Minggu, 15 Juli 2012

Mati Syahid: Pelecehan Hak Anak-anak dan Wanita

Oleh Justus Reid Weiner
Bulan April 2000, Afaq Ahmed Shah berusia 17 tahun mengendarai mobil penuh dengan bahan peledak dan melaju menuju markas besar Tentara India di Srinagar, di Jammu dan Kashmir. Ketika mobilnya dihentikan pengawal digerbang masuk, remaja itu meledakkan bomnya yang dahsyat itu sehingga melukai 4 orang. Shah, bersama dengan pemuda-pemuda di kawasan bersengketa Kashmir, menghabiskan kebanyakan waktunya di Mesjidnya dan jatuh kedalam pengaruh grup-grup teroris. Motivasi ini menjadikannya suicide bomber pertama dalam konflik Kashmir.

Bulan Juni 2002, pemuda Palestina berusia 16 tahun bernama Issa Bdir dikirim oleh Brigade Martir Al-Aqsa untuk melaksanakan serangan teror di Rishon Letzion didekat Tel Aviv. Setelah mencat rambutnya pirang agar disangka orang Eropa, ia memasuki pertokoan yang penuh orang tua dan pekerja asing dan kemudian meledakkan diri sendiri, membunuh 2 orang Israel dan melukai 30 lainnya. Bdir merupakan remaja termuda pertama yang sukses dalam misi bunuh diri di Israel.

Agustus 2003, 2 lelaki Muslim Kashmiri, usia 13 dan 17 tahun, disandera diujung senapan oleh organisasi teroris Laskar-e-Toiba (LeT, Tentara Suci). Lelaki itu adalah 2 diantara ratusan remaja Muslim yang direkrut secara paksa dan dilatih untuk melakukan aksi-aksi teror melawan tentara India dan penduduk sipil. Para penyandera kemungkinan besar mengikuti perintah LeT agar desa-desa “masing-masing menyumbang seseorang untuk direkrut organisasi itu. Kalau tidak, mereka akan mengalami konsekwensi.”

Bulan November 2004, Amar Al-Faar, laki-laki Palestina 16 tahun memasuki Israel lewat lobang pagar keamanan. Ia meledakkan diri di Carmel, pasar di daerah berpenduduk padat di Tel Aviv. Serangan pemuda ini menewaskan 4 orang Israel dan melukai 32, 6 luka-luka parah. Al-Faar direkrut oleh anggota the Popular Front for the Liberation of Palestine (PFLP), faksi neo-Marxist milik PLO-nya Yasser Arafat. Ibu Al-Faar mengutuk teroris yang merekrut putera mudanya dan mengatakan, “Tidak bermoral untuk mengirimkan orang yang begitu muda. Mereka seharusnya mengirim orang dewasa yang mengerti arti tindakannya.”

Baru-baru ini, keterlibatan anak-anak dibawah umur di Palestina juga mencapai titik terendah saat lelaki berusia 11 tahun tertangkap basah membawa 7-10 kilogram bom melewati batasan jalan militer Israel. Pemuda ingusan ini dikirim organisasi teroris, Fatah Tanzim, yang juga anak buah Ysser Arafat. Para teroris memiliki 2 skenario mengerikan. Jika bom berhasil diselundupkan, ini akan diserahkan dan digunakan oleh seorang suicide bomber untuk memporak-porandakan sebuah daerah di Israel. Atau, kalau anak itu tertangkap, bom yang ditentengnya akan diledakkan (berikut dirinya dan para tentara Israel), lewat detonator yang dioperasi sebuah cell phone. Untung, karena kesalahan teknis, bom itu tidak jadi meledak dan rencana teroris itu gagal.

Peristiwa-peristiwa diatas ini bukan hal aneh. Praktek pelecehan anak-anak terjadi dalam masyarakat Muslim diseluruh dunia, yang paling nyata di Palestina, Pakistan dan Jammu & Kashmir (J&K). India dan Kashmir tidak mampu melihat koneksi keduanya, tapi kemiripan modus operandi antara martir-martir di Palestina dan J&K sangat nyata. Organisasi-organisasi teroris Muslim merekrut – kadang secara paksa – remaja-remaja ini, karena anak-anak, seperti juga wanita, jarang dicurigai pasukan keamanan. Dalam kedua konflik, nyawa anak-anak itu (belum lagi korban yang tidak tahu menahu) dinilai lebih rendah ketimbang aspirasi Islam dan nasionalisme militan. Dan sementara rekrutmen dan indoktrinasi anak-anak Muslim di Kashmir setinggi tingkat Intifada yang menargetkan Israel; orang India yang tinggal diareal yang dinyatakan sebagai areal Jihad Islam itu harus sadar bahwa ancaman aliran mati syahid oleh anak-anak ini merupakan ancaman global.

Tulisan ini mencoba menganalisa: seberapa meluasnya bentuk pelecehan anak-anak dalam konflik Israel – Palestina ini? Bagaimana mereka di-insipirasi? Apakah ini dapat dibenarkan dalam konteks hukum internasional? Apa konsekwensi ‘pendidikan kebencian’ bagi generasi berikutnya dan bagi kemungkinan perdamaian di kawasan itu?

Martir Anak-anak: Menyambut Baik Kematian

Dalam Intifada, anak-anak dan remaja Palestina memainkan peranan penting. Anak-anak berfungsi sebagai tameng, membakari ban mobil dan melemparkan batu guna menarik perhatian kamera TV dan sering menyembunyikan para penembak jitu Palestina yang bersembunyi dibelakang mereka. Mengetahui bahwa tentara Israel diperintah untuk tidak menembaki anak-anak dengan peluru api, para penembak Palestina bersembunyi dibelakang anak-anak di atap-atap rumah, di gang-gang jalan dan di perkebunan. Tidak jarang, para penembak Palestina ini menembaki punggung anak-anak itu.

Dengan meningkatnya intensitas Intifada, anak-anak Palestina semakin terlibat langsung dalam serangan teror ini, khususnya suicide bombing.

Tanggal 30 Maret, 2002, gadis Palestina berusia 16 tahun bernama Ayat Akhras memasuki supermarket Yerusalem dan mendetonasi bom yang disembunyikan dibawah pakaiannya, menewaskan 2 orang Israel dan melukai 22 orang lainnya.

Andaleeb Taqataqah hanya berusia 17 tahunn ketika ia direkrut kelompok teror dan dikirim untuk meledakkan dirinya di sebuah pasar di Yerusalem tanggal 12 April 2002.

Satu minggu kemudian, 3 remaja Gaza – Anwar Hamduna, Yusef Zakut, dan Abu Nada – mencoba menyusup lewat sebuah pagar dengan rencana menyerang penduduk Yahudi di Netzarim, tapi akhirnya dia ditembak pengawal.

Bulan Mei 2002, pemuda Palestina berusia 16 tahun dengan bom pada tubuhnya ditahan di sebuah perbatasan jalan di Jenin.

Bulan Juni, 2002, gadis Palestina berusia 15 tahun ditahan karena melempari bom kepada tentara Israel dan mengakui selama interogasi bahwa ia direkrut teroris.

Maret 2004, pemuda berusia 14 tahun, Hussam Abdu juga tertangkap di sebuah perbatasan jalan dengan bahan eksplosif yang ditempeli di dadanya. Ia mengaku telah dibayar sekitar uang senilai $22 US untuk melakukan suicide bombing.

Dengan operasi sukses Israel bernama Operation Defensive Shield jumlah serangan bunuh diri berkurang secara drastis. Tetapi perekrutan anak-anak ini tidak berhenti dan masih saja berlangsung guna membantu berbagai kegiatan teroris seperti menyelundupkan bahan peledak atau ditinggal pada perangkap (booby-trap) yang dipasang teroris dan siap untuk diledakkan.

Januari, 2003, 3 remaja ingusan dikirim oleh teroris ‘Popular Resistance Committees’ (PRC) untuk menginfiltrasi dan menyerang masyarakat Yahudi, Elei Sinai. Mereka tewas oleh tentara Israel.

Seminggu kemudian, 2 remaja kakak beradik Palestina, 14 dan 17 tahun, membawa pisau, menginfiltrasi komunitas Netzarim di Jalur Gaza. Mereka menyerang seorang anak lelaki Yahudi, memasuki rumah dan ditembak. Keduanya ditangkap tentara Israel dan dibawa ke rumah sakit dengan luka-luka ringan. Brigjen Yisrael Ziv, panglima tentara di Gaza, mengatakan, “Jelas bahwa teroris tidak mengharapkan suksesnya misi pembunuhan anak-anak ini; otak kriminal mereka mengharapkan agar kemungkinan kematian anak-anak muda Palestina ini akan mencoreng citra Israel.”

Maret, 2003, 2 pemuda 13 tahun ditembak mati, salah satu menaiki kendaraan pengangkut tentara untuk mencuri senapan, dan yang lainnya melemparkan bom Molotov. Remaja lainnya terbakar oleh bomnya sendiri.

Walau ada orang-orang Palestina yang menentang penggunaan anak-anak ini, suara-suara mereka tidak terdengar. Bulan Juni 2002, Mahmud Abbas, asisten senior Arafat yang kemudian menjadi PM untuk waktu singkat dalam pemerintahan Arafat, mengecam taktik organisasi-organisasi Palestina di Gaza. Abbas mengatakan kepada surat kabar Kuwait, “Saya menentang dikirimnya anak-anak kecil untuk mati. Ini sangat mengkhawatirkan. Paling tidak 40 anak-anak di Rafah [di Jalur Gaza] kehilangan tangan akibat melemparkan torpedo Bangalore [semacam bom pipa]. Mereka masing-masing menerima uang senilai kira-kira $1 US (!) untuk melemparinya.”


Nah, mengapa anak-anak ini mau mengorbankan nyawa mereka? Siapa yang mengantar mereka kepada peran-peran bahaya dengan motivasi memperbaiki situasi keluarganya ataupun politik? Bagaimana tradisi kekerasan terhadap Israel menjadi begitu berakar dalam budaya Palestina? Tujuan apa sampai memotivasi sebuah masyarakat untuk mengorbankan anak-anak dan masa depan mereka?

 

Untuk itu penting untuk mempelajari pengaruh yang ada di masyarakat Palestina yang mengajarkan kebencian kepada anak-anak merkea dengan persetujuan pemimpin politik, agama dan orang tua.

Penggunaan martir anak-anak juga menjadi masalah besar di Pakistan, dimana anak-anak yang mudah dimanipulasi diprogram untuk melakukan tujuan para ketua fundamentalis mereka. Mereka ini dipaksa untuk melakukan operasi Jihad lewat berbagai macam cara: mereka diculik dan nyawa mereka ataupun keluarga mereka diancam. Yang paling umum terjadi; mereka mengalami pencucian otak bahwa Jihad adalah cara berbakti pada Allah. Disebagian besar kasus, anak-anak ini tidak menyadari arti ataupun konsekwensi tindakan mereka ini dan juga tidak tahu alternatif lain.

Contoh, Mohamad Abdullah, anak berusia 17 tahun dengan temannya – keduanya anggota kelompok teroris Lashkar-e-Toiba melancarkan serangan disebuah kompleks perumahan di Jammu (bagian J&K yang dikuasai India). Dalam beberapa menit, keduanya mengosongkan 4 senapan AK-47 yang masing-masing berisi 32 peluru – dan meledakkan 5 granat, menewaskan 28 orang, termasuk 8 wanita dan 10 anak-anak. Ketika mereka ditangkap dan diinterogasi polisi India, Abdullah mengatakan, “Saya sendiri tidak menyukai apa yang saya lakukan tetapi atasan saya di Pakistan mengatakan, teror ini penting… Saya diberi perintah dan melaksanakannya. Ini bukan masalah saya suka atau tidak.” Cerita macam Abdullah ini sering terjadi di Kashmir, dimana anak-anak Pakistan dipergunakan sebagai alat dalam aksi teror melawan penduduk sipil India dalam konflik Kashmir.

Sumber-sumber India mengatakan, antara 2,000 dan 4,000 militan Mujahideen ada di J&K; dan 40% berasal dari Pakistan/Afghanistan dan 80% berusia remaja.

Dalam beberapa tahun ini, taktik mereka semakin intensif, dari peluru dan pistol kepada bahan peledak dan komunikasi maju. Mirip dengan situasi di Israel, ini semakin meningkatkan konflik dan jumlah korban sipil. Ini juga semakin menyulitkan pasukan keamanan menghindari kegiatan teroris.

Mengajarkan Kekerasan Kepada Anak-anak

Koneksi antara “incitement” dengan kekerasan nampak dalam perjanjian-perjanjian damai interim yang ditandatangani antara Israel dan Palestina. Contoh, Perjanjian Cairo yang ditandatangani Arafat tahun 1994, mewajibkan Penguasa Palestina (PA) untuk “menanamkan saling pengertian dan toleransi” dan “menjauhi ajaran kekerasan (incitement), termasuk propaganda, kebencian [dan]…Mengambil langkah-langkah hukum untuk menghentikan ajaran kekerasan oleh organiasi, kelompok ataupun individu manapun.” Namun, langkah-langkah yang diambil pemimpin Palestina dan media jelas bertujuan untuk memprovokasi anak-anak kepada kekerasan, yang bertentangan langsung dengan perjanjian-perjanjian interim itu.

 

Sementara fenomena suicide bombing di Israel biasanya diasosiasikan dengan kelompok-kelompok radikal militant seperti Hamas dan Islamic Jihad, sebenarnya PA – badan yang dibentuk, didanai dan diperlengkapi untuk melaksanakan perjanjian damai Oslo – yang merupakan kekuatan utama yang mempromosikan Shahadat, yang secara harafiah berarti “pernyataan kepercayaan,” yang juga mencakup mati syahid/martir. Pengajaran kekerasan dalam masyarakat Palestina diturunkan langsung dari puncak pimpinan PA dan jelas berakar kemana-mana. Stasiun TV, radio, kotbah, buku sekolah, surat kabar dan majalah dan bahkan kurikuler liburan secara langsung atau tidak langsung dikuasai PA, yang menggunakan fasilitas-fasilitas ini untuk memuja-muja mati syahid dan untuk meyakinkan anak-anak Palestina agar turut terlibat dalam tindakan yang dapat mengancam nyawa mereka. TV yang dikontrol PA, dengan gambar-gambar jelas dan grafis, adalah salah satu cara media meracuni otak dan emosi anak-anak. Gambar-gambar anak-anak yang mati atau berlumuran darah sering ditayangkan, disusul dengan gambar-gambar anak-anak yang bermain, sambil ditempeli slogan, “Carilah Kematian – Hidup akan Diberikan Kepadamu.” Slogan ini juga menjadi judul sebuah laporan yang diedarkan the Palestine Media Watch, yang secara lengkap mencatat tekanan-tekanan yang diterapkan kepada anak-anak agar mengorbankan nyawa mereka lewat mati syahid.

Laporan ini menunjukkan klip-klip video dari TV yang dikuasai PA yang khusus diproduksi untuk anak-anak. Laporan ini juga mencakup kutipan-kutipan dari buku sekolah dan kutipan-kutipan dari guru, imam dan politisi Palestina.

Salah sebuah video klip, menunjukkan tayangan TV, dalam 3 tahun belakangan ini: seorang bocah lelaki menulis surat perpisahan kepada orang tuanya. “Jangan sedih dan jangan menangisi perpisahan ini, ayahku. Bagi negara saya, saya akan mengorbankan diri.” Anak itu nampak meninggalkan rumah dan bergabung dengan teman-temannya dalam kerusuhan. Ia menempatkan diri didepan tentara, ia tertembak di dada dan kemudian tubuhnya lunglai. Saat ia jatuh di tanah, kata-katanya dinyanyikan: “Betapa manisnya mati syahid saat saya memelukmu, oh tanahku.” Saat ibunya tampak menangis, kata-katanya dilanjutkan: “Ibuku tersayang, berbahagialah atas kucuran darah ini dan jangan menangisi saya.” Pesan ini jelas: inilah missi setiap anak Palestina dlm mengkonfrontasi Israel.

Dalam klip lain, seorang anak lelaki memainkan peran Mohammed Dura, korban anak yang paling terkenal yang diduga kena sasaran tentara Israel saat bersembunyi dengan ayahnya dari “tembakan Israel”. Ia tampak melambaikan tangannya pada pemirsa mudanya, menyerukan agar mereka mengikutinya ke Surga. Ketika mereka melihat gambar-gambar Surga dengan latar belakang pantai dan air terjun indah, sang aktor berjalan lewat sebuah taman (an amusement park) dan menerbangkan layangan. Katanya, “Saya tidak mengucapkan selamat tinggal, saya melambaikan tangan untuk mengajakmu mengikuti jejak saya.” Dan sebuah lagu melantun; “Betapa harumnya wangi martir, betapa harumnya wangi tanah, tanah yang diperkaya dengan darah, darah yang mengucur dari tubuh segar.”

Banyak acara-acara populer yang mendorong mati syahid dan memuji mereka yang tewas. Acara-acara budaya pada TV Palestina sering MEMUJA-MUJA KEKERASAN. Menurut suratkabar Israel, Ha’aretz, “Tayangan TV termasuk lagu-lagu dan dansa-dansa yang dibarengi foto-foto kekerasan, menekankan betapa mulianya kematian dijalan Allah.”

Sebuah acara anak-anak Palestina berjudul “The Children’s Club,” yang mirip “Sesame Street” AS, menyiarkan episode dimana anak-anak lelaki dengan tangan diangkat bersorak “kami siap dengan senjata kami; revolusi sampai menang; menang.” Pada acara yang sama, seorang anak lelaki 8 tahun mengumumkan kepada pemirsa anak-anak: “Saya disini untuk mengatakan bahwa kami akan melempar mereka ke laut. Penjajah, akhiratmu sudah dekat, dan kami akan membalas dendam. Kami akan membalas dengan batu dan peluru.”

Dalam serial TV baru-baru ini, seorang bocah lelaki yang diwawancarai berteriak, “Mereka harus memberi kita senjata api, kami sendiri, anak-anakmu, anak-anak lelaki dan perempuan akan bertempur. Berilah kami senjata; senjatalah yang harus mereka berikan kepada kami, kami tidak akan meninggalkan satupun Yahudi, tidak satupun Yahudi disini.”

Bahkan iklan-iklan TV Palestina mendesak anak-anak untuk meninggalkan mainan mereka dan sebaiknya memungut batu dan bergabung melawan Israel.

Dalam sebuah program camping remaja yang diorganisasikan PA, wartawan New York Times menyaksikan program latihan penculikan para pemimpin Israel, memasang dan melengkapi senapan Kalashnikov dan belajar bagaimana mengadakan serangan mendadak. Para peserta diberikan seragam kamuflase dan senapan-senapa imitasi. Mereka belajar berbaris dan infiltrasi, berbaring sambil melaju melewati halangan-halangan. Mabuk oleh kemungkinan diakui sebagai pahlawan dan mati syahid, tanpa dibarengi emosi matang, anak-anak muda ini mudah dimotivasi untuk mengorbankan nyawa mereka.

Arafat sendiri memanggil anak-anak Palestina “para jendral batu-batu/the generals of the stones,” yang semakin membakar semangat kebanggaan dan ego muda mereka. Berbicara kepada pemirsa lewat TV Palestina, Arafat menyebut nama Faris Ouda, seorang lelaki 14 tahun yang mati syahid dan memuja-mujanya sebagai ikon agar menjadi contoh. Sambil disambut sorak sorai dan gegap pempita auditorium penuh dgn anak-anak, Arafat mengatakan: “Kalian adalah kawan-kawan Faris Ouda! Salah seorang dari kalian, laki-laki atau perempuan, akan mengangkat bendera Palestina diatas tembok-tembok Yerusalem, Mesjidnya dan Gereja-gerejanya… Maju bersama keYerusalem!” Dan anak-anak menyahut: “Jutaan shahid berbaris ke Yerusalem!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar