Saat itu aku berusia 18 tahun dan pergi bersama teman Belandaku dari Eilat di Israel ke kota Sharm-el-Sheikh, Mesir, di tepi Laut Merah.
Kami berdua adalah pelajar² yang hampir tak punya uang sama sekali.
Kami tidur di dipan² dan mendapatkan banyak keramahan dari masyarakat Mesir, yang sertamerta mengajak kami minum teh.
Aku ingat dengan jelas bagaimana kesan
pertamaku atas Mesir: Aku sangat kagum dengan keramahan, persahabatan,
dan pertolongan masyarakat Mesir.
Aku juga ingat kesan keduaku yang kuat akan Mesir: Aku kaget melihat orang² ramah tamah dan bersahabat ini begitu penuh ketakutan.
Saat itu kami sedang berada di Sharm el-Sheikh, dan kebetulan Presiden Mubarak berkunjung ke tempat itu.
Aku ingat rasa takut yang melanda kota itu ketika diumumkan bahwa Mubarak akan datang tiba². Aku melihat mobil² hitam datang di hari kunjungannya dan rasa takut mencekam kuat seperti angin dingin bertiup di hari musim panas yang sangat panas.
Ini adalah pengalaman yang aneh; Mubarak
itu bukanlah tiran Islam yang terkejam, tapi rasa takut masyarakat Mesir
awam akan pemimpinnya begitu jelas terasa bahkan oleh diriku juga. Aku
membayangkan bagaimana perasaan masyarakat Saudi jika Rajanya berkunjung
ke kota mereka, atau bagaimana perasaan masyarakat Libya jika Kaddafi
datang, atau bagaimana perasaan masyarakat Irak jika Saddam Hussein
lewat di depan mereka. Beberapa tahun kemudian, aku membaca Qur’an yang
menerangkan di abad ke 7 M bagaimana rasanya berada di sebelah Muhammad
yang menurut beberapa ayat “memasukkan rasa teror (takut) di hati
mereka” (Qs 8:12, 8:60, 33:26, 59:12).
Dari Sharm el-Sheikh, aku dan temanku
pergi ke Kairo. Kota ini sangat miskin dan luar biasa kotornya. Kami
kaget melihat kemiskinan dan kejorokan tempat ini yang merupakan
tetangga Israel, yang negerinya sangat bersih. Kami bertanya pada bangsa
Arab tentang kemiskinan mereka, maka jawaban mereka adalah bukan salah
mereka sama sekali mengapa mereka itu miskin dan terbelakang. Mereka
berkata bahwa mereka adalah korban konspirasi global “imperialis” dan
“Zionis” yang bertujuan membuat Muslim miskin dan terbelakang. Kupikir
penjelasan mereka sangat meragukan. Instingku mengatakan mestinya hal
ini berhubungan dengan perbedaan budaya Israel dan Mesir.
Aku berbuat kesalahan di Kairo. Kami tak
punya uang dan aku sangat haus. Orang bisa beli segelas air dari warung
air umum. Air itu tampaknya kotor, tapi aku minum saja. Setelah itu aku
kena diare hebat. Aku pergi ke penginapan murah yang menyediakan tempat
di ujung ruangan seharga $2 sehari. Di situ aku berbaring untuk beberapa
hari, berdesakan dengan sepuluh orang lainnya di ruangan yang bau. Dulu
Mesir ini adalah negara berbudaya termaju di seluruh dunia. Mengapa kok
lalu mandeg dan tak berkembang bersama dengan masyarakat dunia lainnya?
Di akhir tahun 1890-an, Winston Churchill
adalah seorang prajurit dan penulis perang di India British (yang
sekarang jadi Pakistan) dan Sudan. Churchill adalah pemuda berpengamatan
tajam, di mana pengalamannya selama beberapa bulan di Pakistan dan
Sudan membuatnya mampu melihat dengan kritis bahwa masalah masyarakat
Muslim terletak pada Islam dan “ajaran agamanya yang terkutuk.”
“Selain rasa fanatik gila… terdapat pula
sikap pasrah dan ketakutan yang fatal,” tulisnya. “Efeknya jelas tampak
di banyak negara. Kebiasaan yang royal, menghamburkan duit bagaikan tak
peduli hari depan, sistem agrikultur yang teledor, teknik² dagang yang
melempem, dan kegelisahan akan barang milik di mana pun umat Nabi
berkuasa atau hidup… Hukum Muhammad menetapkan bahwa setiap wanita
dimiliki seorang pria, sebagai barang milik yang absolut, tak peduli
apakah wanita itu adalah seorang anak, istri, atau budak sex. Perbudakan
akan terus berlangsung sampai Islam tidak berkuasa lagi diantara umat
Muslim… Setiap Muslim bisa saja punya bakat dan kecerdasan besar —tapi
pengaruh Islam telah melumpuhkan perkembangan sosial bagi masyarakat
yang memeluknya.” Dan Churchill menyimpulkan: “Tiada ideologi apapun,
selain Islam, yang bisa membuat suatu masyarakat begitu mandeg/mundur di
dunia ini.”
Ada orang² yang mengatakan aku membenci
Muslim. Aku tidak benci Muslim. Aku merasa sedih melihat Muslim dirampok
jatidiri dan kehormatannya oleh Islam. Pengaruh Islam pada Muslim
tampak jelas melalui bagaimana mereka memperlakukan kaum perempuan
mereka. Pada tanggal 11 Maret, 2002, lima belas murid perempuan Saudi
mati sewaktu mereka berusaha melarikan diri dari sekolah yang terbakar
di kota suci Mekah. Api telah melahap gedung sekolah. Para murid
perempuan berlarian ke pintu² gerbang yang ternyata dikunci. Kunci²
pintu disimpan oleh penjaga sekolah yang adalah Muslim (pria), dan
Muslim ini tidak mau membuka pintu karena para murid perempuan tidak
mengenakan cadar penutup muka dan burka, dan ini bertentangan dengan
hukum Saudi.
Para murid wanita yang “tak berpakaian
pantas” ini jadi panik ingin menyelamatkan nyawa mereka yang masih muda.
Polisi² Saudi malah menggebuki mereka untuk kembali ke gedung yang
tengah terbakar. Para polisi moral Mutawin “Commission for the Promotion
of Virtue and the Prevention of Vice” (Komisi Promosi Moral dan
Pencegah Maksiat”) juga memukuli orang² yang sedang lewat dan anggota
pemadam kebakaran yang mencoba menolong murid² perempuan itu. “Dosa
mendekati mereka,” begitu kata para polisi pada orang² yang mencoba
menolong. Hal ini bukan saja dianggap dosa, tapi juga melanggar hukum
negara.
Nyawa para gadis² muda itu tidak dihargai
Islam; Qur’an mengatakan bahwa lahirnya anak perempuan mengakibatkan
wajah ayah jadi hitam pekat dan penuh kesedihan:
Qs 43:16-17
Patutkah Dia mengambil anak perempuan dari yang diciptakan-Nya dan Dia mengkhususkan buat kamu anak laki-laki.
Padahal apabila salah seorang di antara mereka diberi kabar gembira dengan apa yang dijadikan sebagai misal bagi Allâh Yang Maha Pemurah; jadilah mukanya hitam pekat sedang dia amat menahan sedih.
Patutkah Dia mengambil anak perempuan dari yang diciptakan-Nya dan Dia mengkhususkan buat kamu anak laki-laki.
Padahal apabila salah seorang di antara mereka diberi kabar gembira dengan apa yang dijadikan sebagai misal bagi Allâh Yang Maha Pemurah; jadilah mukanya hitam pekat sedang dia amat menahan sedih.
Meskipun begitu, kejadian kebakaran
sekolah perempuan di Mekah itu mendatangkan banyak reaksi marah. Islam
itu tak berperikemanusiaan; tapi umat Muslim adalah manusia, yang mampu
mengasihi – kemampuan mengasihi inilah yang dibenci Muhammad. Humanitas
unggul di kalangan para ayah Mekah yang marah atas kematian para
putrinya; humanitas juga unggul dalam hati para pemadam kebakaran yang
berani melawan Mutawin yang memukuli para murid kembali ke dalam gedung
terbakar, dan humanitas juga unggul dalam hati para jurnalis Saudi yang
untuk pertama kalinya berani menulis kecaman terhadap “Commission for
the Promotion of Virtue and the Prevention of Vice” yang sangat
ditakuti.
Akan tetapi, protes² Muslim terhadap
kekejaman Islam sangat jarang terjadi. Kebanyakan Muslim, bahkan di
negara² barat sekalipun, mendatangi mesjid dan mendengarkan ayat² Qur’an
yang sarat ajaran bunuh dan khotbah² memuakkan tanpa bersikap berontak
sama sekali.
Aku adalah agnostik (tidak beragama, tapi
masih mempertanyakan keberadaan Tuhan). Tapi orang² Kristen dan Yahudi
percaya bahwa Tuhan menciptakan umat manusia berdasarkan citraNya.
Mereka percaya bahwa melalui pengamatan atas diri sendiri, sebagai
manusia yang merdeka dan mampu mengasihi, mereka dapat mengenal pencipta
mereka. Mereka bahkan bisa berdialog denganNya, seperti yang dilakukan
umat Yahudi terus-menerus sepanjang sejarah mereka. Sebaliknya, dalam
Qur’an dinyatakan “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia” (Qs
42:11). Allâh SWT itu sangat amat berbeda dengan kita semua. Sungguh
tidak bisa diterima bahwasanya Allâh SWT menciptakan manusia berdasarkan
citranya. Konsep Alkitab bahwa “Tuhan adalah Bapa umat manusia” tidak
dikenal dalam Islam. Tiada hubungan pribadi antara manusia dengan Allâh
SWT. Tujuan Islam itu adalah tunduk total pada Allâh SWT yang tak
dikenal, yang harus dilayani Muslim sepenuhnya. Selain itu, Muslim juga
harus tunduk total pada Muhammad, pemimpin negara Islam (Qs 3:31, 4:80,
24:62, 48:10, 57:28). Sejarah telah mengajarkan pada kita bahwa Muhammad
bukanlah Nabi sama sekali, dan dia juga bukan orang yang penuh kasih
dan pengampunan, tapi seorang jagal masal, tiran, dan pedofil. Muslim
tampaknya tidak bakal punya idola yang lebih jelek daripada ini.
Karena tak adanya konsep manusia merdeka,
maka tak heran mengapa dalam Islam tidak berkembang pengertian manusia
sebagai satu individu yang bertanggung jawab. Umat Muslim itu cenderung
bersikap sangat fatalistik (orang yang bermental tunduk total karena
menerima buta doktrin agama yang mengatakan semua yang terjadi telah
ditentukan sebelumnya dan tidak bisa dicegah). Mungkin – harapan kami
nih – hanya sedikit Muslim radikal yang melakukan secara serius perintah
Jihad bunuh kafir. Meskipun begitu, kebanyakan umat Muslim tidak pernah
protes melawan para radikal Muslim. Inilah “sikap pasrah dan ketakutan
yang fatal” yang disebut Churchill dulu.
Penulis Aldous Huxley, yang hidup di Afrika Utara di tahun 1920-an, menyatakan hasil penelitiannya:
“Tentang penyebab² langsung sesuatu hal – persis seperti apa yang terjadi – mereka tampaknya tak peduli sama sekali. Bahkan mereka tidak mengakui bahwa itulah penyebab² langsung, karena bagi mereka: Allâh itulah yang bertanggung jawab langsung atas segala hal. ‘Apakah kau kira akan turun hujan?’ kau bertanya pada mereka sambil menunjuk awan gelap di langit. ‘Jika Allâh menghendaki,’ itulah jawabnya. Kau lalu berjalan melalui sebuah rumah sakit lokal. ‘Apakah dokter² di RS itu bagus?’ ‘Di negara kami, kami mengatakan bahwa dokter² tak bisa apapun, sebab jika Allâh telah menentukan orang bakal mati, maka matilah orang itu. Jika waktunya belum tiba, maka dia akan terus hidup,’ jawab seorang Arab dengan gaya raja Solomon. Tampaknya hal ini begitu dipercayai oleh mereka, sehingga tak perlu dibicarakan lagi. Bagi orang² Arab Muslim, itulah pandangan yang bijaksana. Mereka – kecuali yang berpendidikan menurut pandangan Barat – telah mundur ke fatalisme jaman batu, yang penuh ketidak pedulian dan tak ada rasa ingin tahu.”
“Tentang penyebab² langsung sesuatu hal – persis seperti apa yang terjadi – mereka tampaknya tak peduli sama sekali. Bahkan mereka tidak mengakui bahwa itulah penyebab² langsung, karena bagi mereka: Allâh itulah yang bertanggung jawab langsung atas segala hal. ‘Apakah kau kira akan turun hujan?’ kau bertanya pada mereka sambil menunjuk awan gelap di langit. ‘Jika Allâh menghendaki,’ itulah jawabnya. Kau lalu berjalan melalui sebuah rumah sakit lokal. ‘Apakah dokter² di RS itu bagus?’ ‘Di negara kami, kami mengatakan bahwa dokter² tak bisa apapun, sebab jika Allâh telah menentukan orang bakal mati, maka matilah orang itu. Jika waktunya belum tiba, maka dia akan terus hidup,’ jawab seorang Arab dengan gaya raja Solomon. Tampaknya hal ini begitu dipercayai oleh mereka, sehingga tak perlu dibicarakan lagi. Bagi orang² Arab Muslim, itulah pandangan yang bijaksana. Mereka – kecuali yang berpendidikan menurut pandangan Barat – telah mundur ke fatalisme jaman batu, yang penuh ketidak pedulian dan tak ada rasa ingin tahu.”
Islam mencabut kemerdekaan umat Muslim.
Hal ini sangat disayangkan, karena orang² merdeka mampu untuk
menghasilkan karya² besar, sebagaimana yang telah ditunjukkan sejarah.
Orang² Arab, Turki, Iran, India, dan Indonesia punya potensi yang sangat
besar. Jika mereka tidak jadi budak Islam, jika mereka mampu
memerdekakan diri dari ikatan Islam, jika mereka mampu menyingkirkan
Muhammad sebagai idola mereka, dan jika mereka mampu membuang Qur’an
jahat ke tong sampah, maka mereka akan mampu untuk meraih prestasi²
besar yang tidak hanya menguntungkan diri mereka sendiri, tapi seluruh
dunia.
Sebagai orang Belanda, orang Eropa, dan
politikus Barat, tanggung-jawabku yang utama adalah bagi masyarakat
Belanda, bagi masyarakat Eropa, dan dunia Barat. Akan tetapi, karena
memerdekakan Muslim dari Islam akan juga menguntungkan kami, maka aku
sepenuhnya mendukung Muslim yang mencintai kemerdekaan (maksudnya Muslim
yang ingin merdeka —murtad dari Islam). Pesanku pada umat Muslim sudah
jelas: “Fatalisme bukanlah pilihan; “Insya Allâh” itu adalah kutukan
bagimu; Tunduk pada Islam adalah sikap yang mempermalukan dirimu.
Sumber: Muslims Debate | Faithfreedom Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar