, ia berdiri dan menampar wajahnya dan mencengkeram kerah bajunya, dan berkata, ‘Muhammad, kesepakatan diantara kami telah disetujui sebelum orang ini datang kepadamu’. Ia menjawab, ‘Engkau benar’. Ia mulai menariknya dengan kasar dengan mencengkeram kerah bajunya dan menyeretnya, mengembalikannya kepada Quraisy, sementara Abu Jandal menjerit sambil tercekik, ‘Apakah aku akan dikembalikan kepada para penganut politeis supaya mereka dapat membuat aku berpaling dari agamaku wahai orang Muslim?’ Dan itu menambah kemarahan orang banyak’” (penekanan oleh penulis).
Dan:
‘Sementara mereka dalam keadaan ini Abu–Jandal bin Suhail bin ‘Amr datang dari lembah Mekkah gemetaran dan tersungkur di tengah orang Muslim. Suhail berkata, ‘Wahai Muhammad! Inilah persyaratan pertama dalam perjanjian damai kami dengan engkau, yaitu engkau akan mengembalikan Abu Jandal kepadaku’. Nabi berkata, ‘Perjanjian damai itu masih belum ditulis’. Suhail berkata, ‘Aku tidak akan pernah mengijinkanmu tetap menahannya’. Nabi berkata, ‘Ya, lakukanlah’. Ia berkata, ‘Aku tidak akan melakukannya: Mikraz berkata, ‘Kami mengijinkanmu (menahannya)’. Abu Jandal berkata, ‘Wahai orang Muslim! Apakah aku akan dikembalikan kepada orang-orang pagan walaupun aku telah menjadi Muslim? Tidakkah kalian melihat betapa aku telah menderita?’
Sebelumnya Abu Jandal telah disiksa dengan sangat berat demi tujuan Allah (Sahih al-Bukhari, Volume 3, Buku 50, Nomor 891)
Kita harus bertanya apakah Musa pernah mengembalikan seorang petobat (terutama seorang Mesir) kembali kepada Firaun yang menyembah berhala untuk menyenangkannya dan mendapatkan apa yang diinginkannya? Apakah Yesus pernah mengkompromikan kebenaran Tuhan dengan bersepakat dengan orang Farisi dan mengembalikan para pencari kebenaran yang bukan Yahudi agar Ia dapat diterima oleh dewan pemerintahan Yahudi? Apakah Musa atau Yesus akan bertindak sejauh itu dengan menyangkali kerasulan mereka untuk memuaskan tuntutan kaum pagan? Akankah orang-orang ini menolak memuliakan Tuhan yang sejati dalam cara yang diperintahkan Sang Pencipta dan tunduk kepada permintaan orang-orang yang tidak percaya untuk menyebut nama Tuhan sesuai kehendak mereka, seperti yang dilakukan Muhammad?
Seperti dugaan kita, orang Muslim menjadi marah, terutama Umar b. al-Khattab yang menghardik Muhammad:
‘Umar bin al-Khattab berkata, ‘Aku menemui Nabi dan berkata, “Bukankah engkau benar-benar utusan Allah?” Nabi berkata, “Ya, benar”. Aku berkata, “Bukankah jalan kita benar dan jalan musuh kita tidak benar?” Ia berkata, “Ya”. Aku berkata, “Jadi mengapa kita harus rendah hati dalam agama kita?” Ia berkata, “Aku adalah utusan Allah dan aku tidak melanggar perintah-Nya, dan Ia akan membuat aku berkemenangan”’ (Sahih al-Bukhari, Volume 3, Book 50, Number 891)
Kemarahan orang-orang Muslim dapat dibenarkan ketika kita menyadari bahwa Muhammad menjanjikan para pengikutnya akan mempunyai akses ke Mekkah pada tahun itu juga. Ketika hal itu tidak terjadi, Muhammad berusaha membenarkan pernyataannya dengan mengatakan, “Ya, apakah pernah aku mengatakan padamu bahwa kita akan pergi ke Kabah tahun ini?” (Ibid)
Dengan kata lain, oleh karena ia tidak memerinci kapan mereka akan memasuki Mekkah, ini tidak dapat dipandang sebagai nubuat palsu! Ini semata-mata hanyalah sebuah kesalahan oleh karena rombongan orang Muslim sedang dalam perjalanan menuju ke Mekkah ketika perwakilan kaum pagan Arab menghentikan mereka. Pada kenyataannya, salah satu tuntutan Muhammad dalam menandatangani perjanjian itu adalah justru agar kaum pagan mengijinkan orang Muslim menuntaskan perjalanan mereka ke Mekkah untuk melaksanakan Tawaf. Suhail menolak permintaan Muhammad dan malah membuat kesepakatan sehingga orang Muslim dapat masuk ke Mekkah pada tahun berikutnya. Ibn Kathir kemudian mendukung hal ini dalam komentarinya terhadap Sura 48:27 berikut:
“Dalam sebuah mimpi, Rasul Allah melihat dirinya sendiri memasuki Mekkah dan melaksanakan Tawaf di sekitar Rumah. Ia menceritakan pada para sahabatnya mimpi ini ketika ia masih di Al-Madinah. Ketika mereka pergi ke Mekkah pada tahun Al-Hudaybyyah, tak seorangpun di antara mereka meragukan penglihatan Nabi AKAN MENJADI KENYATAAN TAHUN ITU JUGA. Ketika perjanjian damai itu telah disepakati dan mereka harus kembali ke Al-Madinah pada tahun itu, dan diijinkan kembali ke Mekkah pada tahun berikutnya, BEBERAPA ORANG SAHABAT NABI TIDAK MENYUKAI APA YANG TELAH TERJADI. ‘Umar bin Al-Khattab bertanya mengenai HAL INI, dan berkata, ‘Bukankah engkau telah mengatakan pada kami bahwa kita akan pergi ke Rumah dan melaksanakan Tawaf di sekitarnya?’” (Tafsir Ibn Kathir, Abridged, Volume 9, Surat Al-Jathiyah to the end of Surat Al-Munafiqun, Dirangkum oleh sekelompok sarjana di bawah pengawasan Shaykh Safiur-Rahman Al-Mubarakpuri [Darussalam Publishers & Distributors, Riyadh, Houston, New York, London, Lahore; edisi pertama, September 2000], h. 171; penekanan cetak tebal oleh penulis).
Al-Tabari menulis:
“Sementara Rasul Allah menulis dokumen itu – ia dan Suhayl b. ‘Amr – tiba-tiba Abu Jandal, anak Suhayl b. ‘Amr, datang dengan langkah-langkah pendek tergopoh-gopoh. Ia telah berhasil meloloskan diri menemui Rasul Allah. Para sahabat Rasul Allah TIDAK RAGU mereka akan menaklukkan, karena ada visi yang dilihat Rasul Allah. Oleh karena itu, ketika mereka melihat apa yang ada di depan mata mereka – perdamaian, langkah mundur, dan kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan Rasul Allah – mereka sangat berduka akan hal itu sehingga mereka hampir putus asa. Ketika Suhayl melihat Abu Jandal, ia mendatanginya, menampar wajahnya, dan mencengkeramnya pada bagian atas jubahnya. “Muhammad”, katanya, “perjanjian itu ditandatangani antara aku dan engkau sebelum orang ini datang kepadamu”. “Engkau benar”, jawabnya. Suhayl mulai menarik dan menyeret [anaknya Abu Jandal] pada bagian atas jubahnya untuk mengembalikannya pada kaum Quraysh. Abu Jandal mulai berteriak sekuat tenaganya, “Wahai orang-orang Muslim, akankah aku dikembalikan kepada para politeis agar mereka menyiksaku oleh karena agamaku?” Ini membuat orang-orang merasa semakin marah. Rasul Allah berkata: “Abu Jandal, anggaplah sebagai pahala, karena Allah akan memberimu dan juga orang-orang yang tertindas bersamamu, kelepasan dan jalan keluar. Kami telah mengadakan perjanjian dan damai antara kami dengan orang-orang ini; kami telah berjanji pada mereka dan mereka pun telah berjanji pada kami, dan kami tidak akan berkhianat terhadap mereka”. (The History of Al-Tabari: The Victory of Islam, Volume VIII, h. 86-87; penekanan oleh penulis).
Ini membuktikan bahwa Muhammad sebenarnya percaya ia akan memasuki Mekkah, sebuah rencana yang tidak pernah terwujud. Untuk menyelamatkan mukanya, ia harus menyangkal bahwa ia mengatakan orang Muslim akan masuk ke Mekkah pada tahun itu juga!
Kedua, keadaan diperburuk ketika Muhammad membatalkan perjanjian dengan orang Mekkah dengan menolak mengembalikan petobat-petobat Muslim dari kaum Quraisy. Penolakan ini jelas merupakan pelanggaran terhadap hal-hal yang tercantum dalam dokumen yang telah disetujui Muhammad dan yang ditandatanganinya:
“Umm Khulthum Uqba b. Mu’ayt berpaling kepada Rasul dalam periode ini. Kedua saudaranya ‘Umara dan Walid anak-anak ‘Uqba, datang dan meminta Rasul untuk mengembalikannya kepada mereka sesuai dengan kesepakatan antara ia dengan kaum Quraysh di Hudaybiyya, tetapi ia menolak. Allah melarangnya” (Sirat Rasulullah, p. 509; penekanan oleh penulis).
Dengan demikian Muhammad membenarkan pembatalan sumpahnya dengan mengklaim bahwa itu adalah kehendak Allah. Malangnya bagi orang Muslim, ini akan membuktikan bahwa Tuhan yang disembah Muhammad bukanlah Tuhan dalam Alkitab yang suci, oleh karena mengingkari sumpah sangat tidak diperbolehkan (bdk. Bilangan 30:1-2).
Berdasarkan semua ini kita harus mempertimbangkan untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut. Pernahkah Musa tunduk pada permintaan Firaun agar dapat membawa orang Israel keluar dari perbudakan di Mesir? Pernahkah Yesus menyangkali status-Nya sebagai Mesias agar mendapatkan akses ke Bait Suci? Adakah nabi Tuhan yang sejati berkompromi dengan orang-orang tak beriman agar dapat menggenapi kehendak Tuhan? Apakah para nabi ini terus membatalkan sumpah dan janji mereka agar memperoleh keuntungan yang tidak adil terhadap orang-orang yang tak beriman?
Satu masalah terakhir berkenaan dengan semua ini adalah, orang Muslim mengklaim bahwa setiap kata dalam Qur’an diwahyukan secara langsung oleh Allah kepada Muhammad melalui Jibril. Berdasarkan asumsi ini selanjutnya orang Muslim berpendapat tidak ada orang yang dapat menemukan perkataan Muhammad tumpang tindih dengan perkataan Allah. Jika demikian, bagaimana orang Muslim menjelaskan kenyataan bahwa Sura 48:27 memuat pernyataan insya Allah, yaitu “jika Allah menghendaki?” Apakah Allah tidak tahu apa kehendak-Nya? Jika demikian, apakah Ia tidak yakin apakah tujuan-Nya akan tercapai atau tidak sehingga Ia harus melengkapi pernyataan-Nya sendiri dengan frase insya Allah?
Kita dapat mengerti betapa lemahnya manusia yang tidak mengetahui tujuan Tuhan itu boleh melengkapi pernyataan mereka dengan ekspresi “jika Tuhan berkehendak” (bdk. Yakobus 4:13-15). Tetapi jikalau Tuhan sendiri yang membuat kualifikasi semacam itu, ini sangat tidak layak dan tidak masuk akal.
Lebih jauh lagi, jika Allah pada kenyataannya adalah pihak yang sedang berbicara, lalu siapa yang dimaksudkan-Nya ketika Ia mengatakan “jika Allah menghendaki”? Apakah Ia sedang berbicara mengenai diri-Nya sendiri atau orang lain? Jika Ia sedang berbicara mengenai orang lain, lalu ada berapa Allah? Atau barangkali Allah adalah Sosok yang berkepribadian banyak mengingat ada lebih dari satu Pribadi yang membentuk keesaan Allah?
Ini membawa kita pada kesimpulan bahwa nubuat Muhammad bukan hanya tidak terwujud, tetapi motivasi-motivasinya dalam menyampaikan wahyu adalah kekuasaan, uang dan ketenaran. Ayat ini juga sekaligus membuktikan bahwa Allah bukanlah pembuat Qur’an.
Mengenai munculnya Antikristus dan akhir dunia
Muhammad terang-terangan mengklaim bahwa Antikristus (yang disebut Dajjal), akan muncul tidak lama setelah orang Muslim menaklukkan Konstantinopel. Tradisi-tradisi berikut ini diambil dari Sunan Abu Dawud:
Dikisahkan oleh Mu’adh ibn Jabal:
Nabi (SAW) berkata: Kejayaan Yerusalem akan terjadi ketika Yathrib tinggal reruntuhan, kehancuran Yathrib akan terjadi ketika perang besar datang, hasil akhir perang besar adalah penaklukkan Konstantinopel dan penaklukkan Konstantinopel ketika Dajjal (Antikristus) datang. Ia (Nabi) memukul paha atau pundaknya dengan tangannya dan berkata: hal ini benar sebagaimana engkau ada disini atau saat engkau sedang duduk (artinya Mu’adh ibn Jabal)???
Dikisahkan oleh Mu’adh ibn Jabal:
Nabi (SAW) berkata: Perang yang terbesar, penaklukkan Konstantinopel dan kedatangan Dajjal (Antikristus) akan terjadi dalam waktu tujuh bulan.
Dikisahkan oleh Abdullah ibn Busr:
Nabi (SAW) berkata: Waktu antara perang besar dan penaklukan kota (Konstantinopel) adalah tujuh tahun, dan Dajjal (Antikristus) akan datang pada tahun ketujuh.
Berdasarkan hal itu, orang Muslim menaklukkan Yerusalem pada 636 M. Konstantinopel diambil alih oleh orang Muslim pada Mei 1453 M. tetapi nubuat mengenai Yathrib (Medinah) porak poranda dan kedatangan Antikristus yang akan terjadi pada bulan ketujuh setelah penaklukkan Konstantinopel tidak terwujud. Berdasarkan tradisi-tradisi terdahulu, Antikristus diharuskan muncul pada November 1453.
Boleh jadi ada yang ingin berargumen bahwa peristiwa-peristiwa ini mengacu kepada penaklukan-penaklukan di masa depan. Sebagai contoh bisa jadi ada yang mengatakan bahwa Konstantinopel digunakan sebagai sebuah sinonim bagi kekaisaran Kristen Roma. Oleh karena itu, ini menubuatkan orang Muslim akan mengambil alih Roma sebelum Antikristus muncul.
Masalahnya adalah jika Muhammad berbicara mengenai Roma, sederhananya ia hanya menggunakan kata Roma (bahasa Arab: Ar-Rum). Kenyataannya, Roma/Ar-Rum adalah nama untuk Sura ke 30 dalam Qur’an. Jika ia menyebut Konstantinopel atau bahkan Byzantium ia justru akan membuat kesalahan anakronistik (penempatan peristiwa/ orang/benda pada masa yang salah). Lihat pembahasan di atas.
Dengan demikian, berdasarkan faktor-faktor yang ada, kita terpaksa menyimpulkan bahwa nubuat-nubuat Muhammad gagal terwujud, sehingga ini mendiskualifikasinya dari klaim kenabiannya.
Muhammad juga percaya bahwa dunia ini berusia muda dan akan berakhir tidak lama setelah kedatangannya. Kutipan-kutipan berikut ini diambil dari The History of al-Tabari, Volume 1 – General Introduction and from the Creation to the Flood (terj. Franz Rosenthal, State University of New York Press, Albany 1989), penekanan dengan huruf cetak tebal oleh penulis:
“Menurut Ibn Humayd-Yahya b. Wadih – Yahya Ya’qub – Hammad – Sa’id b. Jubayr – Ibn Abbas: Dunia ini adalah salah satu dari sekian banyak minggu dunia yang lain – tujuh ribu tahun. Enam ribu dua ratus tahun telah berlalu. (Dunia ini) pasti akan mengalami ratusan tahun, yang dalam masa itu tidak ada orang yang beriman kepada keesaan Allah. Yang lainnya mengatakan bahwa total lamanya waktu adalah enam ribu tahun”. (Tabari, h. 172-173; penekanan oleh penulis).
“Menurut Abu Hisham- Mu’awiyah b. Hisham- Sufyan- al-A’mash- Abu Salih- Ka’b: Dunia ini berusia enam ribu tahun”. (Ibid.)
“Menurut Muhammad b. Sahl b. ‘Askar- Isma’il b. ‘Abd al-Karim- ‘Abd al-Samad b. Ma’qil I- Wahb: Lima ribu enam ratus tahun usia dunia ini telah berlalu. Saya tidak tahu raja-raja dan nabi-nabi mana yang telah hidup dalam tiap periode (zaman) dalam tahun-tahun itu. Saya bertanya pada Wahb b. Munabbih: Berapa lama (durasi total) dunia ini? Ia menjawab: Enam ribu tahun”. (Tabari, h. 173-174; penekanan oleh penulis).
Menurut at-Tabari Muhammad percaya bahwa akhir dunia akan terjadi 500 tahun setelah kedatangannya:
“Menurut Hannad b. al-Sari and Abu Hisham al-Rifa’i- Abu Bakr b. ‘Ayyash- Abu Hasin- Abu Salih- Abu Hurayrah: Rasul Allah berkata: Ketika aku diutus (untuk menyampaikan pesan ilahi), aku dan Waktu bagaikan dua ini, sambil menunjuk jari tengah dan jari telunjuknya”. (Tabari, p. 176; penekanan oleh penulis, lihat juga h. 175-181).
Tradisi-tradisi serupa ditemukan dalam Sahih Muslim:
Hadis ini telah dilaporkan oleh Sahl b. Sa’d bahwa ia mendengar Rasul Allah (SAW) berkata: aku dan Waktu Terakhir (sangat erat) seperti ini (dan ia, untuk menjelaskan hal itu) menunjuk (dengan menyatukan) jari telunjuk (yaitu jari) yang dekat dengan jempol dan jari tengah (bersama-sama).
Shu’ba melaporkan: Aku mendengar Qatada dan Abu Tayyab bercerita bahwa keduanya mendengar Anas ketika bercerita bahwa Rasul Allah (SAW) berkata: Aku dan Waktu Terakhir telah diutus seperti ini, dan Shu’ba mengacungkan jari telujuk dan jari tengahnya saling berdekatan ketika ia sedang menceritakannya.
Anas melaporkan Utusan Allah (SAW) berkata: Aku dan Waktu Terakhir telah diutus seperti ini dan (ketika ia melakukannya) menggabungkan jari telunjuk dengan jari tengah.
At-Tabari mengomentari makna Waktu yang dekat dengan Muhammad bagaikan jari tengah dan jari telunjuknya:
“Dengan demikian, (bukti mengijinkan adanya) konklusi sebagai berikut: Permulaan hari adalah terbitnya fajar, dan akhirnya adalah terbenamnya matahari. Selanjutnya, tradisi mengenai otoritas Nabi adalah benar. Seperti yang telah kita sebutkan sebelumnya, ia berkata setelah sembahyang siang: apa yang tersisa dari dunia ini dibandingkan dengan apa yang telah berlalu darinya bagaikan sisa hari ini dibandingkan dengan apa yang telah berlalu darinya. Ia juga berkata: Ketika aku diutus, aku dan Waktu bagaikan jari tengah dan jari telunjuk ini terjalin bersama; aku mengumpamakannya seperti ini – yaitu jari tengah – melampaui yang satunya – yaitu jari telunjuk. Selanjutnya, lamanya (waktu) antara sembahyang siang – yaitu, ketika bayangan dari segala sesuatu dua kali lebih besar dari ukuran aslinya, berdasarkan asumsi yang terbaik (‘ala al-taharri) – (hingga matahari terbenam) adalah lamanya waktu satu setengah dari sepertujuh hari, diberi atau diambil sedikit. Demikian pula, ekses panjangnya jari tengah yang melebihi jari telunjuk adalah kira-kira atau serupa dengan hal itu. Ada juga tradisi yang benar mengenai otoritas Rasul Allah, seperti yang dikisahkan Ahmad b. ‘Abd al-Rahman b. Wahb kepadaku – yaitu paman kandungnya ‘Abdallah b. Wahb- Mu’awiyah b. Salih- ‘Abd al-Rahman b. Jubayr b. Nufayr- ayahnya Jubayr b. Nufayr – sahabat Nabi, Abu Tha’labah al-Khushani: Rasul Alah berkata: Sesungguhnya, Allah tidak akan membuat bangsa ini tidak mampu (bertahan) setengah hari – sehubungan dengan hari dalam seribu tahun.
“Semua fakta ini jika digabungkan akan memperjelas dua pernyataan yang telah saya sebutkan berkenaan dengan totalitas jangka waktu, satu dari Ibn Abbas, dan yang lainnya dari Ka’b, yang nampaknya lebih tepat sesuai dengan informasi dari Rasul Allah yaitu yang diteruskan Ibn ‘Abbas kepada kami dengan otoritasnya: Dunia ini adalah satu dari minggu-minggu dunia lain – tujuh ribu tahun”.
“Akibatnya, oleh karena demikian adanya dan laporan mengenai otoritas Rasul Allah adalah benar – yaitu, ia melaporkan apa yang tersisa dari waktu yang dimiliki dunia ini selama masa hidupnya adalah setengah hari, atau lima ratus tahun, oleh karena lima ratus tahun adalah setengah hari dari hari-hari itu, dimana satu hari adalah seribu tahun – konklusinya adalah, waktu yang dimiliki dunia ini telah berlalu hingga ke saat pernyataan Nabi berkaitan dengan apa yang telah kami teruskan dengan otoritas Abu Tha’labah al-Khushani dari Nabi, dan adalah 6500 tahun atau kira-kira 6500 tahun. Allah lebih tahu!” (Tabari, h. 182-183, penekanan dengan cetak tebal oleh penulis)
Oleh karena itu, berdasarkan tradisi-tradisi ini Muhammad meyakini bahwa tidak hanya dunia ini berusia kurang dari 7000 tahun tetapi dunia ini akan berakhir pada hari ketujuh, atau tujuh ribu tahun sejak dunia ini diciptakan!
Dengan demikian, dunia ini mestinya sudah berakhir kira-kira antara tahun 1070-1132 M, kurang lebih 500 tahun setelah kelahiran dan kematian Muhammad. Ini berdasarkan pada kenyataan bahwa menurut at-Tabari dan yang lainnya, kedatangan Muhammad terjadi kira-kira 6500 tahun sejak waktu penciptaan. Jelas ini lagi-lagi adalah nubuat palsu.
Namun tanggal ini bertentangan dengan tanggal yang diperkirakan Abu Dawood dalam Sunannya. Disana, kita melihat bahwa Antikristus akan muncul tujuh bulan setelah penaklukkan Konstantinopel, sebuah peristiwa yang terjadi pada 1453 M. jika demikian, bagaimana Muhammad dapat mengklaim bahwa dunia akan berakhir 500 tahun setelah kelahiran dan kematiannya? Yang memperburuk adalah tradisi Islam yang mengklaim bahwa Antikristus benar-benar akan muncul dalam masa hidup Muhammad. Kenyataannya berdasarkan tradisi-tradisi, Antikristus adalah seorang pria bernama Ibn Saiyad:
Dikisahkan oleh Ibn ‘Umar:
‘Umar pergi bersama Nabi (SAW) dengan sekelompok orang menemui Ibn Saiyad hingga mereka melihatnya sedang bermain dengan anak-anak laki-laki dekat perbukitan Bani Mughala. Pada waktu itu Ibn Saiyad sedang memasuki masa remajanya dan tidak memperhatikan (kami) hingga nabi memukulnya dengan tangannya dan berkata kepadanya, “Apakah engkau bersaksi bahwa aku adalah Rasul Allah?” Ibn Saiyad memandangnya dan berkata, “Aku bersaksi bahwa engkau adalah Utusan bagi orang yang buta huruf”. Kemudian Ibn Saiyad bertanya kepada Nabi (SAW), “Apakah engkau bersaksi bahwa aku adalah Rasul Allah?” Rasul (SAW) menolaknya dan berkata, “Aku percaya kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya”. Kemudian ia berkata (kepada Ibn Saiyad), “Apa pendapatmu?” Ibn Saiyad menjawab, “Orang-orang benar dan para pembohong mengunjungiku”. Nabi berkata, “Engkau telah bingung dengan masalah ini”. Kemudian Nabi berkata kepadanya, “Aku memikirkan sesuatu tentang engkau, (dapatkah kau mengatakannya padaku apakah itu?)”. Ibn Saiyad berkata, “Itu adalah Al-Dukh (asap)”. (2) Nabi berkata, “Biarlah engkau ada dalam ketidaktahuan. Engkau tidak dapat melewati kekurangan-kekuranganmu”. Mendengar hal itu ‘Umar berkata, “Wahai Rasul Allah! Ijinkan aku memenggal kepalanya”. Tetapi nabi (SAW) berkata, “Jika ia adalah dia (yaitu Dajjal), maka engkau tidak dapat mengalahkannya, dan jika ia bukan, maka tidak ada gunanya membunuhnya”. (Ibn ‘Umar menambahkan): Kemudian Rasul Allah (SAW) sekali lagi pergi bersama Ubai bin Ka’b ke (kebun) pohon-pohon Kurma dimana Ibn Saiyad tinggal. Nabi (SAW) ingin mendengar sesuatu dari Ibn Saiyad sebelum Ibn Saiyad dapat melihatnya, dan nabi (SAW) melihatnya berbaring ditutupi sehelai kain dan mendengar ia menggerutu. Ibu Ibn Saiyad melihat Rasul Allah ketika ia sedang bersembunyi di balik daun-daun pohon Kurma. Ia berkata kepada Ibn Saiyad, “Wahai Saf! (inilah nama Ibn Saiyad) ada Muhammad disini”. Mendengarnya Ibn Saiyad bangun. Nabi berkata, “Suruh perempuan ini meninggalkannya (jangan ia mengganggunya), kemudian Ibn Saiyad akan menyatakan realitas kasusnya”.
Tradisi-tradisi terus mengidentifikasi Ibn Saiyad sebagai Antikristus:
Dikisahkan oleh Muhammad bin Al-Munkadir:
Aku melihat Jabir bin ‘Abdullah bersumpah demi Allah bahwa Ibn Saiyad adalah Dajjal. Aku berkata kepada Jabir, “Bagaimana engkau bisa bersumpah demi Allah?” Jabir berkata, “Aku telah mendengar ‘Umar bersumpah demi Allah berkenaan dengan hal ini di hadapan Nabi dan Nabi menyetujuinya”.
Dikisahkan oleh Jabir ibn Abdullah:
Muhammad ibn al-Munkadir mengatakan bahwa ia melihat Jabir ibn Abdullah bersumpah demi Allah bahwa Ibn as-Sa’id adalah Dajjal (Antikristus). Aku menunjukkan keterkejutanku dengan berkata: Engkau bersumpah demi Allah! Ia berkata: Aku mendengar Umar bersumpah mengenai itu di hadapan Rasul Allah (SAW), tetapi Rasul Allah (SAW) tidak berkeberatan mengenai hal itu.
Namun tradisi-tradisi ini bertentangan dengan tradisi-tradisi berikut dimana Antikristus digambarkan sebagai seorang bermata satu dan dirantai:
Dikisahkan oleh Ibn Umar:
Suatu ketika Rasul Allah berdiri di antara orang-orang, memuliakan dan memuji Allah karena itu layak bagi-Nya dan kemudian menyebut Dajjal berkata, “Aku memperingatkan kamu akan dia (yaitu Dajjal) dan tidak ada nabi yang memperingatkan bangsanya mengenai dia. Tidak diragukan lagi, Nuh memperingatkan bangsanya mengenai dia tetapi aku mengatakan padamu mengenai sesuatu yang tidak dikatakan nabi manapun kepada bangsa ini sebelum aku. Kamu harus tahu bahwa ia bermata satu, dan Allah tidak bermata satu”.
Berkisahlah Ubadah ibn as-Samit: Nabi (SAW) berkata: Aku telah mengatakan begitu banyak padamu mengenai Dajjal (Antikristus) sehingga aku takut kamu tidak mengerti. Antikristus itu pendek, berjari pendek, berambut ikal, buta, dan tidak berdiri tegak dan juga tidak berpendirian keras. Jika kamu bingung mengenai dia, ketahuilah bahwa Tuhanmu tidak bermata satu.
Dikisahkan oleh Fatimah, anak perempuan Qays:
Rasul Allah (SAW) pernah menunda malam sembahyang berjamaah. Ia keluar dan berkata: perkataan Tamim ad-Dari menahanku. Ia meneruskannya kepadaku dari seorang yang ada di pulau-pulau di laut. Tiba-tiba saja ia mendapati seorang perempuan yang sedang menyerat rambutnya. Ia bertanya: Siapakah engkau?
Ia berkata: Aku adalah Jassasah. Pergilah ke kastil itu. Jadi aku pergi kesana dan menemukan seorang pria yang sedang menyeret rambutnya, ia dirantai dengan besi, dan melompat-lompat antara Surga dan bumi.
Aku bertanya: Siapakah engkau? Ia menjawab: Akulah Dajjal (Antikristus). Apakah Nabi orang-orang yang buta huruf kini telah datang? Aku menjawab: Ya. Ia berkata: apakah mereka menaatinya atau tidak? Aku berkata: Tidak, mereka telah menaatinya. Ia berkata: Itu lebih baik bagi mereka.
Disini mungkin ada yang menyela dan mengklaim bahwa tradisi-tradisi menyebutkan ada 30 Antikristus yang akan datang ke dunia:
Dikisahkan oleh Abu Hurayrah:
Nabi (SAW) berkata: Waktu Terakhir tidak akan datang sebelum datangnya tiga puluh Dajjal (para penyesat), setiap orang menganggap dirinya sendiri sebagai Rasul Allah. (lihat juga Sahih al-Bukhari, Volume 9, Buku 88, Nomor 237)
Ini mengakibatkan Ibn Saiyad hanyalah satu dari 30 Antikristus, dan bukan SANG Antikristus yang akan datang tepat sebelum akhir dunia.
Ada beberapa permasalahan dengan pendapat ini. Pertama, tidak satupun dari tradisi-tradisi ini yang mengklaim bahwa Ibn Saiyad adalah satu dari 30 Antikristus yang akan muncul. Melainkan, tradisi-tradisi mengemukakan bahwa dialah SANG Dajjal atau Antikristus. Kedua, jika kita mengambil tanggal-tanggal baik yang diusulkan at-Tabari atau Abu Dawood, ke-30 Dajjal itu, semuanya, harus muncul baik sebelum 1070-1132 atau 1453 M. Akhirnya berdasarkan Perjanjian Baru, Muhammad sesungguhnya adalah salah satu dari Antikristus-antikristus tersebut:
“Anak-anakku, waktu ini adalah waktu yang terakhir, dan seperti yang telah kamu dengar, seorang antikristus akan datang, sekarang telah bangkit banyak antikristus. Itulah tandanya, bahwa waktu ini benar-benar adalah waktu yang terakhir. … Siapakah pendusta itu? Bukankah dia yang menyangkal bahwa Yesus adalah Kristus? Dia itu adalah antikristus, yaitu dia yang menyangkal baik Bapa maupun Anak. Sebab barangsiapa menyangkal Anak, ia juga tidak memiliki Bapa. Barangsiapa mengaku Anak, ia juga memiliki Bapa” (1 Yohanes 2:18, 22-23)
Oleh karena Muhammad menyangkali Yesus adalah Putra Tuhan, maka ia adalah salah satu dari banyak Antikristus yang akan datang, menurut Rasul Yohanes.
Jika yang sudah-sudah tidak terlalu buruk, tradisi-tradisi lainnya mengatakan Muhammad menubuatkan bahwa akhir segala sesuatu akan datang dalam masa hidup para pengikutnya:
‘A’isha melaporkan bahwa ketika orang-orang Arab di gurun menemui Rasul Allah (SAW) mereka bertanya mengenai Waktu Terakhir, yaitu kapankah datangnya. Dan ia memandang yang termuda di antara mereka dan berkata: Jika ia hidup ia tidak akan menjadi sangat tua sehingga ia akan melihat Waktu Terakhir mendatangimu, ia akan melihatmu sekarat.
Anas menceritakan bahwa seseorang bertanya pada Rasul Allah (SAW) kapankah Waktu Terakhir akan datang. Di hadapannya ada seorang anak laki-laki dari kaum Ansar yang bernama Mahammad. Rasul Allah (SAW) berkata: Jika anak laki-laki ini hidup, ia tidak akan menjadi sangat tua hingga (ia akan melihat) Waktu Terakhir mendatangimu.
Anas b. Malik menceritakan bahwa seseorang bertanya pada Utusan Allah (SAW) kapankah Waktu Terakhir akan datang? Maka Utusan Allah (SAW) berdiam diri sejenak, kemudian melihat seorang anak laki-laki di hadapannya yang berasal dari suku Azd Shanilwa dan berkata: Jika anak laki-laki ini hidup, ia tidak akan menjadi sangat tua hingga (ia akan melihat) Waktu Terakhir mendatangimu. Anas mengatakan bahwa anak laki-laki ini seusia kita pada hari-hari itu.
Anas menceritakan: Seorang anak laki-laki dari Mughira b. Shu’ba tidak sengaja melewati (nabi suci) dan ia seusia saya. Kemudian Rasul Allah (SAW) berkata: Jika ia berumur panjang ia tidak akan menjadi sangat tua hingga datangnya Waktu Terakhir (kepada orang-orang tua dari generasi ini).
Muhammad dengan jelas mengatakan bahwa anak laki-laki ini tidak akan menjadi sangat tua sebelum Waktu Terakhir mendatangi orang-orang. Marilah sekarang kita bermurah hati dan beranggapan bahwa anak laki-laki itu berusia 10 tahun dan hidup hingga berusia 110 tahun, sehingga Waktu Terakhir akan terjadi ratusan tahun setelah Muhammad membuat pernyataan-pernyataan ini. Namun, berabad-abad telah berlalu dan Waktu Terakhir masih belum mendatangi kita.
Tapi tunggu, masih ada lagi! Berdasarkan kisah-kisah al-Bukhari, Muhammad mengumumkan bahwa semua orang akan mati dalam waktu seratus tahun:
Dikisahkan oleh ‘Abdullah bin ‘Umar:
Suatu ketika nabi memimpin kami sembahyang ‘Isya’ selama lima hari terakhir hidupnya dan setelah menyelesaikannya (sembahyang itu) (dengan Taslim) ia berkata: “Apakah engkau mengetahui (pentingnya) malam ini? Tak seorangpun yang hadir di muka bumi malam ini akan tetap hidup setelah genapnya seratus tahun mulai malam ini”.
Dikisahkan oleh Abdullah:
“Suatu malam Rasul Allah memimpin kami bersembahyang ‘Isha dan itulah yang disebut orang Al-‘Atma. Setelah menyelesaikan sembahyang, ia menghadap kami dan berkata: ‘Apakah engkau mengetahui (pentingnya) malam ini? Tak seorangpun yang hadir di muka bumi malam ini akan tetap hidup setelah seratus tahun mulai malam ini’” (Lihat Hadis No. 575).
Hampir 14 abad telah berlalu dan masih ada makhluk hidup di bumi ini! Hadis ini sangat bermasalah sehingga narasi lainnya berusaha untuk menjelaskannya dengan berargumen bahwa Muhammad benar-benar bermaksud tak satupun dari generasinya yang masih hidup setelah seratus tahun:
Dikisahkan oleh ‘Abdullah bin ‘Umar:
Nabi melakukan sembahyang ‘Isha’ pada hari-hari terakhirnya dan setelah menyelesaikannya dengan Taslim, ia berdiri dan berkata, ““Apakah engkau mengetahui (pentingnya) malam ini? Tak seorangpun yang hadir di muka bumi malam ini akan tetap hidup setelah genapnya seratus tahun mulai malam ini”.
Orang-orang melakukan kesalahan dalam memahami pernyataan Rasul Allah dan mereka berkutat dalam hal-hal yang dikatakan mengenai para narator tersebut (yaitu ada yang mengatakan bahwa Hari Kebangkitan akan terjadi setelah 100 tahun, dll). Tetapi Nabi berkata, “Tak seorangpun yang hadir di muka bumi malam ini akan tetap hidup setelah genapnya seratus tahun mulai malam ini”; maksudnya, “Ketika abad itu (orang-orang dalam abad itu) akan berlalu”.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dari laporan khusus ini. Pertama, perhatikan bagaimana para narator langsung mengemukakan bahwa orang Muslim memahami perkataan Muhammad yang menyatakan bahwa dunia akan berakhir dalam waktu seratus tahun. Ini memberikan bukti bahwa makna sesungguhnya dari apa yang disebut Muhammad sebagai nubuat adalah hari terakhir yang akan terjadi dalam seratus tahun.
Kedua, perhatikan betapa tidak masuk akalnya penjelasan ad hoc ini. Orang yang mengumpulkan Hadis mengharapkan para pembacanya untuk percaya bahwa apa yang dimaksudkan Muhammad adalah tidak satupun dari generasinya yang tetap hidup dalam seratus tahun, sedangkan tidak ada yang mengherankan dari klaim semacam ini. Untuk mengatakan satu generasi akan mati semua dalam waktu seratus tahun tidak membutuhkan pengetahuan supranatural. Satu-satunya yang dibutuhkan untuk membuat klaim semacam itu hanyalah akal sehat oleh karena harapan hidup pada jaman itu sangat rendah. Hampir-hampir tidak ada orang yang hidup lebih dari seratus tahun. Jika itu dimaksudkan sebagai sebuah pernyataan (“nubuat ilahi”) mengenai harapan hidup orang-orang di sekelilingnya, maka hal ini tentu sangat sepele, tak ada yang penting. Jadi apa tujuannya?
Walaupun janggal, pernyataan itu sudah pasti salah. Muhammad mengatakan “di atas bumi” – itu adalah tempat yang sangat luas. Walaupun jarang ada orang yang berusia seratus tahun, kemungkinan besar mereka selalu ada sepanjang masa. Bahkan dalam masa hidup Muhammad setidaknya ada satu orang yang setua itu. Abu Afak dilaporkan mencapai usia 120 tahun:
SARIYYAH SALIM IBN ‘UMAYR
Lalu muncullah sariyyah Salim Ibn ‘Umayr al-‘Amri terhadap Abu ‘Afak, orang Yahudi itu, pada bulan Syawal pada permulaan bulan keduapuluh sejak hijrah Rasul Allah, semoga Allah memberkatinya. Abu ‘Afak, berasal dari banu ‘Amr Ibn ‘Awf, dan adalah seorang yang tua yang telah mencapai usia seratus dua puluh tahun. Ia adalah seorang Yahudi, dan suka menghasut orang untuk melawan Rasul Allah, semoga Allah memberkatinya, dan membuat syair-syair (satiris). Salim Ibn ‘Umayr yang adalah salah satu peratap agung dan yang berpartisipasi dalam Perang Badr, berkata: Aku bersumpah aku akan membunuh Abu ‘Afak atau aku mati sebelum dia mati. Ia menunggu kesempatan hingga datanglah suatu malam yang panas, dan Abu ‘Afak tidur di tempat terbuka. Salim Ibn ‘Umayr mengetahuinya, lalu ia menusukkan pedangnya ke hatinya dan menekannya hingga menembus tempat tidurnya. Musuh Allah itu menjerit dan orang-orang yang adalah para pengikutnya bergegas mendekatinya, membawanya ke rumahnya dan merawatnya. (Ibn Sa’ad’s Kitab Al-Tabaqat Al-Kabir, Terjemahan Inggris oleh S. Moinul Haq, M.A., PH.D didampingi H.K. Ghazanfar M.A. [Kitab Bhavan Exporters & Importers, 1784 Kalan Mahal, Daryaganj, New Delhi – 110 002 India), Volume II, h. 31; penekanan cetak tebal oleh penulis).
Apakah Muhammad benar-benar ingin mengatakan: seratus tahun mulai dari sekarang, tidak ada lagi orang yang usianya lebih dari seratus tahun? Sekali lagi: apa tujuan pernyataan semacam itu? Apa kaitannya dengan berita Islam?
Lebih jauh lagi, Muhammad menyampaikan pernyataannya itu dengan kata-kata ini: “Tahukah kamu apa pentingnya malam ini?” Untuk alasan utamanya, penafsiran alternatif yang diberikan oleh narator hanya sedikit yang masuk akal. Lagipula, dalam hal apa observasi suatu masa diperlukan, jika tidak seorangpun akan berusia lebih dari seratus tahun menjadi hal yang penting bagi orang Muslim atau Islam? Ini sama sekali tidak relevan, dan tidak relevan adalah lawan dari hal yang penting.
Di sisi lain, proklamasi Hari Kebangkitan dan penghakiman Allah atas semua orang adalah bagian yang mendasar dalam Islam. Jika itu telah diwahyukan kepada Muhammad dalam doanya bahwa dunia akan berakhir tepat dalam tempo seratus tahun, wahyu semacam itu akan menandai malam ini, dan tidak perlu ditanyakan lagi itu adalah sesuatu yang sangat penting.
Hanya penafsiran inilah yang benar-benar membuat pernyataan itu masuk akal. Namun demikian, masalahnya, satu-satunya penafsiran yang berarti dari pernyataan itu membawa konsekuensi bahwa Muhammad membuat nubuat yang palsu. Orang Muslim telah berusaha untuk mengalihkan hal ini dengan cara menaruh pernyataan yang tidak penting, tidak relevan – dan kemungkinan besar masih tidak tepat – ke dalam mulut Muhammad.
Akhirnya, harus selalu diingat bahwa imam al-Bukhari mengumpulkan tradisi-tradisi ini secara kasar 250 tahun setelah perpindahan Muhammad ke Medinah (kira-kira 622/623 M), lama setelah Muhammad mengatakan bahwa dunia akan berakhir. Berdasarkan hal ini, tidaklah mengejutkan jika ia atau orang lain akan memberikan penjelasan untuk menghindar dari keharusan untuk mengakui bahwa Muhammad adalah seorang nabi palsu atau dengan sesat mengklaim bahwa Hari Kebangkitan akan terjadi seratus tahun setelah masa hidupnya.
Oleh karena itu, tak peduli dari sudut manapun orang melihatnya, kita tetap ditinggalkan dengan kontradiksi-kontradiksi yang tidak dapat diperbaiki dan prediksi-prediksi palsu.
KONKLUSI
Kita telah menguji Qur’an dan juga tradisi-tradisi Islam dan mendapati bahwa kedua sumber tersebut memuat prediksi-prediksi palsu. (Itu hanyalah bualan spekulatif yang mengatasnamakan Allah, namun yang tidak menjadi kenyataan). Berdasarkan kriteria kenabian yang diberikan Tuhan dalam Ulangan 18 kita menemukan bahwa Muhammad gagal dalam tes ini. Ini berarti bahwa Muhammad bukanlah nabi yang benar dan ia juga bukan nabi seperti Musa.
Dalam melayani Tuhan dan Juruselamat kita yang Agung, Yesus Kristus, Tuhan kita yang bangkit dan hidup selamanya. Amin. Datanglah Tuhan Yesus. Kami selalu mengasihi-Mu.
Judul Dalam Bahasa Inggris: Muhammad’s False Prophecies
Beberapa orang Muslim telah bereaksi terhadap tulisan ini dengan cara yang berbeda. Tanggapan-tanggapan ini ditautkan dari jawaban-jawaban Sam Shamoun kepada Hesham AzmyMoiz Amjad, dan Osama Abdallah.

1 komentar:

  1. Anda jangan membandingkan Al Qur'an dengan buku2 yan lain/ atau buku2 yg tidak cocok dngan Al Qur'an.
    Hadist Bokhori saja bila tidak cocok dengan Al Qur'an dianggal lemah, anda perlu belajar tingkata2 hadist, apalagi buku2 yg tidak jelas.
    Kalau Al Qur'an dibanding / disandingkan dgn buku2, yg salah ya buku itu.
    Juga seperti yg anda sebut Yusuf Ali, itu hanya pendapat mereka. Bidhun itu nati, tdk terikat waktu.

    BalasHapus