Oleh Justus Reid Weiner
Bulan
April 2000, Afaq Ahmed Shah berusia 17 tahun mengendarai mobil penuh
dengan bahan peledak dan melaju menuju markas besar Tentara India di
Srinagar, di Jammu dan Kashmir. Ketika mobilnya dihentikan pengawal
digerbang masuk, remaja itu meledakkan bomnya yang dahsyat itu sehingga
melukai 4 orang. Shah, bersama dengan pemuda-pemuda di kawasan
bersengketa Kashmir, menghabiskan kebanyakan waktunya di Mesjidnya dan
jatuh kedalam pengaruh grup-grup teroris. Motivasi ini menjadikannya
suicide bomber pertama dalam konflik Kashmir.
Bulan Juni 2002, pemuda Palestina berusia
16 tahun bernama Issa Bdir dikirim oleh Brigade Martir Al-Aqsa untuk
melaksanakan serangan teror di Rishon Letzion didekat Tel Aviv. Setelah
mencat rambutnya pirang agar disangka orang Eropa, ia memasuki pertokoan
yang penuh orang tua dan pekerja asing dan kemudian meledakkan diri
sendiri, membunuh 2 orang Israel dan melukai 30 lainnya. Bdir merupakan
remaja termuda pertama yang sukses dalam misi bunuh diri di Israel.
Agustus 2003, 2 lelaki Muslim Kashmiri,
usia 13 dan 17 tahun, disandera diujung senapan oleh organisasi teroris
Laskar-e-Toiba (LeT, Tentara Suci). Lelaki itu adalah 2 diantara ratusan
remaja Muslim yang direkrut secara paksa dan dilatih untuk melakukan
aksi-aksi teror melawan tentara India dan penduduk sipil. Para
penyandera kemungkinan besar mengikuti perintah LeT agar desa-desa
“masing-masing menyumbang seseorang untuk direkrut organisasi itu. Kalau
tidak, mereka akan mengalami konsekwensi.”
Bulan November 2004, Amar Al-Faar,
laki-laki Palestina 16 tahun memasuki Israel lewat lobang pagar
keamanan. Ia meledakkan diri di Carmel, pasar di daerah berpenduduk
padat di Tel Aviv. Serangan pemuda ini menewaskan 4 orang Israel dan
melukai 32, 6 luka-luka parah. Al-Faar direkrut oleh anggota the Popular
Front for the Liberation of Palestine (PFLP), faksi neo-Marxist milik
PLO-nya Yasser Arafat. Ibu Al-Faar mengutuk teroris yang merekrut putera
mudanya dan mengatakan, “Tidak bermoral untuk mengirimkan orang yang
begitu muda. Mereka seharusnya mengirim orang dewasa yang mengerti arti
tindakannya.”
Baru-baru ini, keterlibatan anak-anak
dibawah umur di Palestina juga mencapai titik terendah saat lelaki
berusia 11 tahun tertangkap basah membawa 7-10 kilogram bom melewati
batasan jalan militer Israel. Pemuda ingusan ini dikirim organisasi
teroris, Fatah Tanzim, yang juga anak buah Ysser Arafat. Para teroris
memiliki 2 skenario mengerikan. Jika bom berhasil diselundupkan, ini
akan diserahkan dan digunakan oleh seorang suicide bomber untuk
memporak-porandakan sebuah daerah di Israel. Atau, kalau anak itu
tertangkap, bom yang ditentengnya akan diledakkan (berikut dirinya dan
para tentara Israel), lewat detonator yang dioperasi sebuah cell phone.
Untung, karena kesalahan teknis, bom itu tidak jadi meledak dan rencana
teroris itu gagal.
Peristiwa-peristiwa diatas ini bukan hal
aneh. Praktek pelecehan anak-anak terjadi dalam masyarakat Muslim
diseluruh dunia, yang paling nyata di Palestina, Pakistan dan Jammu
& Kashmir (J&K). India dan Kashmir tidak mampu melihat koneksi
keduanya, tapi kemiripan modus operandi antara martir-martir di
Palestina dan J&K sangat nyata. Organisasi-organisasi teroris Muslim
merekrut – kadang secara paksa – remaja-remaja ini, karena anak-anak,
seperti juga wanita, jarang dicurigai pasukan keamanan. Dalam kedua
konflik, nyawa anak-anak itu (belum lagi korban yang tidak tahu menahu)
dinilai lebih rendah ketimbang aspirasi Islam dan nasionalisme militan.
Dan sementara rekrutmen dan indoktrinasi anak-anak Muslim di Kashmir
setinggi tingkat Intifada yang menargetkan Israel; orang India yang
tinggal diareal yang dinyatakan sebagai areal Jihad Islam itu harus
sadar bahwa ancaman aliran mati syahid oleh anak-anak ini merupakan
ancaman global.
Tulisan ini mencoba menganalisa: seberapa
meluasnya bentuk pelecehan anak-anak dalam konflik Israel – Palestina
ini? Bagaimana mereka di-insipirasi? Apakah ini dapat dibenarkan dalam
konteks hukum internasional? Apa konsekwensi ‘pendidikan kebencian’ bagi
generasi berikutnya dan bagi kemungkinan perdamaian di kawasan itu?
Martir Anak-anak: Menyambut Baik Kematian
Dalam Intifada, anak-anak dan remaja
Palestina memainkan peranan penting. Anak-anak berfungsi sebagai tameng,
membakari ban mobil dan melemparkan batu guna menarik perhatian kamera
TV dan sering menyembunyikan para penembak jitu Palestina yang
bersembunyi dibelakang mereka. Mengetahui bahwa tentara Israel
diperintah untuk tidak menembaki anak-anak dengan peluru api, para
penembak Palestina bersembunyi dibelakang anak-anak di atap-atap rumah,
di gang-gang jalan dan di perkebunan. Tidak jarang, para penembak
Palestina ini menembaki punggung anak-anak itu.
Dengan meningkatnya intensitas Intifada, anak-anak Palestina semakin terlibat langsung dalam serangan teror ini, khususnya suicide bombing.
Tanggal 30 Maret, 2002, gadis Palestina
berusia 16 tahun bernama Ayat Akhras memasuki supermarket Yerusalem dan
mendetonasi bom yang disembunyikan dibawah pakaiannya, menewaskan 2
orang Israel dan melukai 22 orang lainnya.
Andaleeb Taqataqah hanya berusia 17
tahunn ketika ia direkrut kelompok teror dan dikirim untuk meledakkan
dirinya di sebuah pasar di Yerusalem tanggal 12 April 2002.
Satu minggu kemudian, 3 remaja Gaza –
Anwar Hamduna, Yusef Zakut, dan Abu Nada – mencoba menyusup lewat sebuah
pagar dengan rencana menyerang penduduk Yahudi di Netzarim, tapi
akhirnya dia ditembak pengawal.
Bulan Mei 2002, pemuda Palestina berusia 16 tahun dengan bom pada tubuhnya ditahan di sebuah perbatasan jalan di Jenin.
Bulan Juni, 2002, gadis Palestina berusia
15 tahun ditahan karena melempari bom kepada tentara Israel dan
mengakui selama interogasi bahwa ia direkrut teroris.
Maret 2004, pemuda berusia 14 tahun,
Hussam Abdu juga tertangkap di sebuah perbatasan jalan dengan bahan
eksplosif yang ditempeli di dadanya. Ia mengaku telah dibayar sekitar
uang senilai $22 US untuk melakukan suicide bombing.
Dengan operasi sukses Israel bernama
Operation Defensive Shield jumlah serangan bunuh diri berkurang secara
drastis. Tetapi perekrutan anak-anak ini tidak berhenti dan masih saja
berlangsung guna membantu berbagai kegiatan teroris seperti
menyelundupkan bahan peledak atau ditinggal pada perangkap (booby-trap)
yang dipasang teroris dan siap untuk diledakkan.
Januari, 2003, 3 remaja ingusan dikirim
oleh teroris ‘Popular Resistance Committees’ (PRC) untuk menginfiltrasi
dan menyerang masyarakat Yahudi, Elei Sinai. Mereka tewas oleh tentara
Israel.
Seminggu kemudian, 2 remaja kakak beradik
Palestina, 14 dan 17 tahun, membawa pisau, menginfiltrasi komunitas
Netzarim di Jalur Gaza. Mereka menyerang seorang anak lelaki Yahudi,
memasuki rumah dan ditembak. Keduanya ditangkap tentara Israel dan
dibawa ke rumah sakit dengan luka-luka ringan. Brigjen Yisrael Ziv,
panglima tentara di Gaza, mengatakan, “Jelas bahwa teroris tidak
mengharapkan suksesnya misi pembunuhan anak-anak ini; otak kriminal
mereka mengharapkan agar kemungkinan kematian anak-anak muda Palestina
ini akan mencoreng citra Israel.”
Maret, 2003, 2 pemuda 13 tahun ditembak
mati, salah satu menaiki kendaraan pengangkut tentara untuk mencuri
senapan, dan yang lainnya melemparkan bom Molotov. Remaja lainnya
terbakar oleh bomnya sendiri.
Walau ada orang-orang Palestina yang
menentang penggunaan anak-anak ini, suara-suara mereka tidak terdengar.
Bulan Juni 2002, Mahmud Abbas, asisten senior Arafat yang kemudian
menjadi PM untuk waktu singkat dalam pemerintahan Arafat, mengecam
taktik organisasi-organisasi Palestina di Gaza. Abbas mengatakan kepada
surat kabar Kuwait, “Saya menentang dikirimnya anak-anak kecil untuk
mati. Ini sangat mengkhawatirkan. Paling tidak 40 anak-anak di Rafah [di
Jalur Gaza] kehilangan tangan akibat melemparkan torpedo Bangalore
[semacam bom pipa]. Mereka masing-masing menerima uang senilai kira-kira
$1 US (!) untuk melemparinya.”
Nah, mengapa anak-anak ini mau
mengorbankan nyawa mereka? Siapa yang mengantar mereka kepada
peran-peran bahaya dengan motivasi memperbaiki situasi keluarganya
ataupun politik? Bagaimana tradisi kekerasan terhadap Israel menjadi
begitu berakar dalam budaya Palestina? Tujuan apa sampai memotivasi
sebuah masyarakat untuk mengorbankan anak-anak dan masa depan mereka?
Untuk
itu penting untuk mempelajari pengaruh yang ada di masyarakat Palestina
yang mengajarkan kebencian kepada anak-anak merkea dengan persetujuan
pemimpin politik, agama dan orang tua.
Penggunaan martir anak-anak juga menjadi
masalah besar di Pakistan, dimana anak-anak yang mudah dimanipulasi
diprogram untuk melakukan tujuan para ketua fundamentalis mereka. Mereka
ini dipaksa untuk melakukan operasi Jihad lewat berbagai macam cara:
mereka diculik dan nyawa mereka ataupun keluarga mereka diancam. Yang
paling umum terjadi; mereka mengalami pencucian otak bahwa Jihad adalah
cara berbakti pada Allah. Disebagian besar kasus, anak-anak ini tidak
menyadari arti ataupun konsekwensi tindakan mereka ini dan juga tidak
tahu alternatif lain.
Contoh, Mohamad Abdullah, anak berusia 17
tahun dengan temannya – keduanya anggota kelompok teroris
Lashkar-e-Toiba melancarkan serangan disebuah kompleks perumahan di
Jammu (bagian J&K yang dikuasai India). Dalam beberapa menit,
keduanya mengosongkan 4 senapan AK-47 yang masing-masing berisi 32
peluru – dan meledakkan 5 granat, menewaskan 28 orang, termasuk 8 wanita
dan 10 anak-anak. Ketika mereka ditangkap dan diinterogasi polisi
India, Abdullah mengatakan, “Saya sendiri tidak menyukai apa yang saya
lakukan tetapi atasan saya di Pakistan mengatakan, teror ini penting…
Saya diberi perintah dan melaksanakannya. Ini bukan masalah saya suka
atau tidak.” Cerita macam Abdullah ini sering terjadi di Kashmir, dimana
anak-anak Pakistan dipergunakan sebagai alat dalam aksi teror melawan
penduduk sipil India dalam konflik Kashmir.
Sumber-sumber India mengatakan, antara
2,000 dan 4,000 militan Mujahideen ada di J&K; dan 40% berasal dari
Pakistan/Afghanistan dan 80% berusia remaja.
Dalam beberapa tahun ini, taktik mereka
semakin intensif, dari peluru dan pistol kepada bahan peledak dan
komunikasi maju. Mirip dengan situasi di Israel, ini semakin
meningkatkan konflik dan jumlah korban sipil. Ini juga semakin
menyulitkan pasukan keamanan menghindari kegiatan teroris.
Mengajarkan Kekerasan Kepada Anak-anak
Koneksi antara “incitement” dengan
kekerasan nampak dalam perjanjian-perjanjian damai interim yang
ditandatangani antara Israel dan Palestina. Contoh, Perjanjian Cairo
yang ditandatangani Arafat tahun 1994, mewajibkan Penguasa Palestina
(PA) untuk “menanamkan saling pengertian dan toleransi” dan “menjauhi
ajaran kekerasan (incitement), termasuk propaganda, kebencian
[dan]…Mengambil langkah-langkah hukum untuk menghentikan ajaran
kekerasan oleh organiasi, kelompok ataupun individu manapun.” Namun,
langkah-langkah yang diambil pemimpin Palestina dan media jelas
bertujuan untuk memprovokasi anak-anak kepada kekerasan, yang
bertentangan langsung dengan perjanjian-perjanjian interim itu.
Sementara
fenomena suicide bombing di Israel biasanya diasosiasikan dengan
kelompok-kelompok radikal militant seperti Hamas dan Islamic Jihad,
sebenarnya PA – badan yang dibentuk, didanai dan diperlengkapi untuk
melaksanakan perjanjian damai Oslo – yang merupakan kekuatan utama yang
mempromosikan Shahadat, yang secara harafiah berarti “pernyataan
kepercayaan,” yang juga mencakup mati syahid/martir. Pengajaran
kekerasan dalam masyarakat Palestina diturunkan langsung dari puncak
pimpinan PA dan jelas berakar kemana-mana. Stasiun TV, radio, kotbah,
buku sekolah, surat kabar dan majalah dan bahkan kurikuler liburan
secara langsung atau tidak langsung dikuasai PA, yang menggunakan
fasilitas-fasilitas ini untuk memuja-muja mati syahid dan untuk
meyakinkan anak-anak Palestina agar turut terlibat dalam tindakan yang
dapat mengancam nyawa mereka. TV yang dikontrol PA, dengan gambar-gambar
jelas dan grafis, adalah salah satu cara media meracuni otak dan emosi
anak-anak. Gambar-gambar anak-anak yang mati atau berlumuran darah
sering ditayangkan, disusul dengan gambar-gambar anak-anak yang bermain,
sambil ditempeli slogan, “Carilah Kematian – Hidup akan Diberikan
Kepadamu.” Slogan ini juga menjadi judul sebuah laporan yang diedarkan
the Palestine Media Watch, yang secara lengkap mencatat tekanan-tekanan
yang diterapkan kepada anak-anak agar mengorbankan nyawa mereka lewat
mati syahid.
Laporan ini menunjukkan klip-klip video
dari TV yang dikuasai PA yang khusus diproduksi untuk anak-anak. Laporan
ini juga mencakup kutipan-kutipan dari buku sekolah dan kutipan-kutipan
dari guru, imam dan politisi Palestina.
Salah sebuah video klip, menunjukkan
tayangan TV, dalam 3 tahun belakangan ini: seorang bocah lelaki menulis
surat perpisahan kepada orang tuanya. “Jangan sedih dan jangan menangisi
perpisahan ini, ayahku. Bagi negara saya, saya akan mengorbankan diri.”
Anak itu nampak meninggalkan rumah dan bergabung dengan teman-temannya
dalam kerusuhan. Ia menempatkan diri didepan tentara, ia tertembak di
dada dan kemudian tubuhnya lunglai. Saat ia jatuh di tanah, kata-katanya
dinyanyikan: “Betapa manisnya mati syahid saat saya memelukmu, oh
tanahku.” Saat ibunya tampak menangis, kata-katanya dilanjutkan: “Ibuku
tersayang, berbahagialah atas kucuran darah ini dan jangan menangisi
saya.” Pesan ini jelas: inilah missi setiap anak Palestina dlm
mengkonfrontasi Israel.
Dalam klip lain, seorang anak lelaki
memainkan peran Mohammed Dura, korban anak yang paling terkenal yang
diduga kena sasaran tentara Israel saat bersembunyi dengan ayahnya dari
“tembakan Israel”. Ia tampak melambaikan tangannya pada pemirsa mudanya,
menyerukan agar mereka mengikutinya ke Surga. Ketika mereka melihat
gambar-gambar Surga dengan latar belakang pantai dan air terjun indah,
sang aktor berjalan lewat sebuah taman (an amusement park) dan
menerbangkan layangan. Katanya, “Saya tidak mengucapkan selamat tinggal,
saya melambaikan tangan untuk mengajakmu mengikuti jejak saya.” Dan
sebuah lagu melantun; “Betapa harumnya wangi martir, betapa harumnya
wangi tanah, tanah yang diperkaya dengan darah, darah yang mengucur dari
tubuh segar.”
Banyak acara-acara populer yang mendorong
mati syahid dan memuji mereka yang tewas. Acara-acara budaya pada TV
Palestina sering MEMUJA-MUJA KEKERASAN. Menurut suratkabar Israel,
Ha’aretz, “Tayangan TV termasuk lagu-lagu dan dansa-dansa yang dibarengi
foto-foto kekerasan, menekankan betapa mulianya kematian dijalan
Allah.”
Sebuah acara anak-anak Palestina berjudul
“The Children’s Club,” yang mirip “Sesame Street” AS, menyiarkan
episode dimana anak-anak lelaki dengan tangan diangkat bersorak “kami
siap dengan senjata kami; revolusi sampai menang; menang.” Pada acara
yang sama, seorang anak lelaki 8 tahun mengumumkan kepada pemirsa
anak-anak: “Saya disini untuk mengatakan bahwa kami akan melempar mereka
ke laut. Penjajah, akhiratmu sudah dekat, dan kami akan membalas
dendam. Kami akan membalas dengan batu dan peluru.”
Dalam serial TV baru-baru ini, seorang
bocah lelaki yang diwawancarai berteriak, “Mereka harus memberi kita
senjata api, kami sendiri, anak-anakmu, anak-anak lelaki dan perempuan
akan bertempur. Berilah kami senjata; senjatalah yang harus mereka
berikan kepada kami, kami tidak akan meninggalkan satupun Yahudi, tidak
satupun Yahudi disini.”
Bahkan iklan-iklan TV Palestina mendesak
anak-anak untuk meninggalkan mainan mereka dan sebaiknya memungut batu
dan bergabung melawan Israel.
Dalam sebuah program camping remaja yang
diorganisasikan PA, wartawan New York Times menyaksikan program latihan
penculikan para pemimpin Israel, memasang dan melengkapi senapan
Kalashnikov dan belajar bagaimana mengadakan serangan mendadak. Para
peserta diberikan seragam kamuflase dan senapan-senapa imitasi. Mereka
belajar berbaris dan infiltrasi, berbaring sambil melaju melewati
halangan-halangan. Mabuk oleh kemungkinan diakui sebagai pahlawan dan
mati syahid, tanpa dibarengi emosi matang, anak-anak muda ini mudah
dimotivasi untuk mengorbankan nyawa mereka.
Arafat sendiri memanggil anak-anak
Palestina “para jendral batu-batu/the generals of the stones,” yang
semakin membakar semangat kebanggaan dan ego muda mereka. Berbicara
kepada pemirsa lewat TV Palestina, Arafat menyebut nama Faris Ouda,
seorang lelaki 14 tahun yang mati syahid dan memuja-mujanya sebagai ikon
agar menjadi contoh. Sambil disambut sorak sorai dan gegap pempita
auditorium penuh dgn anak-anak, Arafat mengatakan: “Kalian adalah
kawan-kawan Faris Ouda! Salah seorang dari kalian, laki-laki atau
perempuan, akan mengangkat bendera Palestina diatas tembok-tembok
Yerusalem, Mesjidnya dan Gereja-gerejanya… Maju bersama keYerusalem!”
Dan anak-anak menyahut: “Jutaan shahid berbaris ke Yerusalem!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar