Oleh Ohmyrus
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”
Saya percaya bahwa jaman dulu (sama
seperti di negara² dunia ketiga saat ini), bunga pinjaman menjadi beban
yang membuat melarat orang² yang sudah miskin. Alasannya biasanya karena
ada satu atau dua orang kaya (biasanya pemilik tanah) disuatu dusun
yang meminjamkan uang, yang membuat si peminjam semakin miskin karena
bunga pinjaman yang bertumpuk² dan tidak dapat mengembalikannya.
VS Naipaul, dalam bukunya, “India: A Wounded Civilization”, menggambarkan seorang tuan tanah yang menjadi lintah darat. Tulisnya:
VS Naipaul, dalam bukunya, “India: A Wounded Civilization”, menggambarkan seorang tuan tanah yang menjadi lintah darat. Tulisnya:
“Dan didusun ini, suku bunga naik begitu tinggi, sampai 10 persen lebih sebulan, sehingga hutang itu—sekali diterima—si penghutang tidak akan pernah bisa membayarnya kembali.”
Orang yang dia lukiskan adalah seorang
kepala dusun yang juga seorang tuan tanah, sebuah figur yang lebih
penting bagi kehidupan penduduk dusun disitu dibanding dengan pemerintah
pusat. Rumahnya selalu penuh dengan hasil panen. Ini memberinya
kekuasaan. Para penghuni dusun yang tidak dapat membayar menjadi tenaga
kerja gratis baginya. Mereka malah menaruh hormat mendalam pada tuan
tanah ini.
Tidak ada sesuatupun yang terjadi didalam
dusun tanpa restunya. Dia dianggap orang baik karena menyediakan
makanan bagi penduduk dusun jika ada kelaparan/kekurangan pangan. Tapi
orang ini memperalat kekuasaan yang ia punya. Malah utk membayar utang,
penduduk dilaporkan menjual anak² mereka kedalam prostitusi.
Oleh karena itu, larangan terhadap
riba/bunga itu bisa dibenarkan. Tapi bagi kalian yang skeptis dengan
‘nabi’ Muhammad, kalian bisa dengan mudah menemukan motif terselubung
dibalik larangan bunga itu. Misalnya: mungkin si tuan tanah menjadi
semacam Robin Hood dengan tujuan mencari pengikut.
Sama seperti pemerintah pusat yang kadang
melihat para lintah darat ini sebagai penghalang rencana pembangunan
mereka, nabi juga mungkin melihat bahwa rencananya terhalang oleh grup
lintah darat ini. Dia mungkin tidak suka berbagi kekuasaan dengan
siapapun. Terserah mana motivasi yang kalian lebih suka. Tapi apapun
alasan aslinya, dijaman ini larangan terhadap bunga pinjaman ini sudah
kadaluarsa.
Dulu akar masalahnya adalah: sedikitnya
golongan peminjam uang sehingga mereka bisa memonopoli pinjaman uang
dengan suku bunga tinggi karena tidak ada saingan. Orang kaya terdekat
atau kepala dusun terdekat berjarak 3 jam dari mereka. Para penduduk ini
sebagian besar buta huruf dan tidak sadar akan adanya sumber keuangan
lain.
Tapi dunia modern sekarang ini tidak
kekurangan kreditor/peminjam uang. Jika satu bank bunganya terlalu
tinggi, kalian bisa pergi ke bank lain. Uang mengalir antar benua dari
peminjam ke penghutang dengan sekali sentuh tombol komputer. Suku bunga
yang kau bayar sangat kompetitif dan tidak dinaikkan secara semena-mena
oleh situasi yang dimonopoli satu pihak tertentu saja.
Tapi muslim masih juga pusing
menyesuaikan kebutuhan dunia modern yang sering konflik dengan iman
mereka. Hasilnya adalah bangkitnya Islamic Banking yang dimulai di Dubai
1975 dan saat ini menjadi industri bernilai US $200 milyar. Islamic
Banking tidak dimulai untuk melayani kebutuhan keuangan tapi untuk
memenuhi kebutuhan religius. Teorinya, islamic banking harus bekerja
seperti berikut:
Depositor menyimpan uangnya di bank yang
oleh bank kemudian diberikan kepada para pebisnis dengan imbalan
pembagian keuntungan (atau kerugian). Keuntungan (atau kerugian) ini
disalurkan pada depositor. Bunga mungkin dilarang, TAPI keuntungan
tidak. Jadi apa perbedaan antara bunga dan keuntungan?
Kunci perbedaannya adalah: bunga itu
tetap dan pasti, sedangkan keuntungan bisa naik atau turun, tergantung
iklim bisnis. Jadi makin sukses suatu proyek, semakin banyak bank akan
mendapat untung dan menyalurkan keuntungan ini ke depositor. Ini disebut
Profit/Loss Scheme (PLS) dan dianggap adil menurut para
cendekiawan muslim. Tidak membagi keuntungan dengan bank dan depositor
dianggap tidak adil.
Tapi, rencana ini punya kelemahan besar.
Ingat, semakin tinggi keuntungan, semakin tinggi resikonya. Cacat yang
utama adalah bank dan depositor harus membagi risiko dari kegagalan
proyeknya, yang mana dalam kasus yang terburuk bisa mengakibatkan
hilangnya seluruh simpanan. Depositor itu bisa jadi seorang pensiunan
yang tidak mau mengambil risiko. Dia cuma ingin yakin uangnya aman dan
cukup puas dengan keuntungan (dengan kata lain ‘bunga’) yang kecil dari
simpanannya di bank.
Jika dia rela mengambil risiko tinggi
dengan harapan mendapat keuntungan besar, sudah ada instrumen lain bagi
penanaman uangnya itu. Dia bisa membeli saham secara langsung atau
melalui trust funds. Jika dia pikir George Bush akan berperang
melawan negara² Poros Setan, dia dapat membeli saham perusahaan
kontraktor pertahanan seperti McDonald Douglas. Jika dia pikir
masyarakat semakin doyan sex dan perbuatan maksiat, dia bisa membeli
saham pabrik kondom.
Jadi bagi klien yang ingin keuntungan
tinggi, Islamic banking mubazir saja karena klien² ini sudah terlayani
dengan baik oleh sistim perbankan lain. Dan bagi mereka yang hanya ingin
menyimpan jumlah uangnya dan cukup puas dengan suku bunga rendah,
Islamic banking PUN tidak mampu melayani kebutuhan mereka.
Kenapa? Karena bagi klien² ini, lebih
aman menyembunyikan uang mereka dibawah bantal agar modal mereka tetap
utuh karena Islamic banking tidak dapat menjamin bahwa jumlah modal
mereka akan tetap! Kelompok orang ini cuma perlu keluar uang untuk
membeli racun atau perangkap tikus agar lembaran uang mereka dibawah
bantal itu tidak dilahap tikus. Entah kenapa, islam cenderung membawa
orang² kembali ke abad 7. Jangan heran!
Masalah lain dengan PLS adalah bahwa:
pebisnis lihai yang meminjam uang dari sebuah islamic bank akan ENGGAN
untuk melaporkan keuntungannya kepada bank tersebut. Lebih untung
baginya untuk melaporkan sebuah kerugian. Dengan cara itu, ia tidak
perlu membagi keuntungannya dengan bank.
Dapatkah kau lihat ironinya? Dibawah
sistem keuangan kafir, manajer yang serakah dan curang melaporkan
keuntungan saat mereka sebenarnya rugi, jadi mereka mendapat uang dari
pembagian keuntungan tersebut.
Dibawah sistem keuangan dunia Islam yang
menakjubkan ini, pebisnis curang akan mencoba melaporkan kerugian, saat
sebenarnya mereka untung. Ini dapat dilakukan dengan sedikit hitung²an
akunting. Saya kasih contoh sederhana:
Misal pemilik perkebunan korma perlu uang
untuk membeli tahi onta untuk pupuk. Bank meminjamkan uang dengan
imbalan pembagian keuntungan. Dia pakai uang itu untuk beli tahi onta
dari pedagang tahi onta yang sebenarnya iparnya sendiri dengan harga
yang ditinggikan. Ini akan menaikkan biaya². Dia tidak mendapat
keuntungan dari penjualan kormanya karena dia membeli tahi kelas F
(menurut laporan akuntingnya) dan bukan kelas A. JADI dia tidak
berhutang pada bank, karena perkebunannya rugi, PADAHAL ia bagi uang itu
dengan iparnya.
Ngertikah kau sekarang ?
Nah, untuk mencegah penipuan macam ini,
setiap islamic bank harus punya pengetahuan mendetail mengenai bisnis
yang mereka masuki dan punya peran dalam manajemennya. Dalam kasus ini,
bank harus mampu membedakan tahi kelas A dan tahi kelas F. Dalam
praktek, hal ini mustahil dilakukan oleh bank! Bahkan jika mereka
bisapun, mereka tidak punya tenaga manusia untuk mengawasi keputusan²
manajemen. Dalam sistem bank konvensional, bank biasanya tidak terlibat
dalam manajemen perusahaan.
Trik Akunting lainnya yang dapat dilakukan untuk mengurangi nampaknya keuntungan adalah sebagai berikut:
- Early recognition of expenses. Pengakuan dini akan pengeluaran
- Late recognition of revenues. Pengakuan lama akan keuntungan
- Change from FIFO accounting to LIFO accounting
- Shortened amortization/depreciation periods Amortisasi/periode depresiasi yang lebih pendek
- Reporting bogus revenues. Etc Melaporkan keuntungan² palsu…
Dalam praktek, bank2 islam sadar akan
masalah rawan ini. Sebuah laporan dari the Institute of Islamic Banking
and Insurance menyatakan:
“Ketika merancang sebuah sistim
alternatif bagi bunga bank ini, disadari bahwa sistem PLS ini mengandung
risiko dan bahaya serius bagi islamic bank karena kecenderungan yang
meluas dalam praktek² akunting yang tidak etis utk menyembunyikan
keuntungan yang sebenarnya…”
Dalam prakteknya, kebanyakan yang disebut
islamic banking tidak benar2 didasarkan pada sitem PLS. Karena
depositor dan bank tetap saja mendapat fixed return/kembalian uang yang tetap dari uang simpanan mereka. Instrumen2 keuangan yang umum itu adalah:
- Muradaha (Cost-plus sale).
- Deferred payment sales
- Purchase with deferred delivery
- Leasing
- Loans with a service charge
Yang paling penting adalah Muradaha. Cara
kerjanya: Bank, atas permintaan klien, membeli sejumlah barang dan
menjual barang tersebut kepada kliennya dengan keuntungan tetap/fixed profit
(baca: bunga) tanpa melihat sukses atau gagalnya bisnis si klien.
Pembayaran dapat sekaligus atau beberapa kali dalam sekian tahun. Risiko
satu²nya bagi bank adalah jika klien tidak menghormati perjanjian untuk
melunasi hutangnya itu—yahhh, sama seperti bank konvensional.
Walau bisnis kliennya untung atau tidak,
dia berhak untuk meminta “keuntungan” tetap. Jadi, intinya tidak ada
perbedaan dengan sistim keuangan konvensional. Sama juga dengan
instrumen² bank lainnya. Seluruh islamic banking sebenarnya adalah
‘penipuan diri’.
Cendekiawan muslim, Hakim Taqi Usmani berkata:
“Islamik bank memakai instrumen Muradaha dalam rangka kerja standar seperti LIBOR (London Interbank Offered Rate) dll. dimana hasil bersih tidak berbeda dari transaksi yang berdasarkan bunga.”
“Islamik bank memakai instrumen Muradaha dalam rangka kerja standar seperti LIBOR (London Interbank Offered Rate) dll. dimana hasil bersih tidak berbeda dari transaksi yang berdasarkan bunga.”
Dia menambahkan:
“Saat orang² sadar bahwa hasil bersih transaksi dalam islamic bank sama dengan transaksi dengan bank biasa, mereka akan ragu² atas fungsi islamic bank. Dengan begitu, sulit untuk menjual konsep islamic banking kepada klien, khususnya non-muslim yang merasa bahwa ini cuma pelintiran/kebohongan dokumen² saja.”
“Saat orang² sadar bahwa hasil bersih transaksi dalam islamic bank sama dengan transaksi dengan bank biasa, mereka akan ragu² atas fungsi islamic bank. Dengan begitu, sulit untuk menjual konsep islamic banking kepada klien, khususnya non-muslim yang merasa bahwa ini cuma pelintiran/kebohongan dokumen² saja.”
Dengan jujur pula, Institute of Islamic Banking and Insurance menulis:
“Kalau masalah ini berkelanjutan, banyak muslim akan meragukan feasibility, praktek dan kegunaan dari ‘Islamic Banking” meskipun sebenarnya kesalahan ada pada kita dan bukan pada sistemnya.”
“Kalau masalah ini berkelanjutan, banyak muslim akan meragukan feasibility, praktek dan kegunaan dari ‘Islamic Banking” meskipun sebenarnya kesalahan ada pada kita dan bukan pada sistemnya.”
Saya pribadi pikir sebaiknya muslim
mengaku kesalahan ada pada sistem dan bukan pada diri mereka. Mereka
harus berhenti mengelabui diri sendiri dan mengakui bahwa bunga bank
adalah bagian dari dunia modern dan tidak dapat dilarang. Tapi untuk
mengatakan itu, sama saja dengan mengakui bahwa sistem mereka cacat dan
dengan begitu seluruh bangunan islam akan runtuh. Terlalu menyakitkan
untuk melakukan itu dan kalian mungkin akan dituduh murtad atau menghina
Islam. Jadi muslim akan terus membenturkan kepala mereka ke tembok
mencoba memaksakan berfungsinya islamic banking. Itu sebuah Mission Imposible.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar