Al-Quran menekankan: “Allah (Tuhan) itu Esa (Q.S.112:1). Tetapi Ke-Esaan-Nya bukanlah satu hal yang numerikal. Ini adalah atribut personal dari-Nya. Islam menyatakan Ke-Esa-an mutlak dari Dzat Ilahi dan menjatuhkan pukulan maut terhadap segala bentuk politeisme termasuk tiga dalam satu atau satu dalam tiga (Trinitas) yang adalah numerikal. Ke-Esa-an Dzat Ilahi dalam Islam berarti tak suatupun yang dapat dibandingkan dengan Dia. Satu dari numerikal itu bisa dibandingkan dengan dua atau tiga atau empat dan dia mempunyai pecahan 1/2,1/3,1/4 dan seterusnya. Ada dua kata Arab yang berbeda yakni ‘wahid’ dan ‘ahad’; wahid untuk satu yang numerikal tetapi ‘ahad’ adalah yang tidak punya pecahan dan tak satupun yang bisa dibandingkan atau paralel dengan-Nya.
Zarathustra (Zoroaster) menyatakan: ‘Dia adalah Esa tetapi bukannya satu dari bilanagan’ (Nama Shat Vakhshur Zarthusht Dasatir halaman 69).
Al-Quran menekankan: “Tak ada satupun yang menyerupai Dia” (Q.S.112:4). Zoroaster menyatakan: Dia tak punya suatupun yang menyerupaiNya. (Nama Shat Vakhshur Zarthusht Dasatir halaman 69).
Al-Quran menekankan: “Tak ada sesuatu yang seperti Dia” (Q.S. 42:11). Zoroaster menyatakan: Tak suatupun yang mirip dia.(Dasatir halaman 70).
Al-Quran menekankan: “Allah ialah yang segala sesuatu bergantung kepada-Nya. Ia tak berputera, dan tak diputerakan” (Q.S.112:2-3). Zarathustra menyatakan: Dia tanpa asal atau akhir, tanpa sekutu, musuh, prototip, kawan, ayah, ibu, isteri, putera, tempat tinggal, jasad, atau bentuk, dan tanpa warna serta indera. (Dasatir halaman 71).
Al-Quran menekankan: “Dia Yang menciptakan segala sesuatu, lalu menentukan ukurannya”(QS.25:2). Zoroaster menyatakan: “Dia memberi kehidupan dan kehadiran dari segala sesuatu”(Dasatir halaman 3).
Al-Quran menekankan: “Penglihatan tak dapat menjangkau Dia, dan Dia menjangkau (semua) penglihatan, dan Dia itu Yang Maha-tahu, Yang Maha-waspada (Q.S. 6:104) dan hanya dapat dilihat dengan mata ruhani. Zarathustra menyatakan: “Tiada mata bisa melihatNya ataupun tenaga fikiran bisa menangkap-Nya.” (Dasatir hal.68).
Al-Quran tidak saja membuat pernyataan, melainkan juga memajukan alasannya. Dzat yang meliputi semua penglihatan, dan yang pada saat yang sama adalah Dia yang canggih dalam pemahaman serta tak terbatas. Tuhan tak dapat ditangkap dengan mata fisik. Dia itu Yang Ghaib. Fakta ini juga dinyatakan dalam dasatir “Katakan ke dunia bahwa Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata wadag beberapa mata yang lain diperlukan untuk menangkap-Nya” (Dasatir halaman 107).
Al-Quran menekankan: Materi dan jiwa itu tidak kekal seperti Dia: “Yang menciptakan segala sesuatu, lalu menentukan ukurannya”(Q.S. 25:2). “Dia ialah Yang Pertama, dan Yang Terakhir, dan Yang Tersembunyi, dan Ia Yang Maha-mengetahui”(Q.S. 57:3). Zarathustra menyatakan: Engkau adalah yang paling Awal, tak suatupun sebelum Engkau” (Dasatir hal.66).
Al-Quran menekankan: “Dan kedudukan yang paling luhur di langit dan di bumi adalah kepunyaan Dia” (Q.S. 30:27). Zarathustra menyatakan: “Dia itu di atas segala sesuatu yang dapat kaubayangkan” (Dasatir hal.33).
9. Al-Quran menekankan: “Janganlah putus asa dari rahmat Allah” (Q.S. 39:53). Zarathustra menyatakan: “Janganlah kecewa atas kebaikan dan rahmat-Nya” (dasatir halaman 33).
Al-Quran menekankan: “Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya” (Q.S. 50:16). Zarathustra menyatakan: “Kami lebih dekat kepadamu daripada dirimu sendiri” (Dasatir hal.122).
Al-Quran menekankan: “Dan tiada yang tahu balatentara Tuhan dikau selain Dia!”(Q.S.74:31). Zarathustra menyatakan: “Malaikat itu tiada terbilang” (Dasatir halaman 6).
Al-Quran menekankan: “Dan sesungguhnya ia(Jibril) menurunkan Quran dalam hati engkau dengan izin Allah” (Q.S. 2:97). Zarathustra menyatakan: “Tuhan berfirman kepada Adam kata dari Tuhan adalah yang diwahyukan malaikat ke dalam hatimu” (Dasatir hal.37).
Al-Quran menekankan: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berbuat baik, mereka memperoleh jamuan taman Firdaus” (Q.S.18:107). Zoroaster menyatakan: “Bila seorang dengan amalan yang baik meninggalkan tubuhnya ini maka Aku akan mengirimkan dia ke Surga” (Dasatir halaman 13).
Al-Quran menekankan: “Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa berada di Taman dan air mancur. Masuklah di sana dengan damai, aman. Dan Kami akan mencabut apa yang ada dalam hati mereka berupa dendam-kesumat (sehingga mereka) seperti saudara, (duduk) di sofa berhadap-hadapan. Di sana mereka tak akan terkena lelah, dan mereka tak akan diusir dari sana”(Q.S. 15:45-48). Zoroaster menyatakan: “Para penghuni Surga akan memperoleh melalui kasih-sayang Tuhan, semacam tubuh yang tiada akan lelah ataupun menjadi tua ataupun sesuatu yang kotor, akan bisa msuk ke dalamnya” (Dasatir hal.9). “Mereka akan hidup selamanya dalam tempat tinggal yang penuh kebahagiaan” (Dasatir halaman 13).
Al-Quran menekankan: (Neraka) “Di sana mereka tak akan merasakan kesejukan dan tak (merasakan pula) minuman. Kecuali air mendidih dan air yang keliwat dingin”.(Q.S. 78:24). Zoroaster menyatakan: “Penghuni neraka akan tinggal di sana selamanya, mereka akan disiksa baik dengan panas menyengat maupun dingin menggigil” (Dasatir halaman 38).
Disamping itu, kita dapati dalam Dasatir, perintah mengenai sikap kesatria, kesucian perkimpoian, menepati janji, larangan terhadap miras, pemotongan rambut terhadap kelahiran anak, membersihkan tubuh dengan mandi, wudhu dan tayammum dan sebagainya.(5)
Tiga macam cara turunnya wahyu Ilahi digambarkan dalam sebuah rukyah di dalam keadaan antara mimpi dan jaga serta waktu sedang terjaga. (Nama Shat Vakhshur Zartusht, 5-7). Dua jenis perintah (menentukan dan kiasan) (Nama Shat Vakhshur Zartusht, 5-7). Seorang nabi diperlukan untuk memaksakan hukum semacam itu yang setiap orang harus mematuhinya (Nama Shat Vakhshur Zartusht hal.5). Manusia itu saling bergantung dan mereka siaga membutuhkan hukum Ilahi yang hisa diterima semuanya, yang dapat mencabut tirani, kebohongan dan buruk-sangka serta memberikan kedamaian dan harmoni ke dunia. Para pembawa syariah ini harus seorang yang mendapat ilham Ilahi sehingga semua orang bisa tunduk kepadanya”.(Nama Shat Vakhshur Zartusht, halaman 45-49).
Menyangkut pengakuan terhadap seorang nabi, Zarathustra berkata:
“Mereka bertanya kepadamu bagaimana mereka bisa mengenali seorang nabi dan mempercayai kebenaran apa yang dikatakannya; mengatakan kepada mereka apa yang diketahuinya yang orang-orang lain tidak tahu, dan dia akan memberitahumu bahkan apa yang tersembunyi dibalik fitrahmu; dia akan bisa menyatakan padamu apa yang kautanyakan dan dia akan memperagakan perkara yang orang lain tak dapat memperagakan” (Ibid halaman 50-54).
Ketika para sahabat Nabi Suci, menyerbu Persia dan berhubungan dengan umat Majusi serta mempelajari ajaran-ajarannya, mereka seketika berkesimpulan bahwa Zarathustra (Zoroaster) itu sungguh seorang Nabi yang menerima wahyu Ilahi. Jadi mereka menyesuaikan perlakuannya kepada umat Majusi sebagai “Ahli Kitab” yang lain. Meskipun nama Zoroaster itu tidak terdapat dalam Quran Suci, tetap dia dianggap sebagai satu dari para nabi yang tidak disebut dalam al-Quran, karena ada suatu ayat dalam Kitab Suci ini yang berfirman:
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus para Utusan sebelum engkau; sebagian mereka ada yang Kami kisahkan kepada engkau, dan sebagian dari mereka ada yang tak Kami kisahkan kepada Engkau” (Q.S. 40:78).
Sesuai dengan itu kaum Muslimin memperlakukan pendiri agama Majusi (Zoroastrianisme) sebagai seorang nabi yang benar dan mempercayai agamanya seperti yang telah mereka lakukan kepada kredo samawi yang lain, dan karenanya sesuai dengan nubuatan ini, melindungi agama Majusi. James Darmestar telah sejujurnya mencatat hal ini dalam terjemah Zend Avesta:
“Pada waktu Islam mengasimilasi umat Zoroastrian menjadi Ahli Kitab, ini mengungkap perasaan sejarah yang jarang terjadi dan memecahkan masalah asal-usul dari Kitab Avesta”.(6)
4. Atharva Veda, 15:6.12.6 11:7.24.7. Dalam Bundahish ditulis: “Ahur Mazda pertama membuat langit dan kemudian cahaya dunia, kedua air, ke tiga bumi, ke empat tanaman, ke lima hewan, ke enam manusia, 1:21.28). Adanya manusia dari Mashya dan Mashyoi hingga datangnya ‘Saoshyant’ berlangsung hanya 6000 tahun, Ibid. 4/1,15.1 Encyclopaedia of Religion and Ethics, jilid I halaman 209.
5. Wudhu, dalam agama Majusi itu sama seoerti dalam al-Quran: Yakni pada pagi hari ketika bangun tidur pertama-tama perlu membersihkan tangan dengan sesuatu setelah itu mereka mencuci tangan sebersih-bersihnya dengan air, dengan cara sedemikian hingga mereka membersihkan tangan tiga kali dari siku sampai ujung jari, dan muka dari belakang telinga hingga di bawah dagu.
Tayammum yakni ketika air tak ditemukan atau kiranya bisa merugikan dirimu dengan mengambil tanah yang suci dan menghapus wajah dan tangan dengan debu. 6. Sacred Books of the East jilid 24 halaman 337.
James Darmestar, Introduction to Vendidad hal.69.
http://nabimuhammad.info/2010/06/muh...dasatir-15-19/
sumber :
http://www.africanwater.org/religion.htm
http://www.newworldencyclopedia.org/...Zoroastrianism
http://www.religionfacts.com/zoroastrianism/index.htm
saya amat menantikan sumber2 lain yang pro atau kontra dan harus bersifat historikal bukan pendapat or tafsir. karena pengetahuan ini "meresahkan"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar