MENINJAU ULANG PENGGUNAAN NAMA ALLAH DALAM TERJEMAHAN VERSI LEMBAGA ALKITAB INDONESIA
Oleh Pdt Teguh Hindarto
KERANCUAN TERMINOLOGIS
Lembaga
 Alkitab Indonesia membedakan sebutan Allah, TUHAN dan ALLAH  dalam 
terjemahan kitab suci yang mereka kerjakan, sayangnya tidak  memberikan 
keterangan mengapa ada pemberian huruf kapital pada kata  TUHAN dan 
ALLAH. Namun jika kita mengkaji dengan seksama, penggunaan  kata Allah 
dan kapitalisasi pada kata TUHAN dan ALLAH, sangatlah rancu.  Di mana 
letak kerancuan tersebut? Mari kita mengkaji lebih jauh.
Saya kutipkan petikkan terjemahan Kitab Kejadian 15:1-21 versi  Lembaga Alkitab Indonesia sbb:1
“Kemudian
 datanglah firman TUHAN kepada Abram dalam  suatu penglihatan: 
"Janganlah takut, Abram, Akulah perisaimu; upahmu  akan sangat besar." 
Abram menjawab: "Ya TuhanALLAH,  apakah yang akan Engkau berikan 
kepadaku, karena aku akan meninggal  dengan tidak mempunyai anak, dan 
yang akan mewarisi rumahku ialah  Eliezer, orang Damsyik itu." Lagi kata
 Abram: "Engkau tidak memberikan  kepadaku keturunan, sehingga seorang 
hambaku nanti menjadi ahli  warisku." Tetapi datanglah firman TUHAN 
kepadanya,  demikian: "Orang ini tidak akan menjadi ahli warismu, 
melainkan anak  kandungmu, dialah yang akan menjadi ahli warismu." Lalu 
TUHAN  membawa Abram ke luar serta berfirman: "Coba lihat ke langit, 
hitunglah  bintang-bintang, jika engkau dapat menghitungnya." Maka 
firman-Nya  kepadanya: "Demikianlah banyaknya nanti keturunanmu." Lalu 
percayalah  Abram kepada TUHAN, maka TUHAN memperhitungkan  hal itu 
kepadanya sebagai kebenaran. Lagi firman TUHAN kepadanya:  "Akulah 
TUHAN, yang membawa engkau keluar dari Ur-Kasdim  untuk memberikan 
negeri ini kepadamu menjadi milikmu." Kata Abram: "Ya Tuhan  ALLAH, dari
 manakah aku tahu, bahwa aku akan memilikinya?"  Firman TUHANTUHAN,  
dipotong dua, lalu diletakkannya bagian-bagian itu yang satu di samping 
 yang lain, tetapi burung-burung itu tidak dipotong dua. Ketika  
burung-burung buas hinggap pada daging binatang-binatang itu, maka Abram
  mengusirnya. Menjelang matahari terbenam, tertidurlah Abram dengan  
nyenyak. Lalu turunlah meliputinya gelap gulita yang mengerikan. Firman 
TUHAN  kepada Abram: "Ketahuilah dengan sesungguhnya bahwa keturunanmu 
akan  menjadi orang asing dalam suatu negeri, yang bukan kepunyaan 
mereka, dan  bahwa mereka akan diperbudak dan dianiaya, empat ratus 
tahun lamanya.  Tetapi bangsa yang akan memperbudak mereka, akan 
Kuhukum, dan sesudah  itu mereka akan keluar dengan membawa harta benda 
yang banyak. Tetapi  engkau akan pergi kepada nenek moyangmu dengan 
sejahtera; engkau akan  dikuburkan pada waktu telah putih rambutmu. 
Tetapi keturunan yang  keempat akan kembali ke sini, sebab sebelum itu 
kedurjanaan orang Amori  itu belum genap." Ketika matahari telah 
terbenam, dan hari menjadi  gelap, maka kelihatanlah perapian yang 
berasap beserta suluh yang berapi  lewat di antara potongan-potongan 
daging itu. Pada hari itulah TUHAN  mengadakan perjanjian dengan Abram 
serta berfirman: "Kepada  keturunanmulah Kuberikan negeri ini, mulai 
dari sungai Mesir sampai ke  sungai yang besar itu, sungai Efrat: yakni 
tanah orang Keni, orang  Kenas, orang Kadmon, orang Het, orang Feris, 
orang Refaim, orang Amori,  orang Kanaan, orang Girgasi dan orang Yebus 
itu  kepadanya: "Ambillah bagi-Ku seekor lembu  betina 
berumur tiga tahun, seekor kambing betina berumur tiga tahun,  seekor 
domba jantan berumur tiga tahun, seekor burung tekukur dan seekor  anak 
burung merpati." Diambilnyalah semuanya itu bagi ."
Jika
 kita perhatikan terjemahan di atas, sejumlah kata-kata khas  muncul, 
“Allah”, “ALLAH”, “Tuhan ALLAH”, TUHAN”. Jika seorang  pengkhotbah 
membacakan terjemahan tersebut dan jemaat mendengarkannya,  dapatkah 
para pendengar (silahkan Anda mengidentifikasikan diri sebagai  
pendengar) membedakan sebutan-sebutan di atas, meskipun dibedakan dengan
  huruf kapitalisasinya? Jika pengkhotbah menyebut “Tuhan ALLAH”,  
dapatkah pendengar membedakan dengan ketika Sang Pengkhotbah menyebut  
“TUHAN” (dengan huruf kapital semua) dan “ALLAH” (dengan huruf kapital  
semua) serta “Allah” (huruf depan saja yang kapital). Saya sangat yakin,
  Anda akan kesulitan untuk membedakannya, terkecuali Anda membaca  
sendiri terjemahan atau teks yang dibaca tersebut.
Apakah
 perbedaan antara sebutan “Allah”, “ALLAH”, “TUHAN”, “Tuhan  ALLAH” 
dalam terjemahan di atas. Istilah-istilah tersebut tersebar  merata 
dalam keseluruhan terjemahan TaNaKh oleh Lembaga Alkitab  Indonesia dari
 Kitab Kejadian hingga Maleakhi. Dan Untuk Kitab  Perjanjian Baru, dari 
Kitab Matius sampai Wahyu, hanya muncul kata  “Allah” dan “Tuhan”. 
Kenyataan di atas saya namakan “kerancuan nama dan  terminologi 
Ketuhanan”. Dalam hal ini, Lembaga Alkitab Indonesia tidak  bisa 
membedakan nama diri (personal name) dan nama umum (generic name).
PEMAHAMAN TERMINOLOGIS TENTANG KETUHANAN
Untuk
 mendapatkan pemahaman yang tepat mengenai nama dan terminologi  
Ketuhanan, maka kita harus merujuk pada teks sumber yang berbahasa  
Ibrani dan Yunani serta Aramaik. Dalam bahasa Ibrani, ada beberapa  
istilah Ketuhanan sbb:
אלהים
 (Elohim) Jika dieja dari kanan ke kiri, “alef”, “lamed”, “heh”,  “yod” 
dan “mem sofit”. Elohim adalah istilah Ibrani untuk  menunjukkan sesuatu
 yang disembah dan dianggap berkuasa. Padanan bahasa  Inggrisnya, “God” 
dan padanan Arabnya, “Ilah” dan padanan Indonesianya,  “Tuhan”. Kitab 
Septuaginta menerjemahkan Elohim dengan sebutan  θεὸς (Theos). Langkah ini diteruskan oleh naskah Greek Perjanjian Baru,  yang menerjemahkan Elohim dengan Theos.
 Dalam Kitab  Suci, istilah Elohim, menunjuk pada Tuhan yang benar 
(Ulangan 10:17)  namun juga menunjuk pada tuhan asing (1 Tawarikh 
16:26). Dalam Kitab  Suci berbahasa Ibrani, istilah Elohim muncul 
sekitar 6000 kali dan dalam  Kitab Suci terjemahan Lembaga Alkitab Indonesia
 diterjemahkan  dengan Allah (huruf depan menggunakan kapital, Kejadian 
 1:1) dan allah (huruf kecil semua, Keluaran 20:3).  Penerjemahan Elohim
 menjadi Allah adalah tidak tepat, karena Allah  adalah nama tuhan orang
 Muslim (Qs 20:14, Qs 19:28).
אדני
 (Adonai) Jika dieja dari kanan ke kiri, “alef”, “dalet”, “nun”,  “yod”.
 Istilah Ibrani Adonai, dapat disetarakan dengan “Tuan”,  “Majikan”, 
“Penguasa”. Padanan bahasa Inggrisnya, “Lord” dan padanan  bahasa 
Arabnya, Rabb. Septuaginta menerjemahkan Adonai dengan  κυρίου 
(Kurios). Kitab Perjanjian Baru versi Greek mengikuti langkah  ini, 
untuk menyebut Yahweh dengan sebutan pengganti “Kurios” dan untuk  
Yahshua (Yesus) Sang Mesias. Sementara padanan Indonesianya, “Tuan”. Lembaga  Alkitab Indonesia
 menerjemahkan istilah “Adonai”, dengan “Tuhan”.  Istilah “Adonai”, 
dapat dikenakan pada Tuhan (Maleakhi 1:6) maupun  manusia (Kejadian 
45:9).
יהוה
 (Yahweh) Dieja dari kanan ke kiri, “yod”, “heh”, “waw”, “heh”. Nama  
Tuhan Yang Esa (Ulangan 6:4), Tuhan Abraham, Yitskhaq dan Yaaqov  
(Keluaran 3:15), Tuhan Pencipta Langit dan Bumi (Yesaya 40:28), Bapa  
Surgawi (Yesaya 64:8). Nama Tuhan tidak dapat diterjemahkan ke dalam  
bahasa apapun. Namun kenyataannya, hampir keseluruhan terjemahan Kitab  
Suci tidak Mencantumkan nama-Nya, melainkan menggantinya menjadi “LORD” 
 (Inggris), “HERR” (Belanda), “SENIOR” (Spanyol), “DOMINI” (Latin),  
“RABB” (Arab) dan terjemahan Lembaga Alkitab Indonesia, dituliskan  
dengan “TUHAN” (huruf kapital semua, Yesaya 42:8). Asal usul  
terlupakannya nama Yahweh dimulai sejak orang Yahudi pulang dari  
pembuangan Babilonia pada tahun 586 SM. Sejak itu mereka enggan menyebut
  nama Yahweh dan mengganti dengan mengucapkan Adonai, saat membaca nama
  Yahweh dalam Kitab Suci atau menyebutkan dalam pertemuan umum. 
Kemudian  pada Abad III SM, orang-orang Yahudi di Alexandria yang tidak 
bisa  berbahasa Ibrani, membutuhkan suatu terjemahan Kitab Suci 
berbahasa  Yunani. Akhirnya, atas donatur Kaisar Ptolemaus Filadhelphus,
  diterjemahkanlah TaNaKh (Torah, Neviim, Kethuvim) dalam bahasa Yunani.
  Nama Yahweh diterjemahkan dengan KURIOS, yang sepadan dengan ADONAI.  
Nama kitab hasil terjemahan ini adalah Septuaginta. Ketika Agama Kristen
  menyebar sampai ke Eropa, Asia, Amerika, Afrika dll. Diperlukanlah  
suatu terjemahan Kitab Suci dalam berbagai bahasa. Demikianlah nama  
Yahweh kemudian diterjemahkan dengan mengikuti tradisi Septuaginta.  
Hasilnya, sebagaimana kita lihat di atas, nama Yahweh berubah menjadi  
istilah-istilah spt., RABB, LORD, HERR, DOMINI, TUHAN. Benarkah nama  
Yahweh tidak boleh dipanggil? Boleh! Bahkan diperintahkan. Kitab 1  
Tawarikh 16:8 mengatakan, “hodu la Yahweh qiru bi shemo”  yang artinya, “bersyukurlah kepada Yahweh, panggilah  nama-Nya”.
Dari penjelasan di atas, kita telah melihat bahwa LAI telah  menerjemahkan dengan pola sbb:
- Elohim diterjemahkan menjadi Allah (Kej 1:1) dan allah (1 Taw 16:26)
 - Adonai diterjemahkan menjadi Tuhan (Mzm 16:2)
 - Yahweh dituliskan TUHAN (Yes 42:8) dan ALLAH (Yekh 37:12)
 - Adonai Yahweh diterjemahkan menjadi “Tuhan ALLAH” (Yes 61:1)
 
AKIBAT KERANCUAN TERMINOLOGI
Ketidakmengertian
 terhadap sejumlah terminologi Ibrani dan kekeliruan  penerjemahan atas 
terminologi-terminologi tersebut, mengakibatkan  kekacauan yang serius 
dalam konsep Ketuhanan Iman Kristen. Kekacauan  tersebut dapat kita 
lihat dalam berbagai tulisan para agamana ataupun  teolog Kristen ketika
 menerjemahkan teks-teks teologi dari bahasa  Inggris. Elmer L. Town 
melalui bukunya, “Nama-nama Allah” mengatakan  bahwa ada tiga nama Allah
 yang utama, yaitu “Elohim”, “Yehovah” dan  “Adonai”2. Demikian pula 
dengan tulisan Pdt. Purwanta Rahmat, STh., yang  menyatakan bahwa 
nama-nama TUHAN ALLAH yaitu “YAHWE” atau “YEHOWAH”,  “Elohim” dan 
“Bapa”3. Kemudian DR. Peter Wongso menyatakan bahwa  nama-nama ALLAH 
dalam bahasa Ibrani adalah “Elohim”, “Yahweh”, “El  Shaday”. Sedangkan 
dalam bahasa Yunani, “Theos”, “Kurios”, “Despotis”,  “Huspitos”, 
“Pantokrator”4. Pendapat terakhir dari DR. Dieter Becker, “Menurut  Perjanjian Lama, Allah pada dasarnya Tuhan, menurut Perjanjian Baru  pada dasarnya adalah Bapa”5.
Kekacauan yang sama terjadi ketika menerjemahkan beberapa terks al.,  Kejadian 33:20. Kalimat, “Dia mendirikan  mezbah di situ dan dinamainya itu: Allahnya Israel ialah Allah”,  dalam teks Ibraninya, “wayatsev sham mizbekh wayiqra lo El,  Elohe Yisrael”. Perhatikan bagaimana dalam kalimat Ibrani,  ada dua bentuk penyebutan yang berbeda, yaitu El dan Elohe,  namun Lembaga Alkitab Indonesia menyamakan begitu saja menjadi  “Allah”. Sekarang kita fokuskan pada pengkajian kata El.  Istilah El,
 secara gramatikal memiliki makna “Kekuatan” atau  “Yang Kuat”. Dalam 
Keluaran 15:2 dikatakan “zeh Eli  weanwehu Elohe avi…” (Dialah 
Kekuatanku dan aku memuji  Sesembahan/Tuhan bapaku…). Kemudian dalam 
Ulangan 10:17 dikatakan, “ki  YHWH Elohe ha Elohim, wa Adoney ha Adonim, ha El, ha  Gadol, Ha Gibor we ha Nora…”
 (sebab YHWH adalah Sesembahan/Tuhan  diatas segala sesembahan/tuhan, 
Tuan diatas segala tuan, Yang Kuat,  Yang Besar, Yang Perkasa, Yang Luar
 Biasa…). Dengan demikian, sebaiknya  kalimat, “El, Elohe Yisrael”
 dalam Kejadian 33:20 selayaknya  diterjemahkan, “Yang Kuat, 
Sesembahan/Tuhan Yisrael” atau “El adalah  Sesembahan Yisrael”. Kata El
 sendiri bukanlah menunjuk nama  Sang Pencipta, melainkan sebutan yang 
menjelaskan mengenai sifat  Ketuhanan yang mengatasi segala sesuatu. 
Kata “El”, sepadan dengan  bahasa Arab “Il”. Allah, sudah menunjuk nama 
Ilah (Qs 20:14, 98)
Kemudian teks Kejadian 46:3. Kalimat, “lalu firman-Nya: Akulah Allah,  Allahnya ayahmu, janganlah takut pergi ke Mesir…” dalam teks  Ibrani, “wayomer, Anoki ha El, Elohe avika, al tira  merda Mitshrayma…” . Istilah ha El muncul kembali,  sebagaimana dalam Kejadian 33:20. Istilah yang setara untuk El,  dalam bahasa Arab adalah Il. Dari kata ini menjadi Ilah.  Allah, sudah menunjuk nama Ilah sebagaimana dikatakan:
“Sesungguhnya
 Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak)  selain Aku, maka 
sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”  (Qs 20:40)
“Sesungguhnya Tuhanmu hanyalah Allah, yang tidak ada Tuhan selain  Dia. Pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu." (Qs 20:98)
Sungguh
 mengerikan dan memprihatinkan melihat kerancuan terminologi  yang 
bermuara pada kekacauan nama dan istilah dalam Ketuhanan.  Kekristenan 
Indonesia sedang dalam krisis orientasi Ketuhanan.
Sebelum
 saya memperdalam kajian mengenai irelevansi penggunaan nama  “Allah” 
dalam terjemahan Kitab Suci TaNaKh dan Kitab Perjanjian Baru,  saya akan
 mengulas mengenai aneka ragam pandangan tentang siapakah Allah  
tersebut.
KETIDAKJELASAN AKAR KATA DAN ASAL USUL NAMA ALLAH
Mengenai
 asal-usul nama Allah itu sendiri, masih menjadi bahan  perdebatan baik 
dikalangan Kristen maupun Islam. Kita akan melihat  sekilas pemetaan 
silang pendapat mengenai asal-usul nama Allah dibawah  ini.
Pandangan Islam: اللهُ (Allah) berasal dari kata Al  (definite article, The) dan Ilah (generic name, God).  Penyingkatan dari kata Al dan Ilah
 menjadi Allah,  untuk menandai sesuatu yang telah dikenal. Dalam 
perkembangannya, untuk  mempermudah hamzat yang berada diantara dua lam 
(huruf ‘LL’), huruf ‘I’  tidak diucapkan sehingga berbunyi Allah dan 
menjadi suatu nama yang  khusus dan tidak berakar6. Ada pula yang 
berpendapat bahwa Allah berasal  dari Al Ilahah, Al Uluhah dan Al Uluhiyah
  yang bermakna ibadah atau penyembahan7. Yang lain mengajukan bahwa 
Allah  berasal dari kata Alaha yang berarti menakjubkan atau 
mengherankan  karena segala perbuatannya8. Sementara ada yang 
berargumentasi bahwa  Allah berasal dari kata, Aliha ya’lahu yang bermakna tenang9.  Kelompok pemikir dari Kufah mengatakan bahwa Allah, berasal dari Al-Lah,  yang diambil dari verba noun lah
 yang berasal dari kata lahaya  yang bermakna menjadi tinggi10. 
Sedangkan Ibn Al Arabi menyatakan bahwa  Tuhan itu tidak bernama, tetapi
 Dzat yang dinamakan oleh umatNya.  Penamaan terhadap Tuhan, berarti 
melimitasi eksistensi Tuhan11.
Pandangan Kristen : Ada yang beranggapan bahwa Allah  adalah berasal dari sumber Syriac, Alaha12. Sementara yang  lain berpendapat bahwa Allah berasal dari akar kata rumpun semitis El,  Eloah dan Elohim serta Alaha. Bentuk Arabnya Ilah,  lalu mendapat imbuhan Al yang berfungsi sebagai definite  article (The God- Al Ilah-Allah)13. Kata Allah berasal dari Al dan  Ilah.
 Akar kata ini terdapat dalam semua bahasa semitis, yaitu  dua konsonan 
alif dan lam serta ucapan yang lengkap dengan huruf hidup  adalah sesuai
 dengan phonetik masing-masing14. George Fry dan James R.  King 
menyampaikan, “the name by which God is known to muslim, Allah  is 
generally thought to be the proper noun form of the Arabic word for  
God, Ilah. Al, meaning The ini Arabic word. This word is  related to the Hebrew from El and Elohim”15. J. Blau menjelaskan  bahwa kata Allah adalah murni dari konteks Arab dan bukan dari sumber  Syriac16.
Pada
 bagian sebelumnya, telah dipaparkan kajian asal-usul nama Allah  dari 
perspektif historis maupun etimologis. Pada bagian ini akan kami  
perdalam dengan menyaksikan tinjauan kritis mengenai akar kata nama  
Allah yang dihubungkan dengan ungkapan semitik El, Eloah,  Elohim (Ibr), Elah (Aram), Ilanu (Akkadian).
PENILAIAN TERHADAP AKAR NAMA ALLAH
Allah,
 bukan bentukan atau kontraksi dari Al dan Ilah. Jika benar  Allah 
adalah kontraksi dari Al dan Ilah, mengapa logika ini tidak  berlaku 
untuk kata Arab lainnya seperti, Al dan Iman, mengapa tidak  menjadi 
Alman? Al dan Ilmu mengapa tidak menjadi Almu? Bambang Noorsena  pernah 
membantah dengan menyatakan bahwa kasus penyingkatan Al dan Ilah,  hanya
 terjadi dalam bahasa Arab17. Renungkan: mengapa penyingkatan ini  
menjadi sangat istimewa pada kata Al dan Ilah?
Allah,
 bukan berasal dari rumpun kata semitis El, Eloah dan  Elohim. Jika 
Allah adalah rumpun semitis dengan istilah Ibrani, El,  Eloah dan 
Elohim, maka bentuk gramatika jamak untuk Allah itu apa? Dalam  
terminologi Hebraik, penjamakan kata benda, selalu digunakan akhiran  im (jika gendernya maskulin) atau ot dan ah,  (jika gendernya feminin)18. Kata khaykhayim (kehidupan). Kata Eloah, bentuk jamaknya  Elohim. Demikian pula dalam bahasa Arab, istilah Ilah  (yang sepadan dengan Eloah), bentuk jamaknya adalah Alihah
  (Ilah-ilah). Adakah bentuk jamak dari Allah?19 Renungkan: Adakah tata 
 bahasa yang membenarkan bahwa nama diri ditulis dalam bentuk jamak?  (hidup) bentuk jamaknya  adalah 
Dalam
 Kitab Suci TaNaKh, tidak ada ditemui kata Allah dalam konotasi  nama 
diri. Dalam naskah TaNaKh berbahasa Ibrani, ada sejumlah kata yang  
berkonotasi dengan Allah, namun sesungguhnya bukan. Contoh:
- אלה (Ala) huruf ‘h’ diakhir kata tidak diucapkan karena tidak ada titik pengeras atau dagesh forte. Artinya, “sumpah” (1 Raj 8:31)
 
- האלה (ha Ala) huruf ‘h’ akhir tidak diucapkan. Artinya, “pohon besar” (Yos 24:26)
 
- אלה (Ela) huruf ‘h’ diakhir kalimat tidak diucapkan. Artinya, “nama suatu kaum” (Kej 34:41) dan “nama raja di Israel” (1 Raj 16:6-8)
 
- אלהא (Elaha, Dan 5:21), אלה (Elah, Dan 2;47a), אלהין (Elahin, Dan 2:47b), adalah varian bahasa Aram yang artinya sama dengan Eloah dalam bahasa Ibrani. Baik Elah, Elaha atau Elahakhon dapat menunjuk pada terminologi Sesembahan Israel Yang Sejati atau terminologi umum untuk sesembahan diluar Israel
 
- אלוה (Eloah, Hab 3:3), אלהים (Elohim, Kej 1:1), artinya Tuhan. Dalam bahasa Inggris diterjemahkan God dan dalam bahasa Yunani diterjemahkan Theos.
 
- אל (El, Kej 33:20) artinya Yang Maha Kuat
 
Dalam
 Kitab Perjanjian Baru, tidak ditemui kata-kata yang menunjuk  pada nama
 diri Allah. Ketika Yesus berteriak di kayu salib saat  kematianNya, Dia
 berseru: “Eli-Eli Lama Shabakhtani?” (Mat  27:46). Kata Eli, merupakan bentuk singkat dari Elohim  dan AnokhiAni
 (Aku). Kebiasaan menyingkat  kalimat seperti ini biasa terjadi dalam 
tradisi Israel. Perhatikan dalam  Keluaran 15:2 yang selengkapnya dalam 
naskah Hebraik: “ze Eli,  weanwehu Elohei abi waaromenhu”. Kata Eli dalam ayat  tersebut diartikan “Tuhanku”. Seruan “Eli-Eli lama sabakhtani”  dalam Matius 27:46 dalam Kitab Suci berbahasa Arab dituliskan, إِيلِي  إِيلِي لَمَا شَبَقْتَنِي (Ilahi-Ilahi limadza taroktani) dan  bukan “Allahi-Allahi limadza taroktani?”. atau 
KRONOLOGI HISTORIS PENGGUNAAN NAMA ALLAH DALAM TERJEMAHAN  KITAB SUCI KRISTIANI
Dalam buku, Hidup Bersama di Bumi Pancasila,
 diterangkan  bagaimana kronologi masuknya agama Islam dan Kristen di 
Nusantara20.  Dijelaskan dalam buku tersebut bagaimana Islam telah lebih
 dahulu masuk  ke Nusantara dalam dua tahap. Tahap pertama (tidak 
terlalu signifikan  pengaruhnya) pada Abad VII-VIII oleh pedagang Arab 
menuju Sumatera.  Tahap kedua (signifikan pengaruhnya) pada Abad XIII 
dibawa oleh pedagang  Gujarat yang dipengaruhi mistik Persia.
Selanjutnya
 Portugis yang beragama Katholik, masuk nusantara pada  tahun 1512. 
Kemudian berturut-turut masuk armada Belanda pada tahun  1596, yang 
kemudian membentuk kongsi dagang VOC, pada tahun 1602. Karena  
kebangkrutan VOC, maka sekitar tahun 1800-an, pemerintah Hindia Belanda 
 mulai mengambil alih kepemimpinan, termasuk masalah misi dan keagamaan.
  Pada masa ini, mulailah muncul lembaga misi dan proses penerjemahan  
Kitab Suci pun dimulai.
Merujuk
 pada makalah DR. P.D. Latuihamalo yang dibacakan oleh DR.  Katopo dalam
 Sarasehan Terjemahan Alkitab mengenai kata TUHAN dan ALLAH  yang 
diselenggarakan di Bandung, Tgl 5 Juni 2001, kita mendapatkan  informasi
 sbb:21 Tahun 1629, Albert Corneliz Ruyl, seorang pegawai  tinggi VOC 
berpangkat Onderkoftman, menerjemahkan Kitab Injil Matius  dari bahasa 
Yunani kebahasa Melayu dan bahasa Belanda. Adapun  transkripsi 
terjemahan mengenai konsep Ketuhanan sbb:
- Theos diterjemahkan menjadi Allah (Mat 4:4)
 - Iesous diterjemahkan menjadi Yesus (Mat 1:1)
 - Christos diterjemahkan menjadi Christus (Mat 16:16)
 - Abraam menjadi Ibrahim (Mat 1:1)
 
Pada tahun 1733, Melchior Lejdecker dan H.G. Klinkert pada tahun 1879  menerjemahkan dengan pola sbb:
- Theos diterjemahkan menjadi Allah (Mat 4:4)
 - Iesous diterjemahkan menjadi Isa (Mat 1:1)
 - Christos diterjemahkan menjadi Al Masih (Mat 16:16)
 
 Sementara Bode menolak menggunakan nama Isa dan Al Masih, namun  beliau tetap menggunakan nama Allah sebagai ganti Theos atau Elohim.
  Dikarenakan dari sejak Ruyl, Lejdecker sampai Bode, tetap menggunakan 
 nama Allah sebagai translasi dari Theos dan Elohim, maka Lembaga  Alkitab Indonesia berketetapan bahwa penggunaan nama Allah tetap  sah dan relevan sebagai terjemahan untuk Theos dan Elohim.   Lembaga Alkitab Indonesia,
 yang berdiri  sejak tahun 1954, tetap mempertahankan nama Allah yang 
sudah tercantum  dalam teks terjemahan kuno diatas dengan dua 
pertimbangan yaitu: 
- Sudah lama diterima oleh umum
 - Allah, bukan dipahami sebagai nama diri tetapi sebagai nama jenis, sebagaimana Elohim, Theos, God, Deo
 
Selanjutnya
 beliau mengatakan bahwa sejak diterjemahkannya Kitab Suci  dalam bahasa
 Portugis  1748-1753), sudah dipergunakan nama JEHOVAH.  Pada tahun 
1839, P.Janz menerjemahkan dalam bahasa Jawa dengan  transliterasi 
JEHUWAH. Zendeling Rinsje di tanah Batak menggunakan  Djahoba. Demikian 
pula di Nias, digunakan Jehofa. Sementara Lejdecker  menggunakan HUWA 
untuk YAHWEH dan Klinkert menggunakan HOEWA dan  JEHOEWA, TOEHAN HOEWA 
dan Tuhan HOEWA.
Dalam
 Konferensi para penerjemah Alkitab pada tahun 1952 di Jakarta,  
ditetapkanlah supaya nama HUWA ditiadakan dan diganti menjadi TUHAN.  
Alasan terhadap persoalan tersebut adalah mengacu pada disertasi  
doktoral DR. H. Rosin, dosen STT Jakarta, tahun 1955 di Geneva  
Universiteit, bahwa empat huruf (tetragrammaton) YHWH, tidak dapat  
diucapkan (unpronounceable). Karena tidak dapat diucapkan, maka petunjuk
  terarah adalah dengan menggunakan huruf kapital semua, TUHAN.  
Renungkan: LAI tetap mempertahankan penggunaan nama Allah dengan alasan 
 nama itu telah dipakai sejak Ruyl, Lejdecker, Klinkert serta Bode.  
Anehnya, mengapa nama Yahweh yang telah dituliskan sejak masuknya  
Portugis ke Indonesia, tidak dapat dipertahankan? Jika empat huruf YHWH 
 tidak dapat diucapkan, mengapa para penerjemah diatas, bahkan 
penerjemah  dalam bahasa daerah sudah menggunakan nama Jehovah, Jehowa, 
Hoewa atau  Huwa? Logiskah jika Musa, Ishak dan Yakub serta leluhur 
Israel tidak  dapat mengucapkan nama Yahweh, padahal mereka 
berkomunikasi dengan Sang  Pencipta secara audible? Jika naskah Kitab 
Suci berbahasa Ibrani dapat  diterjemahkan dalam berbagai bahasa, 
mengapa nama Yahweh tidak dapat  dituliskan? Bagaimana mungkin ada 
bahasa yang tidak dapat diterjemahkan  dan ditransliterasikan? Dengan 
alasan apa Sang Pencipta memberitakan  namaNya yang abstrak?
MEMPERTIMBANGKAN DOKUMEN 193922 
Tahun 1896, telah beredar Injil dalam bahasa Melayu dengan judul WASIYAT  YANG BEHAROE: ijaitoe Segala Kitab Perdjanjian Jang  Beharoe ataw Indjil Toehan kita ISA AL MASIH. Kitab ini dicetak  di Amsterdam, Belanda.
Tahun 1940, akhirnya dimunculkan revisi kitab dengan jududl muka, KITAB  PERDJANJIAN BAHAROE,
 diterjemahkan dari bahasa Grika kepada  bahasa Melayoe, dikeloearkan 
oleh Belandja British and Foreign Bible  Society, London-National Bible 
Society of Scotland Edinburg-Nederlandsch  Bijbel genootschap, 
Amsterdam. Kitab ini dicetak di Semarang, Jawa  Tengah, Indonesia. Pada 
kata pengantar kitab terbitan tahun 1940,  terlampir pandangan komite 
penyalin yang menuliskan pandagannya pada  tahun 1939 di Sukabumi. Dalam
 kata pengantar tersebut, ada empat hal  yang menarik untuk dicermati.
Keterlibatan asisten Melayu Islam dalam Komite Penyalin (dok,  hal 1)
“Maka
 bagi maksud itoe, sedia ditetapkanja pada akhir tahoen 1930  soetaoe 
Comite Penjalin di Soekaboemi, yang sedang mengerdjakan salinan  baharoe
 itoe dibawah pimpinan…dan berganti-ganti doea oerang assistant  Melajoe
 djati dari tanah Melajoe…”
Kesukaran dalam penerjemahan dan kebutuhan untuk koreksi  tanpa batas (dok, hal 2)
“Maka
 ta’dapaat tiada pembatja telah paham akan kesoekaran Comite  Penjalin 
itoe mengadakan persatoean bahasa bagi pengertian yang am.  Oleh sebab 
itoe djoega dipinta kepada pembatja yang insaf akan  mengingatkan segala
 toentoetan terdjemahan yang sukar itu”.
Allah, nama Tuhan (dok.  Hal 3)
“Karena
 ma’na Toehan menoeroet perasaan orang Arab dan orang  Melajoe djati 
ialah Allah. Demikian djuga menurut djalan bahasa Arab  dan logat 
Melajoe djati, adalah perkataan Allah itoe boekanja sedjenis  nama yang 
dinamakan, seperti pada perasaan disebelah barat tentang  perkataan God.
 Oleh jand demikian maka perkataan Allah yang bersamboeng  dengan koe, 
moe, nja, dengan toedjoean poenja, itoe bersalahan dengan  perasaan 
orang Melajoe yang diloear golongan Keristen” 
Ketergantungan pada bahasa Arab Melayu (dok.  Hal 5)
“Kadang-kadang
 penjalin terpaksa menggoenakan  bahasa Melajoe,  sebab tiada ada kata 
Melajoe djati yang boleh mensifatkan pengertian  ataw toedjoean nas asli
 dengn sebetul-betulnya”
Dari
 eksposisi historis diatas, dapat kita menyimpulkan bahwa  penggunaan 
nama Allah yang tercantum dalam Kitab Suci TaNaKh maupun  Kitab 
Perjanjian Baru, sebenarnya bermula dari proses penerjemahan  dengan 
melalui suatu adopsi sesembahan orang Melayu yang beragama Islam.  
Proses adopsi tersebut, bukan didasarkan pada suatu pemahaman teologis  
yang mendalam, melainkan hanya didasarkan pada proses kontekstualisasi  
semata, tanpa mengkaji dan mempertimbangkan bahwa nama Allah bukanlah  
istilah pengganti yang tepat untuk Elohim, Theos atau God. Kita juga  
melihat bagaimana sejumlah perbendaharaan bahasa Indonesia masih sangat 
 terbatas dan terus mengalami perkembangan sehingga mengalami kesukaran 
 dalam penerjemahan yang mengakibatkan banyak meminjam unsur Arab.  
Berlandaskan kenyataan diatas, terjemahan Kitab Suci yang ada bukanlah  
hasil karya yang harus dikeramatkan, melainkan karya terjemahan yang  
harus terus diselaraskan secara relevan dengan perubahan zaman.
End Notes:
1 Alkitab Elektronik 2.0.0, ALKITAB TERJEMAHAN BARU, 1974
2 Yogyakarta, ANDI Offset 1995, hal 9
3 Katekismus Baru, Yogyakarta: TPK Gunung Mulia, 1992, hal 51
4 Doktrin Tentang Allah, Malang: Sekolah Alkitab Asia Tenggara, 1991,  hal 9-13
5 Pedoman Dogmatika, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993, hal 53
6 DR. Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi, Lentera Hati,  1998, hal 3-9
7 Ibid
8 Ibid
9 Ibid
10 DR. Djaka Soetapa,
 Penterjemahan Kata Yahweh dan Elohim  menjadi TUHAN dan Allah dalam 
Perspektif Teologi Islam, hal 2 (Makalah  disampaikan pada Sarasehan 
Terjemahan Alkitab Mengenai Kata TUHAN dan  ALLAH, PGPK, Bandung, 5 Juni
 2001)
11 DR. Kautzar Azhari Noer, Tuhan Kepercayaan [Artikel Koran  Jawa Pos, 23 September 2001
12 Arthur Jefrey, The Foreign Vocabulary of the Qur’an,  Baroda:Oriental Institute, 1938, p.66
13 Bambang Noorsena, Mengenai Kata Allah, Institute for  Syriac Christian Studies, Malang, 2001, hal 9
14 Olaf Schumman, Keluar dari Benteng Pertahanan, Rasindo,  hal 172-174
15 George Fry and James R. King, Islam: A Survey of  The Muslim Faith, Baker Book House, 1982, p.487
16 Arabic Lexicographical, Miscelani, 1972, p. 173-190
17 Op.Cit., Mengenai Kata Allah, hal 16-17
18 DR. D.L. Baker, Pengantar Bahasa Ibrani, BPK 1992, hal 89
19 Teguh Hindarto, STh., Kritik dan Jawab Terhadap Efraim  Bambang Noorsena, SH.BAHANA No  09, 2001, hal 13) (Artikel di Majalah 
20 Bambang Ruseno Oetomo, PSAK, 1993, hal 33-35
21 Latar Belakang Historis Terjemahan LAI Mengenai Nama:  YHWH=TUHAN;Elohim=Allah, PGPK, hal 1-3
22 Redefinisi dan Rekonsepsi Nama Allah dan Urgensi Penggunaan  Nama Yahweh Dalam Komunitas Kristen, Disampaikan pada Forum Panel  Diskusi Di Auditorium Duta Wacana-Yogyakarta, Tgl 20 Oktober 2003

Tidak ada komentar:
Posting Komentar