Bagaimana
proses penyusunan Quran hingga terbentuk menjadi sebuah kitab seperti
yang ada sekarang ini? Kebanyakan kaum Muslim meyakini bahwa Quran yang
mereka lihat dan baca hari ini adalah persis seperti yang ada pada masa
Muhammad lebih dari seribu empat ratus tahun silam. Bahkan muslim
percaya banwa Quran merupakan salinan dari kitab yang ada disurga (lahul
mahfuz). Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih merupakan formulasi
dan angan² teologis (al-khayal al-dini) yang dibuat oleh para ulama
sebagai bagian dari formalisasi doktrin² Islam. Hakikat dan sejarah
penulisan Quran sendiri sesungguhnya penuh dengan berbagai nuansa
kebohongan, dan tidak sunyi dari perdebatan, pertentangan, intrik, dan
rekayasa.
PARA PAKAR ISLAM PUN TIDAK BISA
MEMBUKTIKAN APAKAH QURAN YANG ADA SEKARANG INI MASIH SAMA ISINYA DENGAN
QURAN YANG ADA DIJAMAN MUHAMMAD.
Dua keterangan yang paling terkenal adalah; sebelum dia mati, Muhammad menyusun Quran menjadi sebuah buku dan Kalifah berikutnya, Abu Bakar, menyusunnya dari orang² yang telah menulis ayat² Quran dan menghafalnya. Meskipun begitu, kami diajarkan bahwa Quran yang sekarang ini sama persis dengan yang diberikan pada Muhammad dulu oleh malaikat Jibril.
Dua keterangan yang paling terkenal adalah; sebelum dia mati, Muhammad menyusun Quran menjadi sebuah buku dan Kalifah berikutnya, Abu Bakar, menyusunnya dari orang² yang telah menulis ayat² Quran dan menghafalnya. Meskipun begitu, kami diajarkan bahwa Quran yang sekarang ini sama persis dengan yang diberikan pada Muhammad dulu oleh malaikat Jibril.
Untuk mengerti sejarah Islam kami
kemudian mulai mempelajari sumber² Islam yang bisa dipercaya, terutama
yang Sahih yang disusun oleh Bukhari. Sewaktu sedang mempelajari sejarah
penyusunan teks Quran, betapa kagetnya kami ketika mengetahui bahwa
Quran yang kita miliki hari ini ternyata telah melalui beberapa tahapan
evolusi sebelum mencapai versi standar sekarang ini. Misalnya, kami
menemukan ada tujuh cara yang berbeda untuk melafalkan Quran. Seorang
dapat melafalkan dan mengingat Quran secara berbeda dan itu tetap
diterima sebagai wahyu Allah. Kutipan dari Hadis Sahih Bukhari:
Sahih Bukhari 41:601
Dikisahkan oleh ‘Umar bin Al-Khattab: Aku dengar Hisham bin Hakim bin Hizam melafalkan Surat-al-Furqan dengan cara yang berbeda dengan caraku. Rasul Allah telah mengajarkan padaku (dengan cara yang berbeda). Lalu, aku hampir saja ingin bertengkar dengan dia (pada saat sembahyang) tapi aku tunggu sampai dia selesai, lalu aku ikat bajunya di sekeliling lehernya dan kuseret dan kubawanya menghadap Rasul Allah dan berkata, “Aku telah mendengar dia melafalkan Surat-al-Furqan dengan cara yang berbeda dengan yang kau ajarkan padaku.” Sang Rasul menyuruhku melepaskan dia dan meminta Hisham melafalkannya. Ketika dia melakukan itu, Rasul Allah berkata, “Itu (Surat-al-Furqan ) dilafalkan begitu.” Sang Rasul lalu meminta aku melafalkannya. Ketika aku melakukannya, dia berkata, “Itu dilafalkan begitu. Qur’an telah dinyatakan dalam tujuh cara yang berbeda, jadi lafalkan dengan cara yang mudah bagimu.”
Dikisahkan oleh ‘Umar bin Al-Khattab: Aku dengar Hisham bin Hakim bin Hizam melafalkan Surat-al-Furqan dengan cara yang berbeda dengan caraku. Rasul Allah telah mengajarkan padaku (dengan cara yang berbeda). Lalu, aku hampir saja ingin bertengkar dengan dia (pada saat sembahyang) tapi aku tunggu sampai dia selesai, lalu aku ikat bajunya di sekeliling lehernya dan kuseret dan kubawanya menghadap Rasul Allah dan berkata, “Aku telah mendengar dia melafalkan Surat-al-Furqan dengan cara yang berbeda dengan yang kau ajarkan padaku.” Sang Rasul menyuruhku melepaskan dia dan meminta Hisham melafalkannya. Ketika dia melakukan itu, Rasul Allah berkata, “Itu (Surat-al-Furqan ) dilafalkan begitu.” Sang Rasul lalu meminta aku melafalkannya. Ketika aku melakukannya, dia berkata, “Itu dilafalkan begitu. Qur’an telah dinyatakan dalam tujuh cara yang berbeda, jadi lafalkan dengan cara yang mudah bagimu.”
Karena terdapat tujuh cara pelafalan
Quran (qiraat) ini berarti kaum Muslim dapat mengingat Quran dalam tujuh
cara yang berbeda, bukan hanya satu. Jika Muhammad telah mengijinkan
tujuh cara untuk melafalkan Quran, maka tentunya juga ada tujuh versi
Quran, dan bukan hanya satu!
Kami tidak pernah diajarkan bahwa ada
tujuh buah Quran, tapi kami hanya diberitahu ada satu Quran saja. Apakah
memang betul ada tujuh buah dan semuanya itu asli ? Ketika kami terus
melanjutkan penelaahan, kami temukan Hadis Sahih lain yang memperkuat
dan memperluas paham bahwa Quran mungkin dikisahkan dalam tujuh cara
yang berbeda.
Sahih Bukhari 54:442
Rasulullah berkata; Jibril melafalkan Quran padaku dengan satu cara (dielek), aku kemudian menyuruhnya untuk melafalkan dengan cara yang berbeda, hingga ia melafalkan dengan tujuh macam cara.
Rasulullah berkata; Jibril melafalkan Quran padaku dengan satu cara (dielek), aku kemudian menyuruhnya untuk melafalkan dengan cara yang berbeda, hingga ia melafalkan dengan tujuh macam cara.
Hadis serupa dapat dilihat pada Bukhari 61:513, 61:514, dan 3:640.
Sewaktu kami mempelajarinya lebih lanjut,
Hadis Sahih menegaskan bahwa bukan Muhammad yang menyusun tulisan Quran
menjadi satu koleksi, tapi ini untuk pertama kali dilakukan di bawah
kekuasaan Kalifah Abu Bakar. Ternyata pada saat itulah qurra, yakni
orang² yang menghafalkan Quran, terbunuh di Perang Yamama. Khalifa Abu
Bakar memerintahkan untuk dibuat kumpulan ayat² Quran, dan ini juga atas
desakan Umar (Kalifah kedua). Kumpulan ayat ini disimpan oleh Kalifah
Abu Bakar, dan setelah dia mati, lalu disimpan oleh Kalifah Umar dan
diserahkan pada anak perempuan Umar yang bernama Hafsa, yang juga janda
Muhammad.
Sahih Bukhari 61:509
Dikisahkan oleh Zaid bin Thabit: Abu Bakr As-Siddiq memanggilku ketika orang² Yamama telah dibunuh (sejumlah pengikut sang Nabi yang bertempur melawan Musailama). (Aku pergi kepadanya) dan menemukan ‘Umar bin Al-Khattab duduk dengannya. Abu Bakar lalu berkata (padaku), “Umar telah datang padaku dan berkata: “Banyak yang Qurra Quran (orang² yang hafal Quran di luar kepala) yang tewas di Perang Yamama dan aku takut akan lebih banyak lagi Qurra yang akan tewas di medan perang lain, sehingga sebagian besar Quran bisa hilang. Karena itu aku menganjurkan kau (Abu Bakr) memerintah agar ayat² Quran dikumpulkan.
Dikisahkan oleh Zaid bin Thabit: Abu Bakr As-Siddiq memanggilku ketika orang² Yamama telah dibunuh (sejumlah pengikut sang Nabi yang bertempur melawan Musailama). (Aku pergi kepadanya) dan menemukan ‘Umar bin Al-Khattab duduk dengannya. Abu Bakar lalu berkata (padaku), “Umar telah datang padaku dan berkata: “Banyak yang Qurra Quran (orang² yang hafal Quran di luar kepala) yang tewas di Perang Yamama dan aku takut akan lebih banyak lagi Qurra yang akan tewas di medan perang lain, sehingga sebagian besar Quran bisa hilang. Karena itu aku menganjurkan kau (Abu Bakr) memerintah agar ayat² Quran dikumpulkan.
”Aku
berkata pada ‘Umar, “Bagaimana kau dapat berbuat sesuatu yang Rasul
Allah saja tidak lakukan?” ‘Umar berkata, “Demi Allah, ini adalah usaha
yang baik.” ‘Umar terus saja membujukku untuk menerima usulnya sampai
Allah membuka hatiku dan aku mulai menyadari kebenaran usul ini.”
Lalu
Abu Bakar berkata (padaku). ‘Kamu adalah anak muda yang bijaksana dan
kami tidak curiga apapun padamu, dan kau biasa menulis Ilham Illahi bagi
Rasul Allah. Maka kau harus mencari (ayat² terpisah-pisah) Qur’an dan
mengumpulkannya jadi satu buku.” Demi Allah, jika mereka memerintahkanku
untuk memindahkan satu dari gunung², ini tidak akan sesukar perintah
mengumpulkan ayat² Quran. Lalu aku berkata pada Abu Bakar, “Bagaimana
kau dapat berbuat sesuatu yang Rasul Allah saja tidak lakukan?” Abu
Bakar menjawab, ““Demi Allah, ini adalah usaha yang baik.” Abu Bakar
terus saja membujukku untuk menerima usulnya sampai Allah membuka hatiku
seperti Dia telah membuka hati Abu Bakar dan Umar.
Lalu
aku mulai mencari ayat² Quran dan mengumpulkannya dari (yang ditulis
di) tangkai² palem, batu² putih tipis dan juga orang² yang mengingatnya
dalam hati, sampai aku menemukan ayat akhir dari Surat At-Tauba
(Pertobatan) dari Abi Khuzaima Al-Ansari, dan aku tidak menemukan ayat
ini pada orang lain. Ayatnya berbunyi: ‘Sesungguhnya telah datang bagimu
seorang Rasul (Muhammad) dari antara kalian sendiri. Dia sedih melihat
engkau harus menerima kecelakaan atau kesusahan … (sampai akhir
Surat-Baraa’ (At-Tauba) (9.128-129). Lalu naskah² (salinan) lengkap
Quran disimpan Abu Bakr sampai dia mati, lalu disimpan ‘Umar sampai
akhir hidupnya, dan kemudian disimpan Hafsa, anak perempuan Umar.
Sewaktu kami mempelajari Hadis Sahih di
atas dan Hadis yang lain yang sama pesannya, kami mendapatkan hal² yang
penting. Pertama, Umar khawatir jika Quran tidak ditulis, dan jika qurra
banyak yang mati, maka sebagian besar Quran akan hilang.
Kedua, ini adalah tugas yang monumental
(besar sekali) yang diberikan pada Zaid karena Muhammad sendiri tidak
pernah melakukan hal ini, dan Zaid menjelaskan kekhawatirannya.
Ketiga, perlu banyak usaha untuk
mengumpulkan ayat² Quran karena beberapa ayat hanya diingat oleh satu
orang dan tidak ada orang lain yang menegaskan atau membenarkannya. Ada
beberapa Hadis Sahih lain yang juga mengatakan hal itu.
Kejujuran Zaid membuat kami waswas.
Apakah betul ini adalah tugas yang sangat berat? Apakah memang dia orang
yang tepat melaksanakan tugas itu? Kami mulai mencari dan menemukan
bahwa Muhammad telah menganjurkan orang² lain dan bukan Zaid untuk
mengajar Quran pada muslim lain.
Sahih Bukhari 61:521
Dikisahkan oleh Masriq: ‘Abdullah bin ‘Amr mengingatkan ‘Abdullah bin Masud dan berkata, “Aku akan mencintai orang itu selamanya, karena aku mendengar sang Nabi berkata, ‘Belajarlah Qur’an dari empat orang ini: ‘Abdullah bin Masud, Salim, Mu’adh dan Ubai bin Ka’b.”
Dikisahkan oleh Masriq: ‘Abdullah bin ‘Amr mengingatkan ‘Abdullah bin Masud dan berkata, “Aku akan mencintai orang itu selamanya, karena aku mendengar sang Nabi berkata, ‘Belajarlah Qur’an dari empat orang ini: ‘Abdullah bin Masud, Salim, Mu’adh dan Ubai bin Ka’b.”
Kami sangat khawatir karena tidak
seorangpun dari keempat orang yang direkomendasikan Muhammad untuk
mengajar Quran diberi tugas untuk mengumpulkan atau menegaskan kebenaran
Quran. Yang disuruh justru juru tulisnya Muhammad: Zaid bin Thabit. Dia
juga khawatir bahwa tugas ini terlalu berat. Tapi baik Kalifah Abu Bakr
maupun Umar pada saat itu tidak minta satu pun dari keempat orang di
atas untuk memeriksa hasil penyusunan Quran buatan Zaid.
Kami lanjutkan penyelidikan dengan rasa
agak bingung karena proses penyusunan ini ternyata melibatkan lebih
banyak hal yang tidak pernah didengar sebelumnya. Sayangnya, kami
mendapatkan bahwa sejarah penyusunan Quran tidak berhenti pada saat itu
saja. Dengan makin bertambah dan menyebarnya masyarakat Muslim, jadi
bertambah sukar pula untuk mempertahankan keutuhan isi Quran karena
tidak ada satu patokan isi Quran yang sah, setiap guru agama punya
salinan mereka sendiri. Ini mengakibatkan banyaknya ketidaksetujuan
diantara masyarakat Muslim, dan karena itu, Kalifah Utsman diminta untuk
berbuat sesuatu untuk menanggulangi hal ini.
Harap diingat bahwa pada saat itu, naskah
Quran yang dikumpulkan Zaid tidak disebarkan ke mana2, dan masih
disimpan oleh Hafsa. Juga perhatikan apa yang dilakukan Kalifah Utsman
seperti yang diterangkan di Hadis Sahih Bukhari berikut.
Sahih Bukhari, 61:510
Dikisahkan oleh Anas bin Malik: Hudhaifa bin Al-Yaman datang pada Utsman pada saat orang² Sham dan Iraq sedang mengadakan perang untuk menaklukkan Arminya dan Adharbijan. Hudhaifa takut akan perbedaan pelafalan Qur’an yang dilakukan mereka (orang² Sham dan Iraq), lalu dia berkata pada ‘Utsman, “O ketua orang yang beriman! Selamatkan negara ini sebelum mereka bertentangan tentang Buku ini (Qur’an) seperti yang dilakukan orang Yahudi dan Kristen sebelumnya.” Lalu ‘Utsman mengirim pesan pada Hafsa yang isinya, “Kirim pada kami naskah² Qur’an sehingga kami bisa mengumpulkan bahan² Qur’an dalam salinan yang sempuran dan mengembalikan naskah² itu padamu.”
Dikisahkan oleh Anas bin Malik: Hudhaifa bin Al-Yaman datang pada Utsman pada saat orang² Sham dan Iraq sedang mengadakan perang untuk menaklukkan Arminya dan Adharbijan. Hudhaifa takut akan perbedaan pelafalan Qur’an yang dilakukan mereka (orang² Sham dan Iraq), lalu dia berkata pada ‘Utsman, “O ketua orang yang beriman! Selamatkan negara ini sebelum mereka bertentangan tentang Buku ini (Qur’an) seperti yang dilakukan orang Yahudi dan Kristen sebelumnya.” Lalu ‘Utsman mengirim pesan pada Hafsa yang isinya, “Kirim pada kami naskah² Qur’an sehingga kami bisa mengumpulkan bahan² Qur’an dalam salinan yang sempuran dan mengembalikan naskah² itu padamu.”
Hafsa
lalu mengirimkannya pada ‘Utsman. ‘Utsman lalu memerintahkan Zaid bin
Thabit, ‘Abdullah bin AzZubair, Said bin Al-As dan ‘AbdurRahman bin
Harith bin Hisham untuk menulis ulang naskah² itu menjadi salinan yang
sempurna. ‘Utsman berkata pada tiga orang Quraish, “Andaikata kau tidak
setuju dengan Zaid bin Thabit tentang isi apapun dalam Qur’an, maka
tulislah Qur’an dalam dialek Quraish, agar Qur’an dinyatakan dalam
bahasa asli mereka.”
Mereka
melakukan itu, dan ketika mereka telah menulis banyak salinan, ‘Utsman
mengembalikan naskah² yang asli pada Hafsa. ‘Utsman mengirim satu
salinan Qur’an ke setiap propinsi Muslim, dan memerintahkan semua
tulisan² Qur’an lain, baik yang ditulis di beberapa naskah atau seluruh
buku, dibakar.
Said
bin Thabit menambahkan, “Satu ayat dari Surat Ahzab hilang dariku
ketika kita menyalin Qur’an dan aku biasa mendengar Rasul Allah
menceritakannya. Maka kami mencarinya dan menemukannya pada Khuzaima bin
Thabit Al-Ansari. (Ayat ini berbunyi): ‘Diantara orang² yang beriman
ada orang² yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah.’
(33.23)
Dari mempelajari kisah di atas dan juga
Hadis Sahih lain yang pesannya serupa, kami perhatikan ada beberapa
kumpulan Quran yang berbeda² yang tersebar saat itu. Ini adalah bagian
kumpulan Quran yang dibuat oleh keempat guru² Quran yang
direkomendasikan Muhammad seperti yang ditulis di Hadis terdahulu, yakni
salah satunya Ubai bin Ka’b. Lagi² kami merasa terganggu dengan hal²
berikut.
Pertama, ada banyak ketidaksetujuan
diantara para Muslim tentang apa yang seharusnya ada dalam Quran. Karena
itu, Kalifah Utsman memerintahkan naskah² Quran yang disimpan Hafsa
untuk disalin dan disebarkan dan ditunjuk sebagai salinan Quran yang
sah.
Kedua, jika ada banyak ketidaksetujuan
diantara ahli² tulis yang menyalin Quran tentang bagaimana melafalkan
suatu ayat, Utsman menyuruh mereka menulisnya dalam dialek Quraish. Kami
kecewa ketika tahu bahwa Kalifah Utsman memerintahkan perubahan kata²
Quran ke dalam dialek Quraish. Apakah perubahan bagian dari tujuh versi
Quran yang berbeda? Kami tidak menemukan penjelasan ini di Hadis Sahih.
Yang terakhir, kami kaget sekali ketika Khalifa Utsman memerintahkan
PEMBAKARAN Quran2 yang lain, tidak peduli apakah seluruhnya atau
sebagian saja. Kami bertanya dalam hati: MENGAPA? Mestinya karena Quran²
lain yang beredar saat itu begitu berbeda dengan yang dimiliki Khalifa
Utsman sehingga dia sampai² mengeluarkan perintah yang begitu keras.
Ingat saat Al-Yaman bertemu Utsman untuk memintanya menyelamatkan negara
karena mereka berbeda pendapat tentang Quran. Sekarang Kalifah Utsman
memerintahkan disebarkannya salinan yang dimiliki Hafsa, padahal versi
ini belum pula disahkan oleh guru² Quran terbaik untuk jadi patokan
Quran yang sah.
Sewaktu kami menyelidiki apa kemungkinan perbedaannya yang ada, kami
menemukan contoh kata Bismillah yang hilang pada awal Surah 9, ayat
perajaman yang hilang dimakan KAMBING, dan lalu ayat ini dihapus,
ditarik kembali, dibatalkan atau dilupakan. Kami telah
membicarakan hal ini dalam penelitian kami tentang ayat² yang dibatalkan
(Ayat² setan). Kami menjumpai bahwa meskipun perintah penghancuran
diberikan, beberapa bagian dari versi Quran lain ternyata selamat,
mungkin karena orang² Muslim hafal akan variasi lain dari Quran.
Contohnya, dari terjemahan Quran oleh
Abdullah Yusuf Ali, kami menemukan Qiraat (bacaan Quran) lain yang
berbeda dengan Quran milik Ka’b yang direkomendasikan Muhammad sebagai
satu dari empat guru terbaik untuk mengajar Quran. Dia menulis ada kata2
tambahan bagi Surah 33:6. Kami dulu diajari bahwa tidak ada satu titik
pun yang diubah, dan inilah seluruh kalimat yang hilang yang ditandai
dengan ** di bawah di catatan kaki 3674 dari Abdullah Yusuf Ali.
Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri, **
dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. Dan orang-orang yang
mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di
dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmim dan orang-orang
Muhajirin, kecuali kalau kamu berbuat baik kepada saudara-saudaramu
(seagama). Adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab
(Allah). (QS 33:6)
** Catatan kaki
3674 : … Di beberapa Qiraats, seperti yang dimiliki Ubai ibn Ka’b,
muncul pula kata² ini “dan dia adalah ayah bagi mereka”, yang
mengartikan bahwa hubungan spiritualnya dan hubungannya denga kata² “dan
isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka”. …
As-Suyuti (wafat 1505), salah seorang
pakar Quran yang paling dihormati mengutip Ibn ‘Umar al Khattab :
“Janganlah ada diantara kalian yang mengatakan bahwa ia mendapatkan
seluruh Quran, karena bagamana ia tahu bahwa itu memang keseluruhannya?
Banyak dari Quran telah hilang. Oleh karena itu, kalian harus mengatakan
‘Saya mendapatkan sebagian Quran yang ada’” (As-Suyuti, Itqan, part 3,
page 72).
Aisha, isteri tersayang nabi mengatakan,
juga menurut sebuah tradisi yang diceritakan as-Suyuti, “Selama masa
Nabi, saat dibacakan, Surah al-Ahzab berisi 200 ayat. Ketika Utsman
mengedit Quran, hanya ayat² sekarang ini (73) yang tertinggal.”
As-Suyuti juga menceritakan ini tentang
Uba ibn Ka’b, salah seorang sahabat Muhammad: Sahabat terkenal ini
meminta salah seorang Muslim, “Berapa ayat yang ada dalam Surah
al-Ahzab?” Katanya, “73 ayat.” Ia (Uba) mengatakan padanya, “Dulunya
jumlah ayatnya hampir sama dengan Surah ‘Al Baqarah’ (sekitar 286 ayat)
dan termasuk ayat perajaman”. Lelaki itu bertanya, “Apa ayat perajaman
itu ?” Ia (Uba) mengatakan, “Jika lelaki tua atau wanita melakukan
zinah, rajam mereka sampai mati.”
Ibn Mas’ud, seorang sahabat dekat Nabi,
misalnya, memiliki mushaf Quran yang tidak menyertakan surah al-Fatihah
(surah pertama). Bahkan menurut Ibn Nadiem (w. 380 H), pengarang kitab
al-Fihrist, mushaf Ibn Mas’ud tidak menyertakan surah 113 dan 114.
Susunan surahnyapun berbeda dari Quran yang ada sekarang. Misalnya,
surah keenam bukanlah surah al-An’am, tapi surah Yunus.
Ibn Mas’ud bukanlah seorang diri yang
tidak menyertakan al-Fatihah sebagai bagian dari Quran. Sahabat lain
yang menganggap surah “penting” itu bukan bagian dari Quran adalah Ali
bin Abi Thalib yang juga tidak memasukkan surah 13, 34, 66, dan 96. Hal
ini memancing perdebatan di kalangan para ulama apakah al-Fatihah
merupakan bagian dari Quran atau ia hanya merupakan “kata pengantar”
saja yang esensinya bukanlah bagian dari kitab suci.
Salah seorang ulama besar yang menganggap
al-Fatihah bukan sebagai bagian dari Quran adalah Abu Bakr al-Asamm (w.
313 H). Dia dan ulama lainnya yang mendukung pandangan ini berargumen
bahwa al-Fatihah hanyalah “ungkapan liturgis” untuk memulai bacaan
Quran. Ini merupakan tradisi populer masyarakat Mediterania pada masa
awal Islam. Sebuah hadis Nabi mendukung fakta ini: “siapa saja yang
tidak memulai sesuatu dengan bacaan alhamdulillah [dalam hadis lain
bismillah] maka pekerjaannya menjadi sia-sia.”
Seperti yang kita lihat sebelumnya,
Utsman mencoba mengatasi situasi kacau ini dengan kanonisasi codex /
mushaf Medinah, yang salinannya dikirim kesemua pusat² metropolitan
diiringi perintah untuk menghancurkan kesemua mushaf lain.
Mushaf Utsman ini dianggap sebagai
standar teks konsonan, tapi yang kita temukan justru terdapat berbagai
variasi teks konsonan yang masih hidup juga sampai abad Islam ke 4. Dari
sinilah kemudian muncul beragam bacaan yang berbeda akibat absennya
titik dan harakat (scripta defectiva). Misalnya bentuk present
(mudhari’) dari kata a-l-m bisa dibaca yu’allimu, tu’allimu, atau
nu’allimu atau juga menjadi na’lamu, ta’lamu atau bi’ilmi.
Masalah diperuncing dengan adanya
perbedaan kosakata akibat pemahaman makna, dan bukan hanya persoalan
absennya titik dan harakat. Misalnya, mushaf Ibn Mas’ud berulangkali
menggunakan kata “arsyidna” ketimbang “ihdina” (keduanya berarti
“tunjuki kami”) yang biasa didapati dalam mushaf Utsmani. Begitu juga,
“man” sebagai ganti “alladhi” (keduanya berarti “siapa”). Daftar ini
bisa diperpanjang dengan kata dan arti yang berbeda, seperti “al-talaq”
menjadi “al-sarah” (Ibn Abbas), “fas’au” menjadi “famdhu” (Ibn Mas’ud),
“linuhyiya” menjadi “linunsyira” (Talhah), dan sebagainya.
Untuk mengatasi versi2 bacaan yang
semakin liar, pada tahun 322 H, Khalifah Abbasiyah lewat dua orang
menterinya Ibn Isa dan Ibn Muqlah, memerintahkan Ibn Mujahid (w. 324 H)
melakukan penertiban. Setelah membanding2kan semua mushaf yang ada di
tangannya, Ibn Mujahid memilih tujuh varian bacaan dari para qurra
ternama. Bahkan ketujuh mushaf versi Ibn Mujahid memberikan 14
kemungkinan karena masing2 dari ketujuh mushaf itu bisa dilacak kepada
dua transmitter berbeda. yakni:
- Nafi dari Medinah menurut Warsh dan Qalun
- Ibn Kathir dari Mekah menurut al-Bazzi dan Qunbul
- Ibn Amir dari Damascus menurut Hisham dan Ibn Dakwan
- Abu Amr dari Basra menurut al-Duri dan al-Susi
- Asim dari Kufa menurut Hafs dan Abu Bakr
- Hamza dari Kufa menurut Khalaf dan Khallad
- Al-Kisai dari Kufa menurut al Duri dan Abul Harith
Tindakannya ini berdasarkan hadis Nabi
yang mengatakan bahwa “Quran diturunkan dalam tujuh huruf.” Tapi,
sebagian ulama menolak pilihan Ibn Mujahid dan menganggapnya telah
semena-mena mengesampingkan versi² lain yang dianggap lebih sahih.
Nuansa politik dan persaingan antara ulama pada saat itu memang sangat
kental. Ini tercermin seperti dalam kasus Ibn Miqsam dan Ibn Shanabudh
yang pandangan²nya dikesampingkan Ibn Mujahid karena adanya rivalitas di
antara mereka, khususnya antara Ibn Mujahid dan Ibn Shanabudh.
Bagaimanapun, reaksi para ulama tersebut
tidak banyak berpengaruh. Sejarah membuktikan pandangan Ibn Mujahid yang
didukung penguasa itulah yang kini diterima oleh banyak orang. Pada
akhirnya 3 versi bertahan, versinya Warsh (812) milik Nafi dari Medina,
Hafs (805) milik Asim dari Kufa, dan al-Duri (860) milik Abu Amr dari
Basra. Jaman sekarang, hanya 2 versi yang terus digunakan. Yaitu versi
Asim dari Kufa lewat Hafs, yang diberikan ijin resmi dengan diadopsi
sebagai Quran edisi Mesir tahun 1924; dan milik Nafi lewat Warsh, yang
digunakan di bagian² Afrika selain Mesir.
Pencetakan
Quran di Mesir tahun 1924 adalah rekayasa yang luar biasa, karena upaya
ini merupakan yang paling berhasil dalam sejarah kodifikasi dan
pembukuan Quran sepanjang masa. Terbukti kemudian, Quran Edisi Mesir itu
merupakan versi Quran yang paling banyak beredar dan digunakan oleh
kaum Muslim. Keberhasilan penyebarluasan Quran Edisi Mesir tak terlepas
dari unsur kekuasaan. Seperti juga pada masa² sebelumnya, kodifikasi dan
standarisasi Quran adalah karya institusi yang didukung oleh penguasa
politik.
Apa yang telah dilakukan oleh pemerintah
Saudi Arabia mencetak ratusan ribu kopi Quran sejak tahun 1970-an
merupakan bagian dari proyek standarisasi kitab suci, yang bertujuan
memusnahkan versi² Quran yang lain. Kendati tidak seperti Utsman bin
Affan yang secara terang²an memerintahkan membakar seluruh versi
(mushaf) Quran yang bukan miliknya, tindakan penguasa Saudi membanjiri
pasar Quran hanya dengan satu edisi, menutupi dan perlahan² menyisihkan
edisi lain yang diam² masih beredar (khususnya di wilayah Maroko dan
sekitarnya).
Akhirnya kita dapat menyimpulkan bahwa
Quran versi yang ada sekarang ini jauh dari kata suci dan murni. Bahkan
jika dibandingkan dengan kitab samawi lain seperti Taurat dan Injil,
kemurnian atau validitas Quran jauh dibawah kedua kitab tersebut.
Aisha pernah melaporkan bahwa bahwa ada
satu lembaran yang berisi 2 ayat, termasuk ayat² rajam, ditulis dalam
lembaran yang disimpan dibawah tempat tidurnya. Sayang pada waktu
pemakaman Rasulullah, seekor binatang memakannya hingga musnah.
Disebutkan dalam bahasa Arab bahwa binatang tersebut adalah “dajin”,
yang dapat berarti hewan seperti kambing, domba ataupun unggas.
Sumber:
- Ibrahim b. Ishaq al Harbis, Gharib al hadith menyebutkan “shal” yang berarti domba• Zamakshari, al Kashaf, vol 3 p 518, footnote
- Sulaym b. Qays al Hilali, Kitab Sulaymn b. Qays, p 108
- Al Fadl b. Shadahn, al Idah, p 211
- Abd al Jalil al Qazwini, p 133
Peristiwa hilangnya ayat² Quran akibat
dimakan binatang sungguh menggelikan, menyedihkan dan memalukan, karena
ucapan ALLAH DIKALAHKAN OLEH SEEKOR KAMBING.
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (QS 15:9)
MASIHKAH UMAT MUSLIM MENGATAKAN BAHWA KEMURNIAN QURAN SENANTIASA TERPELIHARA OLEH ALLAH?
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusYg buat artikel ini asal berbicara tidak lah seperti cerita dan sejarah Islam... Memang goblok yg buat artikel ini
BalasHapus