Minggu, 15 Juli 2012

Islamic Banking Tidaklah Islamic


Oleh Ohmyrus
 
Islam melarang bunga pinjaman. Ini jelas dinyatakan dalam Quran 2.278 dan 279:

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”

Saya percaya bahwa jaman dulu (sama seperti di negara² dunia ketiga saat ini), bunga pinjaman menjadi beban yang membuat melarat orang² yang sudah miskin. Alasannya biasanya karena ada satu atau dua orang kaya (biasanya pemilik tanah) disuatu dusun yang meminjamkan uang, yang membuat si peminjam semakin miskin karena bunga pinjaman yang bertumpuk² dan tidak dapat mengembalikannya.

VS Naipaul, dalam bukunya, “India: A Wounded Civilization”, menggambarkan seorang tuan tanah yang menjadi lintah darat. Tulisnya:

“Dan didusun ini, suku bunga naik begitu tinggi, sampai 10 persen lebih sebulan, sehingga hutang itu—sekali diterima—si penghutang tidak akan pernah bisa membayarnya kembali.”

Orang yang dia lukiskan adalah seorang kepala dusun yang juga seorang tuan tanah, sebuah figur yang lebih penting bagi kehidupan penduduk dusun disitu dibanding dengan pemerintah pusat. Rumahnya selalu penuh dengan hasil panen. Ini memberinya kekuasaan. Para penghuni dusun yang tidak dapat membayar menjadi tenaga kerja gratis baginya. Mereka malah menaruh hormat mendalam pada tuan tanah ini.

Tidak ada sesuatupun yang terjadi didalam dusun tanpa restunya. Dia dianggap orang baik karena menyediakan makanan bagi penduduk dusun jika ada kelaparan/kekurangan pangan. Tapi orang ini memperalat kekuasaan yang ia punya. Malah utk membayar utang, penduduk dilaporkan menjual anak² mereka kedalam prostitusi.

Oleh karena itu, larangan terhadap riba/bunga itu bisa dibenarkan. Tapi bagi kalian yang skeptis dengan ‘nabi’ Muhammad, kalian bisa dengan mudah menemukan motif terselubung dibalik larangan bunga itu. Misalnya: mungkin si tuan tanah menjadi semacam Robin Hood dengan tujuan mencari pengikut.

Sama seperti pemerintah pusat yang kadang melihat para lintah darat ini sebagai penghalang rencana pembangunan mereka, nabi juga mungkin melihat bahwa rencananya terhalang oleh grup lintah darat ini. Dia mungkin tidak suka berbagi kekuasaan dengan siapapun. Terserah mana motivasi yang kalian lebih suka. Tapi apapun alasan aslinya, dijaman ini larangan terhadap bunga pinjaman ini sudah kadaluarsa.

Dulu akar masalahnya adalah: sedikitnya golongan peminjam uang sehingga mereka bisa memonopoli pinjaman uang dengan suku bunga tinggi karena tidak ada saingan. Orang kaya terdekat atau kepala dusun terdekat berjarak 3 jam dari mereka. Para penduduk ini sebagian besar buta huruf dan tidak sadar akan adanya sumber keuangan lain.

Tapi dunia modern sekarang ini tidak kekurangan kreditor/peminjam uang. Jika satu bank bunganya terlalu tinggi, kalian bisa pergi ke bank lain. Uang mengalir antar benua dari peminjam ke penghutang dengan sekali sentuh tombol komputer. Suku bunga yang kau bayar sangat kompetitif dan tidak dinaikkan secara semena-mena oleh situasi yang dimonopoli satu pihak tertentu saja.

Tapi muslim masih juga pusing menyesuaikan kebutuhan dunia modern yang sering konflik dengan iman mereka. Hasilnya adalah bangkitnya Islamic Banking yang dimulai di Dubai 1975 dan saat ini menjadi industri bernilai US $200 milyar. Islamic Banking tidak dimulai untuk melayani kebutuhan keuangan tapi untuk memenuhi kebutuhan religius. Teorinya, islamic banking harus bekerja seperti berikut:

Depositor menyimpan uangnya di bank yang oleh bank kemudian diberikan kepada para pebisnis dengan imbalan pembagian keuntungan (atau kerugian). Keuntungan (atau kerugian) ini disalurkan pada depositor. Bunga mungkin dilarang, TAPI keuntungan tidak. Jadi apa perbedaan antara bunga dan keuntungan?

Kunci perbedaannya adalah: bunga itu tetap dan pasti, sedangkan keuntungan bisa naik atau turun, tergantung iklim bisnis. Jadi makin sukses suatu proyek, semakin banyak bank akan mendapat untung dan menyalurkan keuntungan ini ke depositor. Ini disebut Profit/Loss Scheme (PLS) dan dianggap adil menurut para cendekiawan muslim. Tidak membagi keuntungan dengan bank dan depositor dianggap tidak adil.

Tapi, rencana ini punya kelemahan besar. Ingat, semakin tinggi keuntungan, semakin tinggi resikonya. Cacat yang utama adalah bank dan depositor harus membagi risiko dari kegagalan proyeknya, yang mana dalam kasus yang terburuk bisa mengakibatkan hilangnya seluruh simpanan. Depositor itu bisa jadi seorang pensiunan yang tidak mau mengambil risiko. Dia cuma ingin yakin uangnya aman dan cukup puas dengan keuntungan (dengan kata lain ‘bunga’) yang kecil dari simpanannya di bank.

Jika dia rela mengambil risiko tinggi dengan harapan mendapat keuntungan besar, sudah ada instrumen lain bagi penanaman uangnya itu. Dia bisa membeli saham secara langsung atau melalui trust funds. Jika dia pikir George Bush akan berperang melawan negara² Poros Setan, dia dapat membeli saham perusahaan kontraktor pertahanan seperti McDonald Douglas. Jika dia pikir masyarakat semakin doyan sex dan perbuatan maksiat, dia bisa membeli saham pabrik kondom.

Jadi bagi klien yang ingin keuntungan tinggi, Islamic banking mubazir saja karena klien² ini sudah terlayani dengan baik oleh sistim perbankan lain. Dan bagi mereka yang hanya ingin menyimpan jumlah uangnya dan cukup puas dengan suku bunga rendah, Islamic banking PUN tidak mampu melayani kebutuhan mereka.

Kenapa? Karena bagi klien² ini, lebih aman menyembunyikan uang mereka dibawah bantal agar modal mereka tetap utuh karena Islamic banking tidak dapat menjamin bahwa jumlah modal mereka akan tetap! Kelompok orang ini cuma perlu keluar uang untuk membeli racun atau perangkap tikus agar lembaran uang mereka dibawah bantal itu tidak dilahap tikus. Entah kenapa, islam cenderung membawa orang² kembali ke abad 7. Jangan heran!

Masalah lain dengan PLS adalah bahwa: pebisnis lihai yang meminjam uang dari sebuah islamic bank akan ENGGAN untuk melaporkan keuntungannya kepada bank tersebut. Lebih untung baginya untuk melaporkan sebuah kerugian. Dengan cara itu, ia tidak perlu membagi keuntungannya dengan bank.

Dapatkah kau lihat ironinya? Dibawah sistem keuangan kafir, manajer yang serakah dan curang melaporkan keuntungan saat mereka sebenarnya rugi, jadi mereka mendapat uang dari pembagian keuntungan tersebut.
Dibawah sistem keuangan dunia Islam yang menakjubkan ini, pebisnis curang akan mencoba melaporkan kerugian, saat sebenarnya mereka untung. Ini dapat dilakukan dengan sedikit hitung²an akunting. Saya kasih contoh sederhana:

Misal pemilik perkebunan korma perlu uang untuk membeli tahi onta untuk pupuk. Bank meminjamkan uang dengan imbalan pembagian keuntungan. Dia pakai uang itu untuk beli tahi onta dari pedagang tahi onta yang sebenarnya iparnya sendiri dengan harga yang ditinggikan. Ini akan menaikkan biaya². Dia tidak mendapat keuntungan dari penjualan kormanya karena dia membeli tahi kelas F (menurut laporan akuntingnya) dan bukan kelas A. JADI dia tidak berhutang pada bank, karena perkebunannya rugi, PADAHAL ia bagi uang itu dengan iparnya.

Ngertikah kau sekarang ?

Nah, untuk mencegah penipuan macam ini, setiap islamic bank harus punya pengetahuan mendetail mengenai bisnis yang mereka masuki dan punya peran dalam manajemennya. Dalam kasus ini, bank harus mampu membedakan tahi kelas A dan tahi kelas F. Dalam praktek, hal ini mustahil dilakukan oleh bank! Bahkan jika mereka bisapun, mereka tidak punya tenaga manusia untuk mengawasi keputusan² manajemen. Dalam sistem bank konvensional, bank biasanya tidak terlibat dalam manajemen perusahaan.

Trik Akunting lainnya yang dapat dilakukan untuk mengurangi nampaknya keuntungan adalah sebagai berikut:
  1. Early recognition of expenses. Pengakuan dini akan pengeluaran
  2. Late recognition of revenues. Pengakuan lama akan keuntungan
  3. Change from FIFO accounting to LIFO accounting
  4. Shortened amortization/depreciation periods Amortisasi/periode depresiasi yang lebih pendek
  5. Reporting bogus revenues. Etc Melaporkan keuntungan² palsu…

Dalam praktek, bank2 islam sadar akan masalah rawan ini. Sebuah laporan dari the Institute of Islamic Banking and Insurance menyatakan:
“Ketika merancang sebuah sistim alternatif bagi bunga bank ini, disadari bahwa sistem PLS ini mengandung risiko dan bahaya serius bagi islamic bank karena kecenderungan yang meluas dalam praktek² akunting yang tidak etis utk menyembunyikan keuntungan yang sebenarnya…”

Dalam prakteknya, kebanyakan yang disebut islamic banking tidak benar2 didasarkan pada sitem PLS. Karena depositor dan bank tetap saja mendapat fixed return/kembalian uang yang tetap dari uang simpanan mereka. Instrumen2 keuangan yang umum itu adalah:
  1. Muradaha (Cost-plus sale).
  2. Deferred payment sales
  3. Purchase with deferred delivery
  4. Leasing
  5. Loans with a service charge

Yang paling penting adalah Muradaha. Cara kerjanya: Bank, atas permintaan klien, membeli sejumlah barang dan menjual barang tersebut kepada kliennya dengan keuntungan tetap/fixed profit (baca: bunga) tanpa melihat sukses atau gagalnya bisnis si klien. Pembayaran dapat sekaligus atau beberapa kali dalam sekian tahun. Risiko satu²nya bagi bank adalah jika klien tidak menghormati perjanjian untuk melunasi hutangnya itu—yahhh, sama seperti bank konvensional.

Walau bisnis kliennya untung atau tidak, dia berhak untuk meminta “keuntungan” tetap. Jadi, intinya tidak ada perbedaan dengan sistim keuangan konvensional. Sama juga dengan instrumen² bank lainnya. Seluruh islamic banking sebenarnya adalah ‘penipuan diri’.

Cendekiawan muslim, Hakim Taqi Usmani berkata:
“Islamik bank memakai instrumen Muradaha dalam rangka kerja standar seperti LIBOR (London Interbank Offered Rate) dll. dimana hasil bersih tidak berbeda dari transaksi yang berdasarkan bunga.”

Dia menambahkan:
“Saat orang² sadar bahwa hasil bersih transaksi dalam islamic bank sama dengan transaksi dengan bank biasa, mereka akan ragu² atas fungsi islamic bank. Dengan begitu, sulit untuk menjual konsep islamic banking kepada klien, khususnya non-muslim yang merasa bahwa ini cuma pelintiran/kebohongan dokumen² saja.”
Dengan jujur pula, Institute of Islamic Banking and Insurance menulis:
“Kalau masalah ini berkelanjutan, banyak muslim akan meragukan feasibility, praktek dan kegunaan dari ‘Islamic Banking” meskipun sebenarnya kesalahan ada pada kita dan bukan pada sistemnya.”

Saya pribadi pikir sebaiknya muslim mengaku kesalahan ada pada sistem dan bukan pada diri mereka. Mereka harus berhenti mengelabui diri sendiri dan mengakui bahwa bunga bank adalah bagian dari dunia modern dan tidak dapat dilarang. Tapi untuk mengatakan itu, sama saja dengan mengakui bahwa sistem mereka cacat dan dengan begitu seluruh bangunan islam akan runtuh. Terlalu menyakitkan untuk melakukan itu dan kalian mungkin akan dituduh murtad atau menghina Islam. Jadi muslim akan terus membenturkan kepala mereka ke tembok mencoba memaksakan berfungsinya islamic banking. Itu sebuah Mission Imposible.

Faithfreedom International | Faithfreedom Indonesia Forum

Tidak ada komentar:

Posting Komentar