MENINJAU ULANG PENGGUNAAN NAMA ALLAH DALAM TERJEMAHAN VERSI LEMBAGA ALKITAB INDONESIA
Oleh Pdt Teguh Hindarto
KERANCUAN TERMINOLOGIS
Lembaga
Alkitab Indonesia membedakan sebutan Allah, TUHAN dan ALLAH dalam
terjemahan kitab suci yang mereka kerjakan, sayangnya tidak memberikan
keterangan mengapa ada pemberian huruf kapital pada kata TUHAN dan
ALLAH. Namun jika kita mengkaji dengan seksama, penggunaan kata Allah
dan kapitalisasi pada kata TUHAN dan ALLAH, sangatlah rancu. Di mana
letak kerancuan tersebut? Mari kita mengkaji lebih jauh.
Saya kutipkan petikkan terjemahan Kitab Kejadian 15:1-21 versi Lembaga Alkitab Indonesia sbb:1
“Kemudian
datanglah firman TUHAN kepada Abram dalam suatu penglihatan:
"Janganlah takut, Abram, Akulah perisaimu; upahmu akan sangat besar."
Abram menjawab: "Ya TuhanALLAH, apakah yang akan Engkau berikan
kepadaku, karena aku akan meninggal dengan tidak mempunyai anak, dan
yang akan mewarisi rumahku ialah Eliezer, orang Damsyik itu." Lagi kata
Abram: "Engkau tidak memberikan kepadaku keturunan, sehingga seorang
hambaku nanti menjadi ahli warisku." Tetapi datanglah firman TUHAN
kepadanya, demikian: "Orang ini tidak akan menjadi ahli warismu,
melainkan anak kandungmu, dialah yang akan menjadi ahli warismu." Lalu
TUHAN membawa Abram ke luar serta berfirman: "Coba lihat ke langit,
hitunglah bintang-bintang, jika engkau dapat menghitungnya." Maka
firman-Nya kepadanya: "Demikianlah banyaknya nanti keturunanmu." Lalu
percayalah Abram kepada TUHAN, maka TUHAN memperhitungkan hal itu
kepadanya sebagai kebenaran. Lagi firman TUHAN kepadanya: "Akulah
TUHAN, yang membawa engkau keluar dari Ur-Kasdim untuk memberikan
negeri ini kepadamu menjadi milikmu." Kata Abram: "Ya Tuhan ALLAH, dari
manakah aku tahu, bahwa aku akan memilikinya?" Firman TUHANTUHAN,
dipotong dua, lalu diletakkannya bagian-bagian itu yang satu di samping
yang lain, tetapi burung-burung itu tidak dipotong dua. Ketika
burung-burung buas hinggap pada daging binatang-binatang itu, maka Abram
mengusirnya. Menjelang matahari terbenam, tertidurlah Abram dengan
nyenyak. Lalu turunlah meliputinya gelap gulita yang mengerikan. Firman
TUHAN kepada Abram: "Ketahuilah dengan sesungguhnya bahwa keturunanmu
akan menjadi orang asing dalam suatu negeri, yang bukan kepunyaan
mereka, dan bahwa mereka akan diperbudak dan dianiaya, empat ratus
tahun lamanya. Tetapi bangsa yang akan memperbudak mereka, akan
Kuhukum, dan sesudah itu mereka akan keluar dengan membawa harta benda
yang banyak. Tetapi engkau akan pergi kepada nenek moyangmu dengan
sejahtera; engkau akan dikuburkan pada waktu telah putih rambutmu.
Tetapi keturunan yang keempat akan kembali ke sini, sebab sebelum itu
kedurjanaan orang Amori itu belum genap." Ketika matahari telah
terbenam, dan hari menjadi gelap, maka kelihatanlah perapian yang
berasap beserta suluh yang berapi lewat di antara potongan-potongan
daging itu. Pada hari itulah TUHAN mengadakan perjanjian dengan Abram
serta berfirman: "Kepada keturunanmulah Kuberikan negeri ini, mulai
dari sungai Mesir sampai ke sungai yang besar itu, sungai Efrat: yakni
tanah orang Keni, orang Kenas, orang Kadmon, orang Het, orang Feris,
orang Refaim, orang Amori, orang Kanaan, orang Girgasi dan orang Yebus
itu kepadanya: "Ambillah bagi-Ku seekor lembu betina
berumur tiga tahun, seekor kambing betina berumur tiga tahun, seekor
domba jantan berumur tiga tahun, seekor burung tekukur dan seekor anak
burung merpati." Diambilnyalah semuanya itu bagi ."
Jika
kita perhatikan terjemahan di atas, sejumlah kata-kata khas muncul,
“Allah”, “ALLAH”, “Tuhan ALLAH”, TUHAN”. Jika seorang pengkhotbah
membacakan terjemahan tersebut dan jemaat mendengarkannya, dapatkah
para pendengar (silahkan Anda mengidentifikasikan diri sebagai
pendengar) membedakan sebutan-sebutan di atas, meskipun dibedakan dengan
huruf kapitalisasinya? Jika pengkhotbah menyebut “Tuhan ALLAH”,
dapatkah pendengar membedakan dengan ketika Sang Pengkhotbah menyebut
“TUHAN” (dengan huruf kapital semua) dan “ALLAH” (dengan huruf kapital
semua) serta “Allah” (huruf depan saja yang kapital). Saya sangat yakin,
Anda akan kesulitan untuk membedakannya, terkecuali Anda membaca
sendiri terjemahan atau teks yang dibaca tersebut.
Apakah
perbedaan antara sebutan “Allah”, “ALLAH”, “TUHAN”, “Tuhan ALLAH”
dalam terjemahan di atas. Istilah-istilah tersebut tersebar merata
dalam keseluruhan terjemahan TaNaKh oleh Lembaga Alkitab Indonesia dari
Kitab Kejadian hingga Maleakhi. Dan Untuk Kitab Perjanjian Baru, dari
Kitab Matius sampai Wahyu, hanya muncul kata “Allah” dan “Tuhan”.
Kenyataan di atas saya namakan “kerancuan nama dan terminologi
Ketuhanan”. Dalam hal ini, Lembaga Alkitab Indonesia tidak bisa
membedakan nama diri (personal name) dan nama umum (generic name).
PEMAHAMAN TERMINOLOGIS TENTANG KETUHANAN
Untuk
mendapatkan pemahaman yang tepat mengenai nama dan terminologi
Ketuhanan, maka kita harus merujuk pada teks sumber yang berbahasa
Ibrani dan Yunani serta Aramaik. Dalam bahasa Ibrani, ada beberapa
istilah Ketuhanan sbb:
אלהים
(Elohim) Jika dieja dari kanan ke kiri, “alef”, “lamed”, “heh”, “yod”
dan “mem sofit”. Elohim adalah istilah Ibrani untuk menunjukkan sesuatu
yang disembah dan dianggap berkuasa. Padanan bahasa Inggrisnya, “God”
dan padanan Arabnya, “Ilah” dan padanan Indonesianya, “Tuhan”. Kitab
Septuaginta menerjemahkan Elohim dengan sebutan θεὸς (Theos). Langkah ini diteruskan oleh naskah Greek Perjanjian Baru, yang menerjemahkan Elohim dengan Theos.
Dalam Kitab Suci, istilah Elohim, menunjuk pada Tuhan yang benar
(Ulangan 10:17) namun juga menunjuk pada tuhan asing (1 Tawarikh
16:26). Dalam Kitab Suci berbahasa Ibrani, istilah Elohim muncul
sekitar 6000 kali dan dalam Kitab Suci terjemahan Lembaga Alkitab Indonesia
diterjemahkan dengan Allah (huruf depan menggunakan kapital, Kejadian
1:1) dan allah (huruf kecil semua, Keluaran 20:3). Penerjemahan Elohim
menjadi Allah adalah tidak tepat, karena Allah adalah nama tuhan orang
Muslim (Qs 20:14, Qs 19:28).
אדני
(Adonai) Jika dieja dari kanan ke kiri, “alef”, “dalet”, “nun”, “yod”.
Istilah Ibrani Adonai, dapat disetarakan dengan “Tuan”, “Majikan”,
“Penguasa”. Padanan bahasa Inggrisnya, “Lord” dan padanan bahasa
Arabnya, Rabb. Septuaginta menerjemahkan Adonai dengan κυρίου
(Kurios). Kitab Perjanjian Baru versi Greek mengikuti langkah ini,
untuk menyebut Yahweh dengan sebutan pengganti “Kurios” dan untuk
Yahshua (Yesus) Sang Mesias. Sementara padanan Indonesianya, “Tuan”. Lembaga Alkitab Indonesia
menerjemahkan istilah “Adonai”, dengan “Tuhan”. Istilah “Adonai”,
dapat dikenakan pada Tuhan (Maleakhi 1:6) maupun manusia (Kejadian
45:9).
יהוה
(Yahweh) Dieja dari kanan ke kiri, “yod”, “heh”, “waw”, “heh”. Nama
Tuhan Yang Esa (Ulangan 6:4), Tuhan Abraham, Yitskhaq dan Yaaqov
(Keluaran 3:15), Tuhan Pencipta Langit dan Bumi (Yesaya 40:28), Bapa
Surgawi (Yesaya 64:8). Nama Tuhan tidak dapat diterjemahkan ke dalam
bahasa apapun. Namun kenyataannya, hampir keseluruhan terjemahan Kitab
Suci tidak Mencantumkan nama-Nya, melainkan menggantinya menjadi “LORD”
(Inggris), “HERR” (Belanda), “SENIOR” (Spanyol), “DOMINI” (Latin),
“RABB” (Arab) dan terjemahan Lembaga Alkitab Indonesia, dituliskan
dengan “TUHAN” (huruf kapital semua, Yesaya 42:8). Asal usul
terlupakannya nama Yahweh dimulai sejak orang Yahudi pulang dari
pembuangan Babilonia pada tahun 586 SM. Sejak itu mereka enggan menyebut
nama Yahweh dan mengganti dengan mengucapkan Adonai, saat membaca nama
Yahweh dalam Kitab Suci atau menyebutkan dalam pertemuan umum.
Kemudian pada Abad III SM, orang-orang Yahudi di Alexandria yang tidak
bisa berbahasa Ibrani, membutuhkan suatu terjemahan Kitab Suci
berbahasa Yunani. Akhirnya, atas donatur Kaisar Ptolemaus Filadhelphus,
diterjemahkanlah TaNaKh (Torah, Neviim, Kethuvim) dalam bahasa Yunani.
Nama Yahweh diterjemahkan dengan KURIOS, yang sepadan dengan ADONAI.
Nama kitab hasil terjemahan ini adalah Septuaginta. Ketika Agama Kristen
menyebar sampai ke Eropa, Asia, Amerika, Afrika dll. Diperlukanlah
suatu terjemahan Kitab Suci dalam berbagai bahasa. Demikianlah nama
Yahweh kemudian diterjemahkan dengan mengikuti tradisi Septuaginta.
Hasilnya, sebagaimana kita lihat di atas, nama Yahweh berubah menjadi
istilah-istilah spt., RABB, LORD, HERR, DOMINI, TUHAN. Benarkah nama
Yahweh tidak boleh dipanggil? Boleh! Bahkan diperintahkan. Kitab 1
Tawarikh 16:8 mengatakan, “hodu la Yahweh qiru bi shemo” yang artinya, “bersyukurlah kepada Yahweh, panggilah nama-Nya”.
Dari penjelasan di atas, kita telah melihat bahwa LAI telah menerjemahkan dengan pola sbb:
- Elohim diterjemahkan menjadi Allah (Kej 1:1) dan allah (1 Taw 16:26)
- Adonai diterjemahkan menjadi Tuhan (Mzm 16:2)
- Yahweh dituliskan TUHAN (Yes 42:8) dan ALLAH (Yekh 37:12)
- Adonai Yahweh diterjemahkan menjadi “Tuhan ALLAH” (Yes 61:1)
AKIBAT KERANCUAN TERMINOLOGI
Ketidakmengertian
terhadap sejumlah terminologi Ibrani dan kekeliruan penerjemahan atas
terminologi-terminologi tersebut, mengakibatkan kekacauan yang serius
dalam konsep Ketuhanan Iman Kristen. Kekacauan tersebut dapat kita
lihat dalam berbagai tulisan para agamana ataupun teolog Kristen ketika
menerjemahkan teks-teks teologi dari bahasa Inggris. Elmer L. Town
melalui bukunya, “Nama-nama Allah” mengatakan bahwa ada tiga nama Allah
yang utama, yaitu “Elohim”, “Yehovah” dan “Adonai”2. Demikian pula
dengan tulisan Pdt. Purwanta Rahmat, STh., yang menyatakan bahwa
nama-nama TUHAN ALLAH yaitu “YAHWE” atau “YEHOWAH”, “Elohim” dan
“Bapa”3. Kemudian DR. Peter Wongso menyatakan bahwa nama-nama ALLAH
dalam bahasa Ibrani adalah “Elohim”, “Yahweh”, “El Shaday”. Sedangkan
dalam bahasa Yunani, “Theos”, “Kurios”, “Despotis”, “Huspitos”,
“Pantokrator”4. Pendapat terakhir dari DR. Dieter Becker, “Menurut Perjanjian Lama, Allah pada dasarnya Tuhan, menurut Perjanjian Baru pada dasarnya adalah Bapa”5.
Kekacauan yang sama terjadi ketika menerjemahkan beberapa terks al., Kejadian 33:20. Kalimat, “Dia mendirikan mezbah di situ dan dinamainya itu: Allahnya Israel ialah Allah”, dalam teks Ibraninya, “wayatsev sham mizbekh wayiqra lo El, Elohe Yisrael”. Perhatikan bagaimana dalam kalimat Ibrani, ada dua bentuk penyebutan yang berbeda, yaitu El dan Elohe, namun Lembaga Alkitab Indonesia menyamakan begitu saja menjadi “Allah”. Sekarang kita fokuskan pada pengkajian kata El. Istilah El,
secara gramatikal memiliki makna “Kekuatan” atau “Yang Kuat”. Dalam
Keluaran 15:2 dikatakan “zeh Eli weanwehu Elohe avi…” (Dialah
Kekuatanku dan aku memuji Sesembahan/Tuhan bapaku…). Kemudian dalam
Ulangan 10:17 dikatakan, “ki YHWH Elohe ha Elohim, wa Adoney ha Adonim, ha El, ha Gadol, Ha Gibor we ha Nora…”
(sebab YHWH adalah Sesembahan/Tuhan diatas segala sesembahan/tuhan,
Tuan diatas segala tuan, Yang Kuat, Yang Besar, Yang Perkasa, Yang Luar
Biasa…). Dengan demikian, sebaiknya kalimat, “El, Elohe Yisrael”
dalam Kejadian 33:20 selayaknya diterjemahkan, “Yang Kuat,
Sesembahan/Tuhan Yisrael” atau “El adalah Sesembahan Yisrael”. Kata El
sendiri bukanlah menunjuk nama Sang Pencipta, melainkan sebutan yang
menjelaskan mengenai sifat Ketuhanan yang mengatasi segala sesuatu.
Kata “El”, sepadan dengan bahasa Arab “Il”. Allah, sudah menunjuk nama
Ilah (Qs 20:14, 98)
Kemudian teks Kejadian 46:3. Kalimat, “lalu firman-Nya: Akulah Allah, Allahnya ayahmu, janganlah takut pergi ke Mesir…” dalam teks Ibrani, “wayomer, Anoki ha El, Elohe avika, al tira merda Mitshrayma…” . Istilah ha El muncul kembali, sebagaimana dalam Kejadian 33:20. Istilah yang setara untuk El, dalam bahasa Arab adalah Il. Dari kata ini menjadi Ilah. Allah, sudah menunjuk nama Ilah sebagaimana dikatakan:
“Sesungguhnya
Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka
sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku” (Qs 20:40)
“Sesungguhnya Tuhanmu hanyalah Allah, yang tidak ada Tuhan selain Dia. Pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu." (Qs 20:98)
Sungguh
mengerikan dan memprihatinkan melihat kerancuan terminologi yang
bermuara pada kekacauan nama dan istilah dalam Ketuhanan. Kekristenan
Indonesia sedang dalam krisis orientasi Ketuhanan.
Sebelum
saya memperdalam kajian mengenai irelevansi penggunaan nama “Allah”
dalam terjemahan Kitab Suci TaNaKh dan Kitab Perjanjian Baru, saya akan
mengulas mengenai aneka ragam pandangan tentang siapakah Allah
tersebut.
KETIDAKJELASAN AKAR KATA DAN ASAL USUL NAMA ALLAH
Mengenai
asal-usul nama Allah itu sendiri, masih menjadi bahan perdebatan baik
dikalangan Kristen maupun Islam. Kita akan melihat sekilas pemetaan
silang pendapat mengenai asal-usul nama Allah dibawah ini.
Pandangan Islam: اللهُ (Allah) berasal dari kata Al (definite article, The) dan Ilah (generic name, God). Penyingkatan dari kata Al dan Ilah
menjadi Allah, untuk menandai sesuatu yang telah dikenal. Dalam
perkembangannya, untuk mempermudah hamzat yang berada diantara dua lam
(huruf ‘LL’), huruf ‘I’ tidak diucapkan sehingga berbunyi Allah dan
menjadi suatu nama yang khusus dan tidak berakar6. Ada pula yang
berpendapat bahwa Allah berasal dari Al Ilahah, Al Uluhah dan Al Uluhiyah
yang bermakna ibadah atau penyembahan7. Yang lain mengajukan bahwa
Allah berasal dari kata Alaha yang berarti menakjubkan atau
mengherankan karena segala perbuatannya8. Sementara ada yang
berargumentasi bahwa Allah berasal dari kata, Aliha ya’lahu yang bermakna tenang9. Kelompok pemikir dari Kufah mengatakan bahwa Allah, berasal dari Al-Lah, yang diambil dari verba noun lah
yang berasal dari kata lahaya yang bermakna menjadi tinggi10.
Sedangkan Ibn Al Arabi menyatakan bahwa Tuhan itu tidak bernama, tetapi
Dzat yang dinamakan oleh umatNya. Penamaan terhadap Tuhan, berarti
melimitasi eksistensi Tuhan11.
Pandangan Kristen : Ada yang beranggapan bahwa Allah adalah berasal dari sumber Syriac, Alaha12. Sementara yang lain berpendapat bahwa Allah berasal dari akar kata rumpun semitis El, Eloah dan Elohim serta Alaha. Bentuk Arabnya Ilah, lalu mendapat imbuhan Al yang berfungsi sebagai definite article (The God- Al Ilah-Allah)13. Kata Allah berasal dari Al dan Ilah.
Akar kata ini terdapat dalam semua bahasa semitis, yaitu dua konsonan
alif dan lam serta ucapan yang lengkap dengan huruf hidup adalah sesuai
dengan phonetik masing-masing14. George Fry dan James R. King
menyampaikan, “the name by which God is known to muslim, Allah is
generally thought to be the proper noun form of the Arabic word for
God, Ilah. Al, meaning The ini Arabic word. This word is related to the Hebrew from El and Elohim”15. J. Blau menjelaskan bahwa kata Allah adalah murni dari konteks Arab dan bukan dari sumber Syriac16.
Pada
bagian sebelumnya, telah dipaparkan kajian asal-usul nama Allah dari
perspektif historis maupun etimologis. Pada bagian ini akan kami
perdalam dengan menyaksikan tinjauan kritis mengenai akar kata nama
Allah yang dihubungkan dengan ungkapan semitik El, Eloah, Elohim (Ibr), Elah (Aram), Ilanu (Akkadian).
PENILAIAN TERHADAP AKAR NAMA ALLAH
Allah,
bukan bentukan atau kontraksi dari Al dan Ilah. Jika benar Allah
adalah kontraksi dari Al dan Ilah, mengapa logika ini tidak berlaku
untuk kata Arab lainnya seperti, Al dan Iman, mengapa tidak menjadi
Alman? Al dan Ilmu mengapa tidak menjadi Almu? Bambang Noorsena pernah
membantah dengan menyatakan bahwa kasus penyingkatan Al dan Ilah, hanya
terjadi dalam bahasa Arab17. Renungkan: mengapa penyingkatan ini
menjadi sangat istimewa pada kata Al dan Ilah?
Allah,
bukan berasal dari rumpun kata semitis El, Eloah dan Elohim. Jika
Allah adalah rumpun semitis dengan istilah Ibrani, El, Eloah dan
Elohim, maka bentuk gramatika jamak untuk Allah itu apa? Dalam
terminologi Hebraik, penjamakan kata benda, selalu digunakan akhiran im (jika gendernya maskulin) atau ot dan ah, (jika gendernya feminin)18. Kata khaykhayim (kehidupan). Kata Eloah, bentuk jamaknya Elohim. Demikian pula dalam bahasa Arab, istilah Ilah (yang sepadan dengan Eloah), bentuk jamaknya adalah Alihah
(Ilah-ilah). Adakah bentuk jamak dari Allah?19 Renungkan: Adakah tata
bahasa yang membenarkan bahwa nama diri ditulis dalam bentuk jamak? (hidup) bentuk jamaknya adalah
Dalam
Kitab Suci TaNaKh, tidak ada ditemui kata Allah dalam konotasi nama
diri. Dalam naskah TaNaKh berbahasa Ibrani, ada sejumlah kata yang
berkonotasi dengan Allah, namun sesungguhnya bukan. Contoh:
- אלה (Ala) huruf ‘h’ diakhir kata tidak diucapkan karena tidak ada titik pengeras atau dagesh forte. Artinya, “sumpah” (1 Raj 8:31)
- האלה (ha Ala) huruf ‘h’ akhir tidak diucapkan. Artinya, “pohon besar” (Yos 24:26)
- אלה (Ela) huruf ‘h’ diakhir kalimat tidak diucapkan. Artinya, “nama suatu kaum” (Kej 34:41) dan “nama raja di Israel” (1 Raj 16:6-8)
- אלהא (Elaha, Dan 5:21), אלה (Elah, Dan 2;47a), אלהין (Elahin, Dan 2:47b), adalah varian bahasa Aram yang artinya sama dengan Eloah dalam bahasa Ibrani. Baik Elah, Elaha atau Elahakhon dapat menunjuk pada terminologi Sesembahan Israel Yang Sejati atau terminologi umum untuk sesembahan diluar Israel
- אלוה (Eloah, Hab 3:3), אלהים (Elohim, Kej 1:1), artinya Tuhan. Dalam bahasa Inggris diterjemahkan God dan dalam bahasa Yunani diterjemahkan Theos.
- אל (El, Kej 33:20) artinya Yang Maha Kuat
Dalam
Kitab Perjanjian Baru, tidak ditemui kata-kata yang menunjuk pada nama
diri Allah. Ketika Yesus berteriak di kayu salib saat kematianNya, Dia
berseru: “Eli-Eli Lama Shabakhtani?” (Mat 27:46). Kata Eli, merupakan bentuk singkat dari Elohim dan AnokhiAni
(Aku). Kebiasaan menyingkat kalimat seperti ini biasa terjadi dalam
tradisi Israel. Perhatikan dalam Keluaran 15:2 yang selengkapnya dalam
naskah Hebraik: “ze Eli, weanwehu Elohei abi waaromenhu”. Kata Eli dalam ayat tersebut diartikan “Tuhanku”. Seruan “Eli-Eli lama sabakhtani” dalam Matius 27:46 dalam Kitab Suci berbahasa Arab dituliskan, إِيلِي إِيلِي لَمَا شَبَقْتَنِي (Ilahi-Ilahi limadza taroktani) dan bukan “Allahi-Allahi limadza taroktani?”. atau
KRONOLOGI HISTORIS PENGGUNAAN NAMA ALLAH DALAM TERJEMAHAN KITAB SUCI KRISTIANI
Dalam buku, Hidup Bersama di Bumi Pancasila,
diterangkan bagaimana kronologi masuknya agama Islam dan Kristen di
Nusantara20. Dijelaskan dalam buku tersebut bagaimana Islam telah lebih
dahulu masuk ke Nusantara dalam dua tahap. Tahap pertama (tidak
terlalu signifikan pengaruhnya) pada Abad VII-VIII oleh pedagang Arab
menuju Sumatera. Tahap kedua (signifikan pengaruhnya) pada Abad XIII
dibawa oleh pedagang Gujarat yang dipengaruhi mistik Persia.
Selanjutnya
Portugis yang beragama Katholik, masuk nusantara pada tahun 1512.
Kemudian berturut-turut masuk armada Belanda pada tahun 1596, yang
kemudian membentuk kongsi dagang VOC, pada tahun 1602. Karena
kebangkrutan VOC, maka sekitar tahun 1800-an, pemerintah Hindia Belanda
mulai mengambil alih kepemimpinan, termasuk masalah misi dan keagamaan.
Pada masa ini, mulailah muncul lembaga misi dan proses penerjemahan
Kitab Suci pun dimulai.
Merujuk
pada makalah DR. P.D. Latuihamalo yang dibacakan oleh DR. Katopo dalam
Sarasehan Terjemahan Alkitab mengenai kata TUHAN dan ALLAH yang
diselenggarakan di Bandung, Tgl 5 Juni 2001, kita mendapatkan informasi
sbb:21 Tahun 1629, Albert Corneliz Ruyl, seorang pegawai tinggi VOC
berpangkat Onderkoftman, menerjemahkan Kitab Injil Matius dari bahasa
Yunani kebahasa Melayu dan bahasa Belanda. Adapun transkripsi
terjemahan mengenai konsep Ketuhanan sbb:
- Theos diterjemahkan menjadi Allah (Mat 4:4)
- Iesous diterjemahkan menjadi Yesus (Mat 1:1)
- Christos diterjemahkan menjadi Christus (Mat 16:16)
- Abraam menjadi Ibrahim (Mat 1:1)
Pada tahun 1733, Melchior Lejdecker dan H.G. Klinkert pada tahun 1879 menerjemahkan dengan pola sbb:
- Theos diterjemahkan menjadi Allah (Mat 4:4)
- Iesous diterjemahkan menjadi Isa (Mat 1:1)
- Christos diterjemahkan menjadi Al Masih (Mat 16:16)
Sementara Bode menolak menggunakan nama Isa dan Al Masih, namun beliau tetap menggunakan nama Allah sebagai ganti Theos atau Elohim.
Dikarenakan dari sejak Ruyl, Lejdecker sampai Bode, tetap menggunakan
nama Allah sebagai translasi dari Theos dan Elohim, maka Lembaga Alkitab Indonesia berketetapan bahwa penggunaan nama Allah tetap sah dan relevan sebagai terjemahan untuk Theos dan Elohim. Lembaga Alkitab Indonesia,
yang berdiri sejak tahun 1954, tetap mempertahankan nama Allah yang
sudah tercantum dalam teks terjemahan kuno diatas dengan dua
pertimbangan yaitu:
- Sudah lama diterima oleh umum
- Allah, bukan dipahami sebagai nama diri tetapi sebagai nama jenis, sebagaimana Elohim, Theos, God, Deo
Selanjutnya
beliau mengatakan bahwa sejak diterjemahkannya Kitab Suci dalam bahasa
Portugis 1748-1753), sudah dipergunakan nama JEHOVAH. Pada tahun
1839, P.Janz menerjemahkan dalam bahasa Jawa dengan transliterasi
JEHUWAH. Zendeling Rinsje di tanah Batak menggunakan Djahoba. Demikian
pula di Nias, digunakan Jehofa. Sementara Lejdecker menggunakan HUWA
untuk YAHWEH dan Klinkert menggunakan HOEWA dan JEHOEWA, TOEHAN HOEWA
dan Tuhan HOEWA.
Dalam
Konferensi para penerjemah Alkitab pada tahun 1952 di Jakarta,
ditetapkanlah supaya nama HUWA ditiadakan dan diganti menjadi TUHAN.
Alasan terhadap persoalan tersebut adalah mengacu pada disertasi
doktoral DR. H. Rosin, dosen STT Jakarta, tahun 1955 di Geneva
Universiteit, bahwa empat huruf (tetragrammaton) YHWH, tidak dapat
diucapkan (unpronounceable). Karena tidak dapat diucapkan, maka petunjuk
terarah adalah dengan menggunakan huruf kapital semua, TUHAN.
Renungkan: LAI tetap mempertahankan penggunaan nama Allah dengan alasan
nama itu telah dipakai sejak Ruyl, Lejdecker, Klinkert serta Bode.
Anehnya, mengapa nama Yahweh yang telah dituliskan sejak masuknya
Portugis ke Indonesia, tidak dapat dipertahankan? Jika empat huruf YHWH
tidak dapat diucapkan, mengapa para penerjemah diatas, bahkan
penerjemah dalam bahasa daerah sudah menggunakan nama Jehovah, Jehowa,
Hoewa atau Huwa? Logiskah jika Musa, Ishak dan Yakub serta leluhur
Israel tidak dapat mengucapkan nama Yahweh, padahal mereka
berkomunikasi dengan Sang Pencipta secara audible? Jika naskah Kitab
Suci berbahasa Ibrani dapat diterjemahkan dalam berbagai bahasa,
mengapa nama Yahweh tidak dapat dituliskan? Bagaimana mungkin ada
bahasa yang tidak dapat diterjemahkan dan ditransliterasikan? Dengan
alasan apa Sang Pencipta memberitakan namaNya yang abstrak?
MEMPERTIMBANGKAN DOKUMEN 193922
Tahun 1896, telah beredar Injil dalam bahasa Melayu dengan judul WASIYAT YANG BEHAROE: ijaitoe Segala Kitab Perdjanjian Jang Beharoe ataw Indjil Toehan kita ISA AL MASIH. Kitab ini dicetak di Amsterdam, Belanda.
Tahun 1940, akhirnya dimunculkan revisi kitab dengan jududl muka, KITAB PERDJANJIAN BAHAROE,
diterjemahkan dari bahasa Grika kepada bahasa Melayoe, dikeloearkan
oleh Belandja British and Foreign Bible Society, London-National Bible
Society of Scotland Edinburg-Nederlandsch Bijbel genootschap,
Amsterdam. Kitab ini dicetak di Semarang, Jawa Tengah, Indonesia. Pada
kata pengantar kitab terbitan tahun 1940, terlampir pandangan komite
penyalin yang menuliskan pandagannya pada tahun 1939 di Sukabumi. Dalam
kata pengantar tersebut, ada empat hal yang menarik untuk dicermati.
Keterlibatan asisten Melayu Islam dalam Komite Penyalin (dok, hal 1)
“Maka
bagi maksud itoe, sedia ditetapkanja pada akhir tahoen 1930 soetaoe
Comite Penjalin di Soekaboemi, yang sedang mengerdjakan salinan baharoe
itoe dibawah pimpinan…dan berganti-ganti doea oerang assistant Melajoe
djati dari tanah Melajoe…”
Kesukaran dalam penerjemahan dan kebutuhan untuk koreksi tanpa batas (dok, hal 2)
“Maka
ta’dapaat tiada pembatja telah paham akan kesoekaran Comite Penjalin
itoe mengadakan persatoean bahasa bagi pengertian yang am. Oleh sebab
itoe djoega dipinta kepada pembatja yang insaf akan mengingatkan segala
toentoetan terdjemahan yang sukar itu”.
Allah, nama Tuhan (dok. Hal 3)
“Karena
ma’na Toehan menoeroet perasaan orang Arab dan orang Melajoe djati
ialah Allah. Demikian djuga menurut djalan bahasa Arab dan logat
Melajoe djati, adalah perkataan Allah itoe boekanja sedjenis nama yang
dinamakan, seperti pada perasaan disebelah barat tentang perkataan God.
Oleh jand demikian maka perkataan Allah yang bersamboeng dengan koe,
moe, nja, dengan toedjoean poenja, itoe bersalahan dengan perasaan
orang Melajoe yang diloear golongan Keristen”
Ketergantungan pada bahasa Arab Melayu (dok. Hal 5)
“Kadang-kadang
penjalin terpaksa menggoenakan bahasa Melajoe, sebab tiada ada kata
Melajoe djati yang boleh mensifatkan pengertian ataw toedjoean nas asli
dengn sebetul-betulnya”
Dari
eksposisi historis diatas, dapat kita menyimpulkan bahwa penggunaan
nama Allah yang tercantum dalam Kitab Suci TaNaKh maupun Kitab
Perjanjian Baru, sebenarnya bermula dari proses penerjemahan dengan
melalui suatu adopsi sesembahan orang Melayu yang beragama Islam.
Proses adopsi tersebut, bukan didasarkan pada suatu pemahaman teologis
yang mendalam, melainkan hanya didasarkan pada proses kontekstualisasi
semata, tanpa mengkaji dan mempertimbangkan bahwa nama Allah bukanlah
istilah pengganti yang tepat untuk Elohim, Theos atau God. Kita juga
melihat bagaimana sejumlah perbendaharaan bahasa Indonesia masih sangat
terbatas dan terus mengalami perkembangan sehingga mengalami kesukaran
dalam penerjemahan yang mengakibatkan banyak meminjam unsur Arab.
Berlandaskan kenyataan diatas, terjemahan Kitab Suci yang ada bukanlah
hasil karya yang harus dikeramatkan, melainkan karya terjemahan yang
harus terus diselaraskan secara relevan dengan perubahan zaman.
End Notes:
1 Alkitab Elektronik 2.0.0, ALKITAB TERJEMAHAN BARU, 1974
2 Yogyakarta, ANDI Offset 1995, hal 9
3 Katekismus Baru, Yogyakarta: TPK Gunung Mulia, 1992, hal 51
4 Doktrin Tentang Allah, Malang: Sekolah Alkitab Asia Tenggara, 1991, hal 9-13
5 Pedoman Dogmatika, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993, hal 53
6 DR. Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi, Lentera Hati, 1998, hal 3-9
7 Ibid
8 Ibid
9 Ibid
10 DR. Djaka Soetapa,
Penterjemahan Kata Yahweh dan Elohim menjadi TUHAN dan Allah dalam
Perspektif Teologi Islam, hal 2 (Makalah disampaikan pada Sarasehan
Terjemahan Alkitab Mengenai Kata TUHAN dan ALLAH, PGPK, Bandung, 5 Juni
2001)
11 DR. Kautzar Azhari Noer, Tuhan Kepercayaan [Artikel Koran Jawa Pos, 23 September 2001
12 Arthur Jefrey, The Foreign Vocabulary of the Qur’an, Baroda:Oriental Institute, 1938, p.66
13 Bambang Noorsena, Mengenai Kata Allah, Institute for Syriac Christian Studies, Malang, 2001, hal 9
14 Olaf Schumman, Keluar dari Benteng Pertahanan, Rasindo, hal 172-174
15 George Fry and James R. King, Islam: A Survey of The Muslim Faith, Baker Book House, 1982, p.487
16 Arabic Lexicographical, Miscelani, 1972, p. 173-190
17 Op.Cit., Mengenai Kata Allah, hal 16-17
18 DR. D.L. Baker, Pengantar Bahasa Ibrani, BPK 1992, hal 89
19 Teguh Hindarto, STh., Kritik dan Jawab Terhadap Efraim Bambang Noorsena, SH.BAHANA No 09, 2001, hal 13) (Artikel di Majalah
20 Bambang Ruseno Oetomo, PSAK, 1993, hal 33-35
21 Latar Belakang Historis Terjemahan LAI Mengenai Nama: YHWH=TUHAN;Elohim=Allah, PGPK, hal 1-3
22 Redefinisi dan Rekonsepsi Nama Allah dan Urgensi Penggunaan Nama Yahweh Dalam Komunitas Kristen, Disampaikan pada Forum Panel Diskusi Di Auditorium Duta Wacana-Yogyakarta, Tgl 20 Oktober 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar