Wa’alaikum salam wr. wb.
Alhamdulillah
sehat, terima kasih. Pertanyaan sangat bagus sekali. Dalam keyakinan
agama Islam, sebagaimana sama-sama kita ketahui, para ulama sepakat
bahwa Nabi Isa as tidak meninggal dibunuh atau disalib, sebagaimana
firman Allah yang akan saya jelaskan di bawah nanti.
Apakah
Nabi Isa as telah meninggal dunia? Terdapat perbedaan pendapat di
kalangan para ulama. Jumhur ulama berpendapat bahwa Nabi Isa as belum
meninggal dunia, ia diangkat oleh Allah ke langit, dan nanti ketika
menjelang Kiamat tiba, Allah akan menurunkannya kembali untuk melawan
dan membunuh Dajjal. Hal ini berdasarkan banyak hadits yang menjelaskan
hal itu, yang menurut para ulama, haditsnya mencapai mutawatir.
Sedangkan
menurut sebagian kecil ulama lainnya, Nabi Isa as telah meninggal
dunia. Namun, ia meninggal bukan karena dibunuh atau disalib, tetapi
diwafatkan oleh Allah seperti yang lain. Penjelasannya, akan saya coba
kupas di bawah nanti.
Kini, mari kita lihat
ayat yang dimaksudkan oleh saudara kita, Bapak Pendeta tadi. Ayat
tersebut ada dalam surat Ali Imran (surat ketiga), ayat 55. Bunyinya
adalah sebagai berikut:
إِذْ قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَى إِنِّي مُتَوَفِّيكَ وَرَافِعُكَ إِلَيَّ وَمُطَهِّرُكَ مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا
Dalam ayat di atas, Allah menggunakan kata mutawaffîka, yang diambil dari kata wafat yang salah satu artinya adalah mati. Departemen Agama RI menerjemahkannya sebagai berikut:
“Ingatlah
ketika Allah berfirman: "Hai Isa, sesungguhnya Aku akan menyampaikan
kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku serta
membersihkan kamu dari orang-orang yang kafir".
Lalu apa yang dimaksud dengan kata: ‘mutawaffîka’ dalam ayat di atas? Apakah betul berarti meninggal dunia?
Imam
ath-Thabari, al-Qurthubi dan Ibnu Katsir, menukil banyak pendapat para
ulama seputar maksud kata dimaksud. Secara umum, penulis dapat
mengelompokkannya sebagai berikut:
Pendapat pertama, mengatakan bahwa arti dari kata ‘wafat’ dalam ayat di atas adalah tidur (an-naum). Maksud ayat di atas menurut pendapat ini: “Sesungguhnya Aku menidurkanmu dan mengangkatmu ke langit ketika kamu tidur”.
Jadi, pendapat pertama mengatakan, bahwa Nabi Isa as tidak meninggal
dunia, hanya ditidurkan oleh Allah, lalu diangkat ke langit ketika ia
tidur.
Pendapat ini berhujjah, di antaranya, karena kata ‘wafat’ dalam al-Qur’an juga digunakan untuk maksud tidur (an-naum), misalnya seperti dalam firman Allah di bawah ini:
وَهُوَ الَّذِي يَتَوَفَّاكُمْ بِاللَّيْلِ وَيَعْلَمُ مَا جَرَحْتُمْ بِالنَّهَار [الأنعام [6]: 60]
Artinya:
“Dan Dia lah yang menidurkan kamu di malam hari dan Dia mengetahui apa
yang kamu kerjakan di siang hari” (QS. Al-An’am [6]: 60).
Dalam ayat di atas, Allah menggunakan kata ‘wafat’ dan yang dimaksudkan adalah tidur, bukan wafat meninggal dunia.
Dalam ayat lain pun demikian, misalnya dalam surat az-Zumar ayat 42 di bawah ini:
اللَّهُ يَتَوَفَّى الأنْفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا
Artinya: “Allah
memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang
belum mati di waktu tidurnya” (QS. Az-Zumar [39]: 42).
Dalam ayat di atas, Allah juga menggunakan kata ‘wafat’ untuk maksud meninggal dunia dan tidur.
Lebih jelas lagi, apabila kita melihat doa yang diajarkan Rasulullah saw ketika bangun dari tidur di bawah ini:
الْحَمْدُ لله الَّذِي أحْيَانَا بَعْدَمَا أمَاتَنَا وإلَيْهِ النُّشُورُ
Artinya:
“Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami setelah mematikan
kami (maksudnya tidur), dan hanya kepadaNya lah akan dibangkitkan”.
Dari pemaparan di atas, jelas bahwa kata ‘wafat’ dalam bahasa Arab mempunyai banyak arti, di antaranya berarti tidur (an-naum).
Lalu
pertanyaannya, mengapa kata ‘wafat’ dalam ayat 55 surat Ali Imran
tersebut, diartikan dengan tidur, bukan dengan meninggal dunia?
Hal
ini karena dalam ayat lain, Allah menegaskan secara jelas, bahwa Nabi
Isa as itu tidak meninggal dunia, tidak dibunuh, juga tidak disalib.
Perhatikan ayat-ayat dimaksud:
وَبِكُفْرِهِمْ
وَقَوْلِهِمْ عَلَى مَرْيَمَ بُهْتَانًا عَظِيمًا * وَقَوْلِهِمْ إِنَّا
قَتَلْنَا الْمَسِيحَ عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ رَسُولَ اللَّهِ وَمَا
قَتَلُوهُ وَمَا صَلَبُوهُ وَلَكِنْ شُبِّهَ لَهُمْ وَإِنَّ الَّذِينَ
اخْتَلَفُوا فِيهِ لَفِي شَكٍّ مِنْهُ مَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِلَّا
اتِّبَاعَ الظَّنِّ وَمَا قَتَلُوهُ يَقِينًا * بَلْ رَفَعَهُ اللَّهُ
إِلَيْهِ وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا
Artinya:
“Artinya: “Dan karena kekafiran mereka (terhadap Isa) dan tuduhan
mereka terhadap Maryam dengan kedustaan besar (zina). Dan karena ucapan
mereka: "Sesungguhnya kami telah membunuh Al Masih, Isa putra Maryam,
Rasul Allah, padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula)
menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan
dengan Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham
tentang (pembunuhan) Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang
dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh
itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin
bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa. Tetapi (yang sebenarnya), Allah
telah mengangkat Isa kepada-Nya, dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana” (QS. An-Nisa [4]: 156-158).
Dalam
ayat di atas, Allah secara tegas mengatakan bahwa orang-orang Yahudi
tidak membunuh Nabi Isa as dan tidak pula menyalibnya, tapi yang mereka
bunuh dan salib itu adalah orang yang diserupakan dengan Nabi Isa as.
Allah mengangkat Nabi Isa ke langit, untuk diturunkan lagi kelak ketika
kiamat sudah dekat, untuk membunuh Dajjal yang sudah diturunkan
sebelumnya, sebagaimana dijelaskan dalam banyak hadits shahih yang
mencapai mutawatir.
Bahkan, dalam ayat ke 159 nya Allah lebih tegas lagi mengatakan:
وَإِنْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ إِلَّا لَيُؤْمِنَنَّ بِهِ قَبْلَ مَوْتِهِ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكُونُ عَلَيْهِمْ شَهِيدًا
Artinya:
“Tidak ada seorangpun dari ahli kitab, kecuali akan beriman kepadanya
(Isa) sebelum kematiannya” (QS. An-Nisa [4]: 159).
Ibnu
Katsir ketika menafsirkan ayat di atas mengatakan, bahwa dhamir dari
kata ‘mautih’ (sebelum kematiannya), kembali kepada Nabi Isa as. Jadi
maksud ayat di atas, lanjutnya: “Tidak ada satupun ahlul kitab
kecuali akan beriman kepada Nabi Isa as, sebelum Nabi Isa as meninggal
nanti. Yaitu, ketika Allah menurunkannya ke muka bumi sebelum kiamat
tiba. Pada saat itu, seluruh ahlul kitab akan mengimaninya, karena ia
akan menetapkan tebusan, dan ia tidak menerima kecuali agama Islam” (Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, Manshurah: Maktabah al-Îmân, 1996, 2/28).
Di tempat lain Ibnu Katsir juga mengatakan:
“Sebelum kematiannya’, maksudnya adalah sebelum kematian Nabi Isa as.
Ini menunjukkan bahwa seluruh ahlul kitab akan membenarkannya ketika
diturunkan untuk membunuh Dajjal, sehingga seluruh agama menjadi satu,
yaitu hanya agama Islam, agamanya Nabi Ibrahims as” (Ibid., 2/ 281).
Pendapat pertama ini, menurut Ibnu Katsir adalah pendapat jumhur mufassirin, kebanyakan para ulama (Ibid., 2/28).
Pendapat kedua
mengatakan, bahwa kata ‘wafat’ dalam ayat di atas maksudnya adalah
menggenggam (al-qabdh) dalam keadaan hidup dan mengangkat, bukan dalam
pengertian meninggal dunia. Hal ini karena kata ‘wafat’ dalam bahasa
Arab juga dipergunakan untuk makna menggenggam (al-qabdh) dalam keadaan
hidup. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam bahasa Arab:
توفيت مالي من فلان أي قبضته
Artinya: “Aku mewafatkan hartaku dari si fulan, maksudnya adalah aku menggenggamnya”.
Jadi
maksud ayat di atas, menurut pendapat kedua, sebagaimana disampaikan
Imam ath-Thabari, adalah: “ Aku menggenggammu dari bumi dalam keadaan
hidup untuk di bawa ke sisiKu. Dan Aku membawamu ke sisiKu tanpa
dimatikan terlebih dahulu. Aku juga mengangkatmu dari orang-orang
musyrik, dan orang-orang yang mengingkarimu” (Jâmi’ul Bayân fî Ta’wîlil
Qur’ân, Kairo: Maktabah Taufiqiyyah, T.th, 3/314).
Pendapat
ini adalah pendapatnya Hasan al-Bashri, Abu Ja’far, Ibnu Juraij, juga
pendapat para ulama lainnya, termasuk Imam ath-Thabari (Ibid., 3/316)
dan Imam al-Qurthubi. Imam al-Qurthubi juga mengatakan bahwa pendapat
ini adalah pendapat shahih nya Ibnu Abbas juga ad-Dhahak (Al-Jâmi’ Li
Ahkâmil Qur’ân, Kairo: Maktabah Taufiqiyyah, T.th., 4/90).
Pendapat
ini juga berdalil karena dalam banyak hadits yang derajatnya sampai
mutawatir Rasulullah saw menegaskan bahwa Nabi Isa as kelak di akhir
zaman akan diturunkan ke bumi untuk membunuh Dajjal. Ia akan tinggal di
bumi beberapa lamanya, yang diperdebatkan oleh para ulama berkaitan lama
tinggalnya tersebut, kemudian Nabi Isa setelah itu meninggal dunia, dan
dishalatkan oleh orang-orang muslim, juga dikuburkannnya (Tafsîr
ath-Thabari, 3/315).
Pendapat ketiga
mengatakan, bahwa kata ‘wafat’ dalam ayat di atas adalah wafat dalam
pengertian meninggal dunia. Pendapat ini dinisbahkan kepada pendapatnya
Ibnu Abbas.(Tafsîr Ibn Katsir, 2/28).
Menurut
pendapat ini, Allah mematikan Nabi Isa beberapa saat, yaitu selama tiga
jam pada siang hari sebagaimana menurut Wahab bin Munabbih sebagaimana
dikutip Imam al-Qurthubi, lalu Allah menghidupkannya kembali dan
mengangkatnya ke langit. (Tafsîr al-Qurthubî, 4/89).
Hanya
saja, pendapat ini, menurut Imam al-Qurthubi adalah pendapat yang jauh
dari kebenaran (Ibid.). Bahkan, Syaikh Muhammad al-Amîn asy-Syanqithî
dalam tafsirnya mengatakan pendapat ini termasuk berita israiliyyat, di
mana Rasulullah saw melarang membenarkannya atau mendustakannya (Mulhaq
Adhwâil Bayân Fî Îdhâh al-Qurân Bil Qur’ân, Kairo: Dârul Hadîts, 2006,
10/31).
Pendapat ini juga dibantah oleh Abu
Ja’far, sebagaimana dinukil Ath-Thabari dalam tafsirnya (3/316), bahwa
kalau Allah betul-betul mematikannya, maka tidak mungkin makhluk yang
sudah dimatikan, akan dimatikan yang kedua kalinya. Karena dengan
demikian, akan berkumpul dua kematian, sementara Allah menegaskan bahwa
manusia itu diciptakan, kemudian dimatikan, kemudian dihidupkan kembali,
sebagaimana dalam firmanNya di bawah ini:
اللَّهُ الَّذِي خَلَقَكُمْ ثُمَّ رَزَقَكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ
Artinya:
“Allah-lah yang menciptakan kamu, kemudian memberimu rezki, kemudian
mematikanmu, kemudian menghidupkanmu (kembali)” (QS. Ar-Rûm [30]: 40).
Pendapat keempat
mengatakan, bahwa ayat dimaksud adalah termasuk dari bagian disebutkan
pertama tapi artinya diakhirkan, dan disebutkan terakhir, tapi artinya
didahulukan (minal muqaddam alladzî ma’nâhu at-ta’khîr, wal mu’akhkhar
alladzî ma’nâhu at-taqdîm) (Tafsîr ath-Thabari, 3/315).
Menurut
pendapat ini, kata râfi’uka dan muthahhiruka didahulukan secara
artinya, baru kemudian mutawaffîka, sekalipun dari susunan yang
tertulis,mutawaffîka lebih dahulu baru râfi’uka dan muthahhiruka.
Jadi
maksud ayat di atas adalah: “Ketika Allah berkata: ‘Wahai Isa,
sesungguhnya Aku akan mengangkatmu ke sisiKu, juga akan mensucikanmu
dari orang-orang kafir, dan aku akan mematikanmu setelah Aku
menurunkanmu ke bumi”. (Tafsîr ath-Thabari, 3/315).
Dan
hal ini sesuatu yang biasa dalam bahasa Arab. Bahkan, dalam al-Qur’an
pun terdapat seperti ini, yaitu seperti dalam ayat berikut:
وَلَوْ لا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَبِّكَ لَكانَ لِزاماً وَأَجَلٌ مُسَمًّى
Artinya:
“Dan sekiranya tidak ada suatu ketetapan dari Allah yang telah
terdahulu atau tidak ada ajal yang telah ditentukan, pasti (azab itu)
menimpa mereka” (QS. Thaha [20]: 129).
Dalam
ayat di atas, kata ‘lizâman’ disebutkan lebih dahulu dari pada kata ‘wa
ajalum musammâ’. Namun maksud juga artinya, ‘wa ajalum musammâ’ lebih
didahulukan dari pada kata ‘lizâma’, karena ia athaf (mengikuti) kepada
kata sebelumnya yaitu kata ‘kalimatun’. Karena itu, dalam mengartikannya
pun ia lebih didahulukan dari kata ‘lizâman’, sebagaimana nampak dalam
arti di atas.
Pendapat kelima mengatakan,
bahwa kata ‘mutawaffîka’ dalam ayat di atas adalah betul-betul
meninggal dunia. Menurut pendapat ini, Nabi Isa as sudah meninggal
dunia, namun meninggalnya bukan karena dibunuh atau disalib, tapi wafat
biasa. Dan nanti, di akhir zaman, ia akan dihidupkan kembali oleh Allah
untuk diturunkan ke dunia.
Pendapat yang
mengatakan bahwa Nabi Isa as telah wafat di antaranya adalah Imam
az-Zamakhsyary. Dalam tafsirnya al-Kasysyâf ‘an Haqâiq at-Tanzîl Wa
‘Uyûn al-Aqâwîl Fî Wujûh at-Ta’wîl (Kairo: Maktabah Mishr, T.th., 1/323)
ia mengatakan:
{
إِنّي مُتَوَفّيكَ } أي مستوفي أجلك. معناه: إني عاصمك من أن يقتلك الكفار؛
ومؤخرك إلى أجل كتبته لك.ومميتك حتف أنفك لا قتيلاً بأيدهم، { وَرَافِعُكَ
إِلَىَّ } إلى سمائي ومقرّ ملائكتي
Artinya:
“Sesungguhnya Aku mewafatkanmu’, maksudnya adalah mewafatkan usiamu.
Maknanya: Sesungguhnya Aku menjaga dan melindungimu dari upaya
pembunuhan orang-orang kafir, dan menangguhkan usiamu, sampai waktu yang
telah Aku tetapkan kepadamu. Dan Aku mewafatkanmu dengan kematian
seperti biasa, bukan karena dibunuh oleh tangan-tangan mereka. ‘Dan Aku
mengangkatmu ke sisiKu’ maksudnya ke langitKu dan ke tempat para
malaikatku”.
Pendapat ini kemudian ditentang oleh Imam al-Buqâ’i dalam tafsirnya, ketika menafsirkan ayat di atas, mengatakan:
وأما قول الزمخشري : .... فلا ينبغي الاغترار به لأنه مبني على مذهب الاعتزال من أن القاتل قطع أجل المقتول المكتوب
Artinya:
“Adapun perkataan az-Zamakhsyari….(di atas), jangan sampai tertipu
dengannya, karena pendapatnya itu bersandar kepada pemahaman Madzhab
Mu’tazilah bahwa pembunuh dapat memutuskan ajal terbunuh yang sudah
ditetapkan”.
Hanya saja, hemat penulis,
bantahan Imam al-Buqa’i, ini terlalu berlebihan. Karena yang berpendapat
bahwa Nabi Isa as meninggal pun, juga dikutip oleh Imam ar-Razi dalam
tafsirnya, at-Tafsîr al-Kabîratau Mafâtîh al-Ghaib(Kairo: Maktabah
Taufiqiyyah, T.th., 8/64) seperti di bawah ini:
واختلف
أهل التأويل في هاتين الآيتين على طريقين أحدهما: إجراء الآية على ظاهرها
من غير تقديم، ولا تأخير فيها، والثاني : فرض التقديم والتأخير فيها.
أما الطريق الأول فبيانه من وجوه:
الأول:
معنى قوله {إِنّي مُتَوَفّيكَ} أي متمم عمرك، فحينئذ أتوفاك، فلا أتركهم
حتى يقتلوك، بل أنا رافعك إلى سمائي، ومقربك بملائكتي، وأصونك عن أن
يتمكنوا من قتلك وهذا تأويل حسن
والثاني :
{مُتَوَفّيكَ} أي مميتك، وهو مروي عن ابن عباس، ومحمد بن إسحاق قالوا:
والمقصود أن لا يصل أعداؤه من اليهود إلى قتله، ثم إنه بعد ذلك أكرمه بأن
رفعه إلى السماء،
ثم اختلفوا على ثلاثة أوجه
أحدها : قال وهب : توفي ثلاث ساعات، ثم رفع، وثانيها: قال محمد بن
إسحاق:توفي سبع ساعات، ثم أحياه الله ورفعه، الثالث: قال الربيع بن أنس:
أنه تعالى توفاه حين رفعه إلى السماء.
Artinya:
“Para ahli tafsir berbeda pendapat tentang dua ayat ini kepada dua
pendapat. Pendapat pertama, memahami ayat tersebut secara zhahirnya,
tanpa taqdîm atau ta’khir. Pendapat kedua, mentaqdirkan adanya taqdim
dan ta’khir, (yaitu kata mutawaffîka yang disebutkan pertama, artinya
dibaca terakhir setelah râfi’uka dan muthahhiruka, yang dari segi urutan
setelah mutawaffîka, sebagaimana telah penulis jelaskan di atas).
Adapun
pendapat pertama (yang memahami berdasarkan zhahirnya), penjelasannya
ada beberapa pemahaman. Pertama, maksud: ‘innî mutawaffîka’ adalah
menyempurnakan umurmu, lalu jika saatnya tiba, aku mewafatkanmu. Aku
tidak membiarkan mereka membunuhmu, akan tetapi Aku mengangkatmu ke
langitKu, dan mendekatkanmu dengan para malaikatKu. Aku juga menjagamu
dari upaya pembunuhan mereka. Ta’wil ini adalah ta’wil yang bagus.
Kedua,
‘mutawaffîka’ maksudnya adalah betul-betul mematikanmu. Pendapat ini
diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Muhammad bin Ishak. Mereka berpendapat:
Maksud ayat tersebut adalah musuh-musuh Nabi Isa yang merupakan
orang-orang yahudi tidak dapat membunuhnya, kemudian setelah itu, Allah
memuliakannya dengan mengangkatnya ke langit.
Mereka
lalu berbeda pendapat, kepada tiga pendapat: Pertama, Wahab bin
Munabbih berkata: “Nabi Isa diwafatkan selama tiga jam, kemudian baru
diangkat”. Kedua, Muhammad bin Ishak berkata: “Nabi Isa as diwafatkan
selama tujuh jam, kemudian Allah menghidupkannya kembali dan
mengangkatnya (ke langit). Ketiga, ar-Rabi’ bin Anas berpendapat: Allah
mewafatkan Nabi Isa as, ketika diangkat ke langit”.
Bahkan,
jika kita membuka tafsir Muhammad at-Thâhir Ibnu ‘Asyûr, at-Tahrîr wat
Tanwîr, sepemahaman penulis dari apa yang dipaparkannya, ia cenderung
mengatakan bahwa Nabi Isa as telah meninggal dunia.
Menurutnya,
ketika menafsirkan ayat di atas, dalam bahasa Arab, katamutawaffîka,
secara zhahir artinya adalah mewafatkanmu (mumîtuk). Dengan bahasa lain,
kata wafat dalam bahasa arab, makna hakikinya adalah meninggal dunia,
wafat.
Sedangkan, kata ‘wafat’ diartikan
tidur, adalah arti secara kiasan (majâz), bukan arti sebenarnya.
Menurutnya, mengartikan kata wafat dalam ayat di atas dengan tidur
kepada Nabi Isa as, kurang tepat. Karena, jika Allah bermaksud
mengangkatnya, tidak mesti Nabi Isa as harus tidur dulu. Karena dengan
demikian, tidur menjadi pelantara diangkat ke langit, dan tidak layak
diberikan perhatian dengan menyebutkannya, sementara di sisi lain
meninggalkan menyebutkan inti atau maksud utamanya (At-Tahrîr wat
Tanwîr, Tunisia: Dâr Suhnûn, T.th., 3/258). Perhatikan perkataan Ibu
Asyur di bawah ini:
وحملُها
على النوم بالنسبة لِعيسى لا معنى له؛ لأنهُ إذا أراد رفعَه لم يلزم أن
ينام؛ ولأنّ النوم حينئذ وسيلة للرفع، فلا ينبغي الاهتمام بذكره، وترك ذكر
المقصد
Demikian juga Ibnu Asyur
membantah pendapat yang mengatakan bahwa kata ‘wafat’ dalam ayat di atas
diartikan diangkat (al-qabdh war raf’u) dari dunia. Menurutnya,
pengertian ini adalah pengertian mengada-ngada dalam bahasa Arab tanpa
ada sandaran dalil yang kuat. Karena itu, Ibnu Abbas dan Wahab bin
Munabbih mengatakan bahwa kata ‘wafat’ dalam ayat di atas maksudnya
adalah wafat meninggal dunia (wafâtu maut).
Dan
pemahaman ini juga, lanjutnya, sesuai dengan zhahir perkataan Imam
Malik yang mengatakan bahwa: Nabi Isa as wafat pada usia tiga puluh satu
(31) tahu. Lalu Ibnu Rusyd dalam kitabnya al-Bayân wat
Tahshîlmengatakan: “Boleh jadi perkataan Imam Malik: “Bahwa Nabi Isa
wafat pada usia tiga puluh tiga (33) tahun itu, dalam pengertian
sebenarnya (yaitu meninggal dunia), bukan dalam pengertian kiasan, majâz
(Ibid.)
Berikut penulis kutipkan perkataan Ibnu Asyur dimaksud:
فالقول
بأنها بمعنى الرفع عن هذا العالم، إيجاد معنى جديد للوفاة في اللغة بدون
حجة، ولذلك قال ابن عباس، ووهب بن منبه: إنها وفاة موت، وهو ظاهر قول مالك
في جامع العتبية، قال مالك: مات عيسى وهو ابن إحدى وثلاثين سنة، قال ابن
رشد في البيان والتحصيل: ((يحتمل أنّ قوله: مات وهو ابن ثلاث وثلاثين على
الحقيقة، لا على المجاز)).
Ibnu Asyur juga berkata, dalil pendapat yang memperkuat Nabi Isa telah wafat adalah ayat berikut ini:
وَكُنْتُ
عَلَيْهِمْ شَهِيدًا مَا دُمْتُ فِيهِمْ فَلَمَّا تَوَفَّيْتَنِي كُنْتَ
أَنْتَ الرَّقِيبَ عَلَيْهِمْ وَأَنْتَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيد
Artinya:
“(Nabi Isa berkata): Dan adalah aku menjadi saksi terhadap mereka,
selama aku berada di antara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan aku,
Engkau-lah yang mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Maha menyaksikan
atas segala sesuatu” (QS. Al-Maidah [5]: 117).
Di akhir penafsirannya, Ibnu Asyur berkata:
والوجه أن يحمل قوله تعالى:
{ إني متوفيك } على حقيقته، وهو الظاهر، وأن تؤوّل الأخبار التي يفيد
ظاهرها أنه حيّ على معنى حياة كرامة عند الله، كحياة الشهداء وأقوى، وأنه
إذا حمل نزوله على ظاهره دون تأويل، أنّ ذلك يقوم مقام البعث، وأنّ قوله في
حديث أبي هريرة: ((...ثم يتوفّى فيصلي عليه المسلمون)) مدرج من أبي هريرة،
لأنّه لم يروه غيره ممن رووا حديث نزول عيسى، وهم جَمْع من الصحابة،
والروايات مختلفة وغير صريحة. ولم يتعرض القرآن في عدّ مزاياه إلى أنه ينزل
في آخر الزمان
Artinya: “Dan hendaknya
firman Allah: “Sesungguhnya Aku mewafatkanmu’ perlu dipahami secara
pengertian hakikatnya, dan ini adalah pengertian secara lahirnya.
Sementara hadits-hadits yang zhahirnya menjelaskan bahwa Nabi Isa as
masih hidup, perlu ditafsirkan kepada pengertian hidup mulia di sisi
Allah, sebagaimana hidupnya para Syuhada dan orang-orang pilihan
lainnya. Demikian juga, jika pengertian Nabi Isa akan turun ke bumi
diartikan secara zhahirnya tanpa ta’wil, maka itu harus dipahami bahwa
dihidupkannya itu seperti hidup ketika dibangkitkan dari kubur kelak
(artinya, setelah itu Nabi Isa as tidak akan meninggal lagi, tapi terus
hidup sampai hari akhirat, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Asyur
sebelumnya. Sepemahaman saya, perkataan Ibnu Asyur ini untuk keluar dari
pemahaman Nabi Isa as dimatikan dua kali=pent).
Adapun
hadits Abu Hurairah yang menyebutkan: “…Kemudian Nabi Isa as diwafatkan
dan dishalati oleh orang-orang muslim), hadtis tersebut adalah Mudraj
dari Abu Hurairah. Karena rawi-rawi lain yang meriwayatkan akan turunnya
Nabi Isa as, tidak menyebutkan redaksi dimaksud. Dan rawi-rawi tersebut
adalah sekelompok para sahabat. Riwayat-riwayat (seputar turunnya Nabi
Isa as ke bumi) berbeda-beda dan tidak jelas. Bahkan, al-Qur’an pun
dengan segala kelebihan yang dimilikinya tidak menjelaskan bahwa Nabi
Isa as akan diturunkan di akhir zaman kelak” (At-Tahrîr wat Tanwîr,
3/259).
Demikian, pemaparan Ibnu Asyur seputar
masalah ini. Sekali lagi apa yang saya utarakan, adalah berdasarkan
pemahaman saya kepada teks yang disampaikan Ibnu Asyur. Saya sengaja
mengetengahkannya secara lebih panjang, dengan harapan kita dapat
mengambil istifadahdari Ibnu Asyur, juga membuka wawasan kita, bahwa
terdapat pendapat sebagian ulama muslim yang mengatakan Nabi Isa as
telah wafat.
Demikian penafsiran dan
penjelasan para ulama tafsir seputar ayat dimaksud. Dari penjelasan di
atas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.
Kata ‘wafat’ dalam bahasa Arab dan dalam al-Qur’an, mempunyai banyak
pengertian. Di antaranya dapat berarti meninggal dunia (al-maut), tidur
(an-naum), juga menggenggam (al-qabdh).
2.
Adapun apakah Nabi Isa as masih hidup atau sudah wafat, ini merupakan
masalah ijtihadiyyah. Karena itu para ulama berbeda pendapat. Jumhur
ulama mengatakan, Nabi Isa as belum meninggal, dan sampai sekarang juga
nanti, masih hidup, dan ia akan diturunkan oleh Allah kelak di akhir
zaman. Pendapat lain mengatakan, bahwa Nabi Isa as telah wafat, dan
kelak akan dihidupkan kembali, lalu diturunkan ke bumi di akhir zaman.
3.
Sekalipun para ulama berbeda pendapat seputar maksud kata ‘wafat’
dalam ayat di atas, namun semua sepakat bahwa Nabi Isa as tidak dibunuh,
juga tidak disalib oleh orang-orang Yahudi, sebagaimana yang diyakini
saudara-saudara kita dari Kristiani, akan tetapi yang disalib itu adalah
murid Nabi Isa yang diserupakan wajah dan bentuk tubuhnya dengan Nabi
Isa as. Dan ini ditegaskan langsung oleh Allah dalam surat an-Nisa ayat
156-159 sebagaimana telah penulis jelaskan di atas.
4.
Dari beberapa pendapat di atas, penulis cenderung untuk mengambil
pendapat yang dirajihkan oleh Imam at-Thabari, juga al-Qurthubi, bahwa
maksud ayat di atas adalah Allah menggenggam dan mengangkat Nabi Isa as
ke langit dalam keadaan hidup, dan sampai saat ini masih hidup. Nanti di
akhir zaman Allah akan menurunkannya kembali ke bumi untuk membunuh
Dajjal dan mengajak ahlul kitab kepada agama Islam, sekaligus
menegaskan kekeliruan mereka, di antaranya bahwa Nabi Isa adalah Tuhan.
Yang benar, Nabi Isa as adalah rasul atau utusan Allah, bukan Anak
Allah. Wallâhu ‘alam bis shawâb.
Nabi Isa Telah Wafat dan Tidak Akan Turun ke Bumi
Pendapat yang mengatakan bahwa Nabi Isa as. telah wafat, merujuk pada penafsiran Al-Qur'an, sebagaimana firman-Nya:
"(Ingatlah) tatkala Allah ber firman,
'Hai Isa, sesungguhnya Aku akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu
dan mengangkat kamu kepada-Ku serta membersihkan kamu dari orang-orang
yang kafir, dan menjadikan orang-orang yang mengikuti kamu di atas
orang-orang yang kafir hingga hari kiamat. Kemudian hanya kepada Akulah
kembalimu, lalu Aku akan memutuskan di antaramu tentang hal-hal yang
kamu perselisihkan padanya'..." (Ali Imran: 55).
"Aku tidak pernah mengatakan kepada
mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (mengatakan)nya
yaitu, 'Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu.' Dan adalah aku menjadi
saksi terhadap mereka selama aku berada diantara mereka. Maka setelah
Engkau wafatkan (angkat) aku, Engkaulah yang mengawasi mereka. Dan
Engkau Maha Menyaksikan segala sesuatu." (al-Maa'idah: 117)
Berkaitan dengan surat al-Maa'idah ayat
117 maka timbul penafsiran kata tawaffaitani-tawafa, yatawaffa,
mutawaffi, yang artinya 'mematikan, mencabut nyawa atau mewafatkan'.
Pengertian ini tentu saja berlaku untuk seluruh ayat yang berkaitan
dengan kata tawafaa. Sehingga surat Ali Imran ayat 55 di atas harus
dipahami secara yakin bahwa Allah telah mewafatkan, mematikan, atau
mencabut nyawa Nabi Isa a.s..
Kata tawaffa berasal dari kata kerja
wafaya (wau-fa-ya) mempunyai arti: 'melunasi, menyelesaikan,
menyempurnakan, wafat' (mati). Akar kata wafat (mati) sangat dekat
dengan akar kata wifa' yang artinya, 'penyempurnaan atau pelunasan'.
Sehingga dua kata itu merujuk pada sesuatu tugas yang sempurna atau
telah selesai, atau seseorang yang telah selesai menjalani hidupnya
alias mati. Apabila kata wafaya tersebut ditambah huruf mati ta dan fa,
yaitu tawaffaya memberikan arti 'sangat bersungguh-sungguh'. Dan bila
kata tawaffa dihubungkan dengan firman Allah surat al-Maa'idah ayat 117,
maka memberikan arti yang pasti bahwa, "...Engkau wafatkan (angkat)
aku..."
Dengan pembahasan kata tersebut
sampailah pada kesimpulan bahwa kata muttawafika dalam surat Ali Imran:
55, berarti Allah sungguh-sungguh (benarlah) akan mewafatkan engkau
(Nabi Isa). Hal ini tidak dapat ditafsirkan lain kecuali Allah akan
mewafatkan Nabi Isa.
Apabila kata tersebut ditafsirkan lagi
dengan ayat yang lain, maka akan didapat pengertian yang sama pada ayat
ayat sebagai berikut: "... sampai mereka menemui ajalnya
(yatawaffahunna)...." (an-Nisa' 4:15)
"Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan (tawaffaahum) malaikat... " (al-Maa'idah: 97)
"Kalau kamu melihat ketika para malaikat mencabut jiwa (yatawaffa) orang-orang...." (al-Anfal 8:50)
Masih banyak lagi kata atau ungkapan
tawaffa dalam surat-surat pada Al-Qur'an yang keseluruhannya memberikan
arti 'mewafatkan, mencabut nyawa', dan sebagainya. 2
Apabila seluruh kata tawaffa dalam
ayat-ayat yang disebutkan tersebut menunjukkan arti "mewafatkan dan
mematikan", lantas atas dasar apa meragukan bahwa Nabi Isa telah
diwafatkan (mati). Oleh karena itu, tidak dapat ditafsirkan lain bahwa
Nabi Isa tidur, Nabi Isa istirahat, dan sebagainya.
l. Kata Rafi'a
- Kata raafi'uka (mengangkatmu) sebagaimana terdapat dalam Ali
Imran: 55, tidak dapat ditafsirkan sebagai mengangkat Nabi Isa ke
langit, karena tidak didukung oleh ayat lain yang memperkuat
argumentasi bahwa kata raafi'uka menisbatkan kepada naiknya Nabi
Isa ke langit dan kemudian hidup, tidur, atau istirahat di sana.
- Kata rafi'u adalah isim fa'il atau pelaku yang berasal dari
kata kerja rafa'a (telah mengangkat) dan bentuk rafa'a dengan
segala bentukannya yang disebutkan di dalam Al-Qur'an menunjukkan
pada sebuah makna 'meningkatkan derajat, mengungguli, dan
mengatasi', sebagaimana di sebut di dalam Al-Qur'an sebagai berikut
:
". . . dan sebagiannya Allah meninggikan beberapa derajat.... (wa rafa'a ba'dhuhum darajatin)." (al-Baqarah 2:253 ).
"... dan mengangkat sebagian kamu di atas sebagian yang lain (wa rafa'a ba'dhukum fawqa ba'dhin)." (al-An'am 6:165).
Selanjutnya kata-kata rafa'a yang
berarti 'mengangkat derajat'sebagaimana terdapat di dalam
Al-Qur'an-terdapat pula pada surat surat "wa rafa'na" (az-Zukhruf
43:32); "wa rafa'na" (Alam Nasyrah 94:4); "yarfa'u" (al-Mujadilah
58:11); dan "narfa'u" (Yusuf 12:76).
Dari uraian tadi dapat disimpulkan, sebagai berikut :
- Nabi Isa a.s. telah diwafatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala
sesuai dengan Sunnatullah yang tidak mungkin akan berubah
selama-lamanya (al-Ahzab 33:62). Nabi Isa telah wafat dan diangkat
derajatnya oleh Allah. Dan tentang wafatnya Nabi Isa, sesuai pula
dengan Sunatullah bahwa segala benda yang bernyawa pasti akan
menemui kematian.
- Al Qur'an tidak pernah menyebutkan secara jelas dan muhkamat3
maupun mutasyabihat,4 apakah Nabi Isa masih hidup dan apakah sampai
saat ini masih berada di langit? Lalu apakah setelah itu, ia akan
turun kembali ke bumi untuk membasmi Dajjal. Padahal, tidak ada
satu kata pun di dalam Al-Qur'an yang menyebut nama Dajjal. Dengan
demikian, hal ini memperkuat argumentasi bahwa Nabi Isa telah
wafat, dan tidak akan turun ke bumi dan tidak akan membunuh Dajjal.
- Kiamat akan segera tiba setelah turunnya Nabi Isa yang akan
memberantas Dajjal, kemudian mempersatukan umat manusia serta
menjadikan semuanya beragama Islam dan menjadi imam shalat,
tentunya berita ini merupakan berita besar yang mustahil luput dari
uraian Al-Qur'an.
- Mengingat turunnya Nabi Isa dan datangnya Dajjal tidak
disebutkan di dalam Al-Qur'an, maka tidak menyebabkan berdosa
apabila kita tidak mengimaninya. Lagi pula, rukun Iman yang telah
diakui seluruh ulama sejak dahulu tidak mencantumkan hal ini.
2. Hadits-Hadits tentang Nabi Isa a.s. dan Dajal
Argumentasi yang berdasarkan pada
Al-Qur'an mengatakan bahwa Nabi Isa telah wafat dan tidak akan turun
lagi ke bumi untuk memberantas Dajjal. Tentu hal itu tidak berdasarkan
dalil hadits, walupun hadits tersebut diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim,
dan yang lainnya.
Bagi mereka yang menyangkal hadits
tersebut didasarkan bahwa berita-berita yang diriwayatkannya
bertentangan satu sama lain, karena mereka mendasari itu terhadap
alasan-alasan berikut :
- Dalam hadits yang diriwayatkan Muslim dari Abdullah bin Amru
bin Ash disebutkan, "...kemudian Isa Almasih itu, menetap bersama
manusia tujuh tahun lamanya…"
- Dalam hadits yang diriwayatkan Muslim, Abu Daud, al-Hakim, dan
Ahmad bin Hanbal dari Abu Hurairah r a. menyebutkan, "…Isa menetap
di bumi empat puluh tahun lamanya, kemudian ia pun wafat, maka kaum
muslimin menyembahyangkannya ..."
- Menurut Joesoef Souyb salah satu hadits yang meriwayatkan
kedatangan Dajjal diterima melalui Ka'ab al-Ahbar5 yang mengatakan,
"Aku akan mengirimmu kelak menghadapi Dajjal si Juling, dan engkau
akan membunuhnya, lalu hidup di bumi sehabis itu selama dua puluh
empat tahun dan Aku akan mematikanmu, seperti halnya orang yang
hidup."
Penulisan hadits dengan isi pernyataan
yang berbeda satu sama lainnya dan diceritakan melalui satu orang saja
(hadits ahad) menyebabkan kedudukan hadits tersebut tidak termasuk
mutawatir (hadits yang diriwayatkan oleh beberapa perawi).